Sunday, April 14, 2013

PONDASI PSIKOLOGIS KURIKULUM



PONDASI PSIKOLOGIS KURIKULUM
Ornstein & Hunkins Chapter 4
           Psikologi berkenaan bagaimana orang belajar dan memberikan dasar untuk memahami proses belajar-mengajar. Pertanyaan lain yang menarik ahli psikologi dan ahli kurikulum adalah: Bagaimana seharusnya kurikulum disusun untuk meningkatkan belajar?
          Bagi John Dewey, psikologi merupakan dasar untuk memahami bagaimana individu pembelajar berinteraksi dengan objek dan orang dalam lingkungannya. Proses tersebut berlangsung selama hidup, dan kualitas interaksi menentukan banyak dan jenis belajar. Ralph Tyler menganggap psikologi sebagai saringan untuk membantu menentukan  apa saja tujuan kita dan bagaimana belajar kita terjadi. Yang lebih baru, Jerome Bruner menghubungkan moda-moda berpikir yang mendasari metode yang digunakan dalam berbagai bidang ilmu yang terdiri dari disiplin-disiplin ilmu khusus. Tujuan memanfaatkan metode ini ialah untuk memformulasi konsep, prinsip, dan generalisasi yang membentuk struktur disiplin ilmu. Singkatnya, psikologi adalah unsur yang menyatukan proses belajar; ia membentuk dasar untuk metode, materi, dan aktivitas belajar, dan ia juga berfungsi sebagai daya pendorong untuk membuat keputusan kurikulum (Ornstein & Hunkins, 1988).
          Menurut sejarah, teori belajar yang utama diklasifikasikan atas dua kelompok: (1) teori-teori asosiasi atau behavioris dan (2) teori medan kognitif.
 Behaviorisme
           Para behavioris, yang mewakili psikologi tradisional, berakar pada spekulasi filosofis tentang hakikat belajar – ide-ide Aristoteles, Descartes, Locke, dan Rousseau. Mereka menekankan pengkondisian prilaku dan pengubahan lingkungan untuk memancing respon yang diharapkan dari pembelajar. Teori ini mendominasi psikologi abad ke dua puluh, khususnya selama paruh pertama abad; ia telah berubah menjadi aliran utama untuk menjelaskan proses belajar.

Koneksionisme
          Salah satu orang Amerika yang melakukan pengujian eksperimental tentang ide Stimulus-Respon (atau pengkondisian klasik) adalah Edward Thorndike. Di Harvard, Thorndike melakukan percobaanya dengan binatang. Ia mendefinisikan belajar sebagai  pembentukan kebiasaan dan mengajar sebagai mengatur kelas untuk meningkatkan hubungan yang diharapkan sebagai ikatan.
Thorndike mengembangkan tiga hukum belajar yang utama:
1)    Hukum Kesiapan, ketika satuan konduksi siap bertindak, maka bertindak akan menyenangkan dan tidak bertindak menjadi menyebalkan,
2)    Hukum Latihan–koneksi diperkuat sebanding dengan  banyak kalinya perulangan, dan sebanding dengan intensitas dan durasinya; dan
3)    Hukum Efek–respon yang disertai kepuasan perlu untuk memperkuat koneksi; sebaliknya respon yang disertai ketidaksenangan akan melemahkan koneksi.
          Hukum Kesiapan  menyatakan bahwa bila susunan syaraf sudah siap untuk bertindak, maka ia akan mengarah pada keadaan menyenangkan; ini telah disalah interpretasikan oleh sebagian pendidik sebagai kesiapan mengikuti pendidikan. Hukum Latihan memberikan pembenaran pada latihan, pengulangan, dan review dan sekarang diterapkan pada pendekatan pembelajaran ketrampilan dasar dan modifikasi prilaku. Hukum Effek Thorndike, membenarkan teori penghargaan dan hukuman yang telah diterapkan di sekolah berabad-abad sebelumnya. Model prilaku operant B.F. Skinner, pembelajaran terprogram, dan ide-ide baru yang didasarkan pada pemberian pengalaman yang menyenangkan  serta penguatan dalam bentuk umpan balik berakar pada hukum ini.
Thorndike meyakini bahwa:
1)    prilaku tampaknya lebih dipengaruhi oleh kondisi belajar,
2)    sikap dan kemampuan pembelajar bisa berubah (dan meningkat) seiring    waktu      melalui stimulus yang tepat,
3)    pengalaman belajar  dapat dirancang dan dikontrol, dan
4)   perlu memilih stimulus yang tepat atau pengalaman belajar yang terintegrasi dan konsisten dan yang saling menguatkan. Menurut Thorndike kemampuan meningkatkan pikiran sama bagi semua orang, dan belajar adalah perkara menghubungkan yang baru dengan yang lama. Jadi, psikologi disiplin mental mendapat tantangan dari hukum ini dan itu berarti bahwa tidak ada lagi hirarki matapelajaran.
          Walaupun koneksionisme tidak lagi sepopuler dulu, praktik-praktik yang terkait dengannya tetap berlanjut dengan label baru. Dan walaupun model belajar Thorndike memiliki pengaruh langsung yang minimal saat sekarang, banyak asumsinya yang terkait dengan belajar masih terbukti benar (Ornstein & Hunkins, 1988)
 Pengaruh Thorndike: Tyler, Taba, dan Bruner
           Bertepatan dengan teori-teori Thorndike, Tyler dan Taba menyatakan bahwa belajar memiliki aplikasi dan karenanya dapat ditransferkan ke situasi lain. Ini berarti bahwa belajar hapalan dan mengingat tidak perlu. Menurut Thorndike, cara belajar terbaik adalah dengan metode yang paling langsung, yang bertepatan dengan pendekatan logis dan behavioris yang diusulkan Tyler dan Taba. Tetapi, baik Taba maupun Tyler tidak sependapat dengan pendapat Thorndike tentang hubungan stimulus dan respon. Mereka malah memberikan pandangan umum tentang belajar, yang terkait dengan pendekatan kognitif. Sementara Bobbit dan Charters sependapat dengan  Thorndike, Tyler dan Taba lebih cendrung pada pendekatan Dewey dan Judd bahwa belajar didasarkan atas generalisasi dan pengajaran prinsip-prinsip penting untuk menjelaskan fenomena-fenomena konkrit.
          Tetapi Tyler dan Taba memberikan pengakuan pada Thorndike di dalam teks-teks klasik mereka. Tyler membahas prinsip belajar terorganisir dan koneksionisme yang sejalan dengan teori transfer Torndike. Taba malah membahas ‘transfer belajar” serta pengaruh Thorndike dan ahli lain terhadap teori belajar ini. Seperti Thorndike, Taba berpendapat bahwa praktik saja tidak memperkuat ingatan atau transfer belajar. “Karena tidak ada satu program yang dapat mengajar segala sesuatu, maka tugas semua pendidikan adalah menyebabkan jumlah transfer yang maksimal dengan cara mengembangkan metode atau muatan yang mengarah pada  generalisasi dan yang memiliki nilai transfer luas; ini mengarah pada pendapat Taba yang mendukung teknik pemecahan masalah dan penemuan.
       Walaupun dipopulerkan oleh Bruner, gagasan “belajar bagaimana belajar” dan “penemuan” berakar pada ide Thorndike. Thorndike, dan kemudian Bruner, menganggap bahwa belajar yang melibatkan susunan pengalaman yang bermakna dapat ditransferkan lebih baik daripada penghapalan. Semakin abstrak suatu generalisasi dan prinsip, semakin mudah ditransfer. (Ini sejalan dengan ide Dewey tentang pemikiran reflektif dan langkah-langkah yang  dia susun untuk pemecahan masalah).
       Bagi Bruner, mempelajari struktur disiplin ilmu memberikan dasar untuk transfer belajar yang spesifik. Perbedaan Thorndike dengan Bruner adalah bahwa bagi Thorndike semua pelajaran sama pentingnya, sedangkan menurut Bruner sains dan matematik lebih penting untuk mengajarkan struktur (Ornstein & Hunkins, 1988).
 Pengkondisian Klasik
           Teori pengkondisian klasik menekankan bahwa belajar terdiri dari pemancingan respon dengan stimulus netral. Eksperimen pengkondisian klasik dilakukan oleh Ivan Pavlov terhadap seekor anjing yang dibunyikan bel setiap akan diberi makan sehingga pada akhirnya, anjing tersebut mengasosiasikan bel dengan makanan. Eksperimen ini memberikan banyak implikasi pada pembelajaran manusia. James Watson menggunakan penelitian Pavlov ini sebagai pondasi untuk membangun ilmu psikologi baru berdasarkan behaviorisme. Ilmu baru tersebut menekankan bahwa belajar didasarkan atas ilmu prilaku yang bisa diukur atau diobseravsi, bukan atas proses kognitif. Bagi Watson dan yang lainnya yang menjadi kunci belajar adalah mengkondisikan anak seawal mungkin.
 Pengkondisian Operant
           B.F. Skinner telah berusaha lebih banyak daripada behavioris lain untuk menerapkan teorinya pada situasi di kelas. Atas dasar percobaannya dengan seekor merpati, Skinner membedakan dua jenis respon: respon yang diidentifikaskan dengan suatu stimulus yang jelas (elicited) dan respon yang kelihatannya tidak terkait dengan stimulus yang jelas (emitted). Bila responnya dipancing, maka prilaku disebut respondent; bila tidak dipancing, prilaku itu disebut operant – artinya tidak ada stimulus yang menjelaskan respon tersebut. Penguatan dapat dikelompokkan atas penguatan primer, sekunder, atau umum. Penguatan primer berlaku pada stimulus yang membantu memuaskan kebutuhan dasar seperti makanan, air dan seks. Penguatan sekunder tidak memenuhi kebutuhan pokok tetapi tetap penting, seperti mendapat pengakuan dari guru dan teman, mendapat hadiah juara sekolah, dan memperoleh uang, dan bisa dikonversikan menjadi penguatan primer. Karena banyaknya penguatan sekunder ini, Skinner menyebutnya penguatan umum (Ornstein & Hunkins, 1988).
          Prilaku operant akan terhenti bila tidak diikuti oleh penguatan. Skinner membedakan penguatan atas penguatan positif dan negatif. Penguatan positif hanyalah kemunculan stimulus yang menguatkan, dan penguatan negatif adalah penarikan atau penghilangan stimulus. Walaupun Skinner percaya pada kedua penguatan, dia menolak adanya hukuman karena akan menghalangi belajar.
 Mendapatkan operant baru: modifikasi prilaku
           Pendekatan Skinner tentang penguatan selektif, dimana hanya respon yang diharapkan yang diberi penguatan, memiliki daya tarik yang luas bagi para pendidik karena ia mendemonstrasikan penerapannya pada situasi belajar dan pembelajaran. Suatu prinsip penting dalam interpretasi penguatan ini adalah variabilitas prilaku manusia, yang memungkinkan terjadinya perubahan. Individu dapat memperoleh operant baru – maksudnya prilaku bisa dibentuk atau diubah dan konsep-konsep yang rumit bisa diajarkan kepada siswa. Prilaku baru dapat dibentuk melalui kombinasi penguatan dan pengurutan respon yang diharapkan; inilah yang sekarang disebut sebagian orang dengan modifikasi prilaku. Pendekatan modifikasi prilaku ini digunakan bersamaan dengan teknik pembelajaran individual dan teknik pengelolaan kelas. Dengan pendekatan ini, kurikulum dapat didefinisikan dengan definisi yang dibuat Popham dan Baker, yaitu “semua luaran yang direncanakan yang menjadi tanggung jawab sekolah” dan “konsekuensi dari pembelajaran yang diharapkan.”
 Belajar Terprogram
           Pendekatan penguatan yang selektif dan berurutan terhadap belajar mengarah pada teori suplementer Skinner tentang pembelajaran dan belajar terprogram. Belajar terprogram memberikan pendekatan langkah demi langkah terhadap belajar dengan penguatan langsung, sering, dan teratur, yang mendorong pengeluaran stimulus-respon berkelanjutan dan belajar berdasarkan tahapan-tahapan  kecil yang tidak bisa diberikan guru secara efektif. Kajian tahun 1960an dan tahun 1970an memperlihatkan bahwa belajar terprogram ini tidak lebih menguntungkan dibandingkan dengan belajar dengan guru dalam hal pemberian penguatan (Ornstein & Hunkins, 1988).
 Behaviorisme dan Kurikulum
           Behaviorisme memiliki dampak besar pada pendidikan. Pendidik yang menganut paham behaviorisme dan yang juga terkait dengan kurikulum menggunakan prinsip-prinsip prilaku untuk membimbing penciptaan program baru, seperti  membangun koneksi atas dasar pengalaman positif yang dimiliki siswa ketika memperkenalkan topik atau kegiatan yang baru. Para behavioris percaya bahwa kurikulum harus diorganisir sehingga siswa mengalami kesuksesan dalam menguasai matapelajaran dan mereka sangat preskriptif dan diagnostik dalam pendekatan mereka serta percaya pada metode belajar terstruktur tahap-demi-tahap. Untuk siswa yang mengalami kesulitan belajar, kurikulum dan pembelajaran dipecah-pecah menjadi satuan-satuan kecil dengan pengurutan tugas yang sesuai dan penguatan atas prilaku yang diharapkan. Teori-teori behavioris ini dikritik karena menjelaskan proses belajar terlalu sederhana dan mekanik.
          Behaviorisme terus hidup dan berkembang sehingga sekarang terbukti dalam teori, prinsip, atau kecendrungan yang terkait dengan
1)    tujuan prilaku dalam menulis, menilai, belajar, dan evaluasi,
2)    program latihan ketrampilan dasar dalam bahasa  dan membaca,
3)    pendidikan individual,
4)    rancangan pembelajaran atau model rancangan sistem,
5)    program pelatihan guru,
6)    teknologi pendidikan, dan
7)    program perencanaan dan evaluasi (Ornstein & Hunkins, 1988)
           Penekanan dengan pendekatan prilaku dan program-program ini adalah pada: (1) remediasi, pemerolehan ketrampilan, belajar dasar dan lanjutan, (2) tujuan jangka pendek dan jangka panjang yang didefinisikan dengan baik, (3) mencocokkan materi pembelajaran dan media dengan kemampuan pembelajar, (4) membentuk prilaku melalui tugas yang ditetapkan, kegiatan bertahap, pengawasan melekat pada kegiatan, penguatan positif, dan (5) diagnosis, penilaian, dan penilaian ulang kebutuhan siswa, tujuan, kegiatan, tugas, dan pembelajaran (Ornstein & Hunkins, 1988).
          Empat prinsip prilaku dasar diikuti dengan pendekatan dan program ini:
1)    waktu tugas – waktu untuk mengerjakan tugas tergantung pada kemampuan pembelajar untuk menguasai belajar,
2)    pengulangan – praktik dan latihan dihubungkan dengan pemancingan respon yang benar,
3)    penguatan – belajar diperkuat bila didasarkan pada pelajaran sebelumnya dan  (4) pembentukan – prilaku dan belajar bisa lebih mudah diperoleh melalui aproksimasi suksesif atau serangkaian respon yang makin mendekati prilaku yang diharapkan (Ornstein & Hunkins, 1988).
 Perkembangan Kognitif
           Sekarang kebanyakan ahli psikologi mengelompokkan pertumbuhan dan perkembangan manusia menjadi kognitif, sosial, psikologis, dan fisik dan mereka percaya bahwa belajar di sekolah pada dasarnya banyak kognitif. Pertumbuhan dan perkembangan mengacu pada perubahan dalam struktur dan fungsi karakteristik manusia. Perubahan adalah hasil interaksi antara potensi bawaan dengan lingkungan.
 Tahap-tahap Perkembangan Kognitif
          Kebanyakan teori kognitif percaya bahwa pertumbuhan dan perkembangan terjadi dalam tahapan yang progresif. Pandangan yang paling komprehensif tentang teori ini dikemukakan oleh Jean Piaget dan ia menjelaskan perkembangan kognitif dalam tahap-tahap dari lahir sampai dewasa, sebagai berikut:
1)    tahap sensorimotor (dari lahir sampai usia 2 tahun)
2)    tahap praoperasional (usia 2 – 7 tahun)
3)    tahap operasi kongkrit (usia 7 – 11 tahun)
4)    tahap operasi formal (usia 11 tahun ke atas) (Ornstein & Hunkins, 1988).
          Tiga proses kognitif dasar membentuk dasar teori pengalaman dan lingkungan yang diajukan Piaget dan Dewey. Bagi Piaget, assimilasi merupakan inkorporasi pengalaman baru ke dalam pengalaman yang ada, akomodasi adalah pengubahan dan penyesuaian struktur kognitif anak sebagai respon terhadap lingkungannya, dan ekuilibrasi adalah proses mencapai keseimbangan antara hal-hal yang sudah dipahami dengan yang akan dipahami. Ini bertepatan dengan konsepsi situasi dan interaksi Dewey. Bagi Dewey, situasi mewakili pengalaman dari lingkungan, sama dengan asimiliasi dan interaksi berkaitan dengan transaksi melintang yang terjadi antara anak dan lingkungannya, termasuk kapasitasnya untuk membentuk makna, sama dengan akomodasi. Kontinuitas mengacu pada belajar membujur atau situasi dan interaksi yang mengikuti, sama dengan ekuilibrasi (Ornstein & Hunkins, 1988).
 Pengaruh Piaget: Tyler, Taba, dan Bruner
           Teori lingkungan Piaget (dan teori pengalaman pendidikan Dewey) membentuk dasar lima prinsip belajar Tyler: (1) Siswa harus memiliki pengalaman belajar yang memberikan  kesempatan untuk praktik dan (2) kepuasan, (3) pengalaman belajar harus cocok dengan kemampuan siswa saat itu, (4) banyak pengalaman dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang sama, dan (5) pengalaman belajar yang sama biasanya akan memberi banyak luaran. Tiga proses kognitif Piaget (dan tiga pengalaman pendidikan Dewey) juga menjadi dasar tiga metode mengatur pengalaman belajar yang dikemukakan oleh Tyler: (1) kontinuitas yang berarti bahwa kurikulum harus memiliki reiterasi vertikal – artinya, ketrampilan dan  konsep harus terjadi berulang-ulang dan harus ada kesempatan yang berkelanjutan untuk mempraktikkan ketrampilan tersebut, (2) urutan yang berarti bahwa kurikulum harus mencakup perkembangan  pemahaman yang progresif dan bahwa setiap pengalaman berikutnya dibangun atas pengalaman sebelumnya, dan (3) integrasi yang mengacu pada  hubungan horizontal pengalaman-pengalaman kurikulum dan berarti bahwa susunan pengalaman harus “disatukan” dalam kaitannya dengan unsur lain kurikulum yang sedang diajarkan dan bahwa matapelajaran tidak boleh dipisahkan atau diajar sebagai sesuatu yang terpisah dari matapelajaran lain.
          Taba tidak hanya mereview empat tahap perkembangan kognitif yang dikemukakan Piaget dan implikasinya pada perkembangan mental dan intelegensi, tetapi juga menyimpulkan bahwa  pengalaman belajar harus dirancang agar sesuai dengan penilaian tingkat usia kapan proses berpikir tertentu muncul. Idenya adalah mentransformasikan konsep dan matapelajaran yang rumit ke dalam operasi mental yang cocok bagi pembelajar dan mengembangkan kurikulum yang menyediakan tingkat berpikir yang lebih formal dan lebih mendalam. Membangun kurikulum yang seperti itu akan melibatkan pemahaman yang lebih baik tentang hirarki (tahap-tahap) pembentukan konsep dan operasi mental yang dikemukakan Piaget dan tentang urutan dalam pengembangan pikiran.
          Begitu juga, Taba mencatat proses kognitif Piaget – asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi – dalam diskusinya tentang generalisasi dan pemikiran abstrak. Dia peduli dengan penyusunan kurikulum  dan pengajaran pengalaman baru sehingga dapat dibandingkan dengan pengalaman lama (asimilasi), beralih dari pengalaman kongkrit ke konsep dan prinsip (akomodasi), dan  mengelompokkan serta memahami hubungan yang baru (ekuilibrasi). Dasar dari apa yang Taba sebut “strategi kurikulum untuk belajar produktif” berakar dari sintesis pengalaman ke dalam bentuk dan tingkat yang lebih kompleks yang disampaikan Piaget.
          Bagi Bruner, belajar bagaimana segala sesuatu berhubungan berarti belajar struktur pengetahuan. Belajar yang demikian didasarkan atas ide Piaget  tentang asimilasi dan akomodasi. Struktur pengetahuan tersebut memberikan dasar untuk transfer belajar. Ekuilibrasi Piaget membentuk dasar gagasan Bruner tentang “kurikulum spiral”: belajar sebelumnya adalah dasar untuk belajar selanjutnya, bahwa belajar harus berlanjut, dan bahwa matapelajaran berhubungan dengan dan dibangun atas suatu pondasi. Bruner juga dipengaruhi oleh Dewey yang menggunakan istilah kontinuitas dalam belajar untuk menjelaskan bahwa apa yang seseorang telah pelajari menjadi instrumen pemahaman situasi berikutnya.
          Bruner menganggap bahwa tindakan belajar terdiri atas tiga proses yang berkaitan, sama dengan proses kognitif Piaget:
1)             akuisisi adalah memahami informasi baru; ini biasanya berkorespondensi dengan asimilasi;
2)             transformasi ialah kapasitas individu untuk memproses informasi baru. Proses ini tumpang tindih dengan akomodasi.
3)             evaluasi ialah penentuan apakah informasi telah diproses. Ini bekorespondensi dengan ekuilibrasi (Ornstein & Hunkins, 1988).
          Yang penting bagi pendidikan ialah bahwa guru (serta ahli psikologi pendidikan dan ahli kurikulum) harus menentukan penekanan yang tepat yang akan diberikan kepada tahap-tahap pengembangan kognitif dan prose berpikir ala Piaget. Proses kognitif Piaget tumpang tindih dengan metode Tyler, strategi Taba, dan proses Bruner. Kemampuan mencocokkan pengalaman belajar yang tepat dengan keempat tahapan pengembangan Piaget dan ketiga proses berpikir sangat penting bagi guru SD karena selama perode SD inilah anak-anak beralih dari tahap dua ke tahap tiga dan tahap empat.
 Tingkat Berpikir
        Berpikir bisa dikelompokkan dalam beberapa cara. Salah satu cara ialah dengan tingkat-tingkat yang bersifat teoretis dan developmental. Robert Gagne telah menyajikan urutan tujuh jenis belajar atau kemampuan sebagai berikut:
1)    belajar tanda (pengkondisian klasik; respon terhadap sinyal yang diberikan),
2)    stimulus-respon (pengkondisian operant; respon terhadap stimulus),
3)    rangkaian motor (menghubungkan dua atau lebih satuan verbal stimulus-respon untuk membentuk ketrampilan yang kompleks),
4)    diskriminasi ganda (merespon dengan cara berbeda  ke butir yang berbeda dlam satu set tertentu) ,
5)    konsep (bereakasi terhadap stimulus dengan cara yang abstrak),
6)    aturan (menghubungkan dua atau lebih konsep), dan
7)    pemecahan masalah (menghubungkan aturan atau prinsip yang diketahui ke dalam unsur-unsur baru untuk memecahkn masalah) (Ornstein & Hunkins, 1988).
J. P. Guilford mengembangkan model faktor-faktor kognitif ganda yang mengklasifikasikan kemampuan mental atas tiga dimensi sebagai berikut:
1. Operasi: operasi mental yang berhubungan dengan pemerosesan muatan tertentu.
     Ini terdiri atas evaluasi, berpikir konvergen, berpikir divergen, dan kognisi.
  1. Produk: operasi mental yang berhubungan dengan aplikasi operasi terhadap muatan. Ini terdiri atas satuan, kelas, sistem, transformasi, dan implikasi.
  2. Muatan: operasi mental yang menyangkut informasi dan pemahaman. Ini terdiri atas gambar, simbol, semantik., dan muatan prilaku.
 Pemecahan Masalah/Berpikir Kreatif
           Sejak era Sputnik, banyak ahli teori kurikulum telah membaharui penilaian mereka terhadap berbagai aspek pemecahan masalah dan berpikir kreatif. Persamaan keduanya ialah sama-sama mencakup bentuk pengolahan informasi paling canggih. Salah satu pendapat yang bertentangan ialah bahwa pemecahan masalah (dulu disebut berpikir reflektif) didasarkan atas berpikir induktif, prosedur analitik, dan proses konvergen. Berpikir reatif iadaskan atas berpikir deduktif, orisinalits, dan proses divergen. Dalam pandangan yang kedua ini, pemecahan masalah kondusif untuk berpikir rasional dan ilmiah dan merupakan metode untuk sampai pada solusi sementara kreativitas kondusif untuk berpikir artistik dan sastra dan meupakan kualitas pikiran (Ornstein & Hunkins, 1988: 96). Mungkin hal yang paling penting untuk dicatat ialah bahwa tugas kognitif yang kompleks ini harus diajarkan sebagai ketrampilan umum dan prinsip-prinsip – yang relevan dengan semua pokok permasalahan. Idenya adalah untuk mengembangkan strategi metakognitif yang dapat ditransfer siswa ke banyak wilayah kurikulum.
 Berpikir Reflektif
           Pemecahan masalah memainkan peran utama dalam konsep pendidikan Dewey. Ia tidak hanya percaya bahwa pemecahan masalah di sekolah dapat mengembangkan intelegensi dan pertumbuhan sosial, tetapi juga bahwa ketrampilan yang dikembangkan dalam pemecahan masalah dapat ditransferkan ke pemecahan masalah sehari-hari. Konsep pemecahan masalah Dewey  berakar dari idenya tentang metode ilmiah dan telah menjadi model klasik:
1)    menyadari adanya kesulitan,
2)    mengidentifikasi masalah,
3)    menggodok dan mengelompokkan data dan membentuk hipotesis,
4)    menerima atau menolak hipotesis tentatif,
5)    membentuk kesimpulan dan mengevaluasinya.
Metode pemecahan masalah ini bertepatan dengan kepercayaan kuat Dewey pada ilmu pendidikan. Karena Dewey menganggap bahwa fungsi sekolah adalah meningkatkan proses pemikiran, ia merekomendasikan adaptasi metode pemecahan masalah ini ke pelajaran lain pada semua level.
          Banyak juga yang mengkritik metode pemecahan masalah Dewey ini karena menghasilkan miskonsepsi bahwa ilmuwan selalu punya formula untuk menemukan jawaban masalah praktis. James Conant, misalnya, mendefinisikan pemecahan masalah sebagai rangkaian 6 tahap yang bisa digunakan di labor atau oleh orang biasa untuk memecahkan masalah sehari-hari:
1)    mengenali masalah dan membentuk tujuan,
2)    mengumpulkan informasi yang relevan,
3)    membentuk hipotesis,
4)    menyimpulkan dari hipotesis,
5)    mengggunakn tes dengan percobaan aktual,
6)    tergantung pada luaran, menerima, memodifikasi, atau menolak hipotesis.
          Kedua model ini dan turunannya dianggap banyak peneliti tidak lengkap. Pertama, karena analisis muncul setelah orang memecahkan masalah. Kedua, model tersebut mengabaikan intuisi, pandangan, dan ide (Ornstein & Hunkins, 1988: 97). Teori proses kognitif saat ini menyatakan bahwa langkah-langkah yang logis dan bisa diobservasi tidak selalu digunakan dalam pemecahan masalah, dan tahap-tahap terebut tidak selalu berkaitan.
 Berpikir Kritis
           Berpikir kritis dan ketrampilan berpikir adalah istilah yang digunakan sekarang untuk mengartikan pemecahan masalah. Walaupun banyak prosedur mengajar, program pelatihan guru, dan taksonomi berpikir kritis telah muncul pada tahun-tahun terakhir, pendapat terakhir ialah bahwa berpikir kritis adalah suatu bentuk inteligensi yang bisa diajarkan (ia bukan entitas yang tetap). Pendukung aliran ini ialah Matthew Lipman dan Robert Sternberg. Lipman berusaha membantu perkembangan 30 ketrampilan kritis, yang umumnya dirancang untuk tingkat SD. Siswa-siswa didorong untuk mengembangkan, misalnya:
1)    konsep,
2)    generalisasi,
3)    hubungan sebab-akibat,
4)    inferensi alogistik,
5)    konsistensi dan kontradiksi,
6)    analogi,
7)    hubungan bagian-keseluruhan dan keseluruhan-bagian,
8)    formulasi masalah,
9)    membalikkan pernyataan logis, dan
10) aplikasi prinsip ke situasi kehidupan nyata.
          Sternberg menjelaskan tiga proses mental yang meningkatkan kemampuan berpikir kritis: (1) komponen-komponen meta – proses mental tingkat tinggi yang digunakan untuk merencanakan apa yang akan kita lakukan, memonitor apa yang sedang kita lakukan, dan mengevaluasi apa yang sedang kita lakukan; (2) komponen performansi – langkah aktual atau strategi yang kita ambil; dan (3) komponen pemerolehan pengetahuan – proses yang digunakan untuk menghubungkan materi lama dengan materi baru dan untuk mengaplikasikan dan menggunakan materi baru.
          Beberapa pendidik membantah pendapat Lipman dan Sternberg karena menurut mereka ketrampilan berpikir kritis itu sangat kompleks dan tidak bisa dipecah-pecah menjadi proses-proses kecil. Penganut teori humanistik dan fenomenologi percaya bahwa mengajar orang berpikir sama dengan mengajar orang mengayun tongkat golf; melibatkan pendekatan yang menyeluruh bukan usaha sebagian-sebagian (Ornstein & Hunkins, 1988).
          Kritikan utama muncul dari pendukung metode itu sendiri. Sternberg memperingatkan bahwa jenis berpikir kritis yang kita tekankan di sekolah dan cara kita mengajarkannya “tidak mempersiapkan siswa dengan cukup untuk menghadapi jenis masalah yang akan mereka temui dalam kehidupan nyata.” Kita percaya bahwa karena program ketrampilan kritis kita menekankan jawaban “benar” dan butir-butir ujian yang “bisa diskor secara objektif”, siswa dialihkan dari relevansi dunia nyata. Kebanyakan masalah dalam kehidupan nyata memiliki implikasi sosial, ekonomi, dan psikologis yang melibatkan hubungan antarpribadi dan penilaian tentang orang, stress dan krisis pribadi, dilema yang melibatkan pilihan, tanggung jawab, dan keberlangsungan hidup. Bagaimana menangani semua itu tidak ada hubungannya dengan cara kita berpikir di dalam kelas atau dengan cara menjawab soal-soal tentang berpikir kritis. Dengan menekankan ketrampilan kognitif di dalam kelas, berarti kita mengabaikan realitas dan lingkungan pergaulan kehidupan (Ornstein & Hunkins, 1988).
 Berpikir Kreatif
           Tes baku tidak selalu mengukur kreativitas dengan akurat, kenyataannya kita memiliki kesulitan dalam menyetujui apa sebenarnya kreativitas itu dan siapa yang kreatif. Ada banyak jenis kreativitas – atistik, musik, sains, kerajinan tangan, dan lain-lain. Siswa kreatif sering tidak mendapat perhatian penuh dari guru dan ahli kurikulum karena jumlah mereka yang sedikit. Biasanya mereka digabungkan saja dengan siswa berinteligensi tinggi, padahal intelegensi tinggi dan kreativitas tinggi tidak selalu berkaitan (Ornstein & Hunkins, 1988).
          Kesepakatan tentang definisi kreativitas sangat sedikit, kecuali bahwa semua percaya kreativitas mewakili kualitas pikiran. Ia terdiri atas komponen kognitif dan humanistik dalam belajar. Menurut Carl Rogers, esensi kreativitas adalah kebaruannya. Eric Fromm mendefinisikan sikap kreatif sebagai (1) kemauan untuk bingung – untuk mengorientasikan dirina pada sesuatu yang baru tanpa merasa frustasi; (2) kemampuan berkonsentrasi; (3) kemampuan mengalami sendiri sebagai orisinator tulen tindakannya; dan (4) kemauan menerima konflik dan tekanan yang disebabkan oleh iklim opini atau kurangnya toleransi terhadap ide-ide kreatif (Ornstein & Hunkins, 1988). Bagi guru, definisi kreativitas adalah bagaimana ide-ide baru memiliki asalnya. Kreativitas berkaitan dengan proses logis dan dapat diobservasi dan proses tak sadar dan tidak dapat dikenali.
 Berpikir Intuitif
           Berpikir intuitif bukanlah hal baru, tetapi proses berpikir ini tidak didukung karena praktik pedagogik tradisional mengandalkan  fakta dan hapalan atau diabaikan karena susah mendefinisikan dan mengukurnya. Bruner mempopulerkan ide ini dalam bukunya Process of Education. Pemikir yang baik tidak hanya memiliki pengetahuan tetapi juga pemahaman intuitif tentang pokok persoalan. Berpikir intuitif adalah bagian dari proses penemuan. Ia tidak ada hubungannya dengan pendekatan tahap-demi-tahap atau konvergen tetapi dengan penemuan yang dipasangkan dengan kemampuan menempatkan pengetahuan yang akan digunakan dan menemukan cara-cara baru untuk membuat kecocokan. Menurut interpretasi ini, pemecahan masalah dan penemuan bebas datang bersama; pengetahuan bersifat dinamis, dibangun di seputar proses penemuan, tanpa langkah atau aturan pasti yang akan diikuti (Ornstein & Hunkins, 1988: 101).
 Belajar melalui Penemuan
           Sejak zaman Sputnik, metode penemuan (inquiry-discovery) telah dikaji dalam hubungannya dengan kurikulum yang berpusat pada disiplin ilmu – sebagai unsur penyatu yang berkaitan dengan  pengetahuan dan metodologi ranah kajian. Taba, Bruner, Phenix, dan Inlow adalah produk dari zaman ini. Taba dipengaruhi oleh Bruner, Phenix dipengaruhi oleh keduanya, dan Inlow dipengaruhi oleh ketiganya. Keempat pendidik ini lebih peduli dengan bagaimana kita berpikir bukan dengan  apa yang kita pikirkan atau pengetahuan apa yang kita miliki.
          Walaupun Bruner menggabungkan metode inkuiri-diskoveri dalam sains dan matematik. Phenix, Taba, dan Inlow mengklaim bahwa diskoveri terpisah dari inkuiri dan kedua metode berpikir tersebut melintasi semua matapelajaran (bukan hanya sains dan matematik) (Ornstein & Hunkins, 1988). Phenix, misalnya mengusulkan bahwa diskoveri adalah bentuk inkuiri yang berhubungan dengan pengetahuan, hipotesis, dan dugaan-dugaan baru dan inkuiri adalah metode membuat, mengatur, menganalisis, dan mengevaluasi pengetahuan (seperti pemecahan masalah). Inkuiri dianggap menyatukan semua aspek pengetahuan yang terpisah ke dalam disiplin ilmu yang koheren; ia dianggap lebih penting daripada diskoveri. Taba dan Inlow  membedakan belajar melalui  diskoveri dengan belajar kongkrit dan verbal. Kebanyakan belajar tradisional dijelaskan sebagai suatu proses mentransmisikan informasi kongkrit dan verbal kepada pembelajar; berpusat pada otoritas, berpusat pada matapelajaran, sngat terstruktur, sangat terorganisir, juga fleksibel dan terbuka. Sebaliknya, diskoveri melibatkan eksplorasi ekstensif hal-hal yang kongkrit pada level dasar.
          Bruner yang terkenal telah mengelaborasi ide diskoveri mendefinisikannya sebagai belajar yang terjadi ketika siswa tidak disuguhi dengan matapelajaran dalam bentuk finalnya, ketika matapelajaran tidak diorganisir oleh guru tetapi oleh siswa-siswa sendiri. Diskoveri adalah pembentukan sistem pengkodean yang dengannya siswa menemukan hubungan yang ada di antara data yang disajikan.
          Karakteristik paling nyata dari diskoveri sebagai  teknik mengajar adalah bahwa sesudah  tahap awal ia membutuhkan input atau bimbingan guru yang lebih sedikit dibandingkan dengan strategi lain. Diskoveri kurang terpusat pada guru dan siswa memiliki tanggung jawab atas belajarnya sendiri. Agar menjadi bagian diskoveri, belajar harus bisa ditransfer. Kebertransferan yang meningkat dibuktikan oleh apa yang disebut Bruner “potensi intelektual” (Ornstein & Hunkins, 1988).
 Kognisi dan Kurikulum
         Kebanyakan ahli kurikulum, dan ahli teori belajar dan guru, cendrung berorientasi kognitif karena: (1) pendekatan kognitif memiliki metode yang logis untuk mengorganisir dan menginterpretasi belajar, (2) pendekatan ini  berakar dari tradisi matapelajaran, dan (3) pendidik telah dilatih dalam pendekatan kognitif dan memahaminya lebih baik. Guru yang memiliki gaya mengajar terstruktur akan lebih menyukai metode pemecahan masalah, berdasarkan berpikir reflektif dan metode ilmiah.
          John Goodlad telah mengunjungi lebih dari 1000 SD dan sekolah menengah dan menemukan bahwa pembelajaran berpusat pada guru dan siswa tidak dilibatkan dalam pemecahan masalah. Pembelajaran yang ril dan bermakna jarang terjadi di sekolah yang dia kunjungi. Ahli kurikulum harus  memahami bahwa sekolah harus menjadi suatu tempat di mana siswa tidak merasa takut mengajukan pertanyaan, tidak takut salah, tidak takut tidak menyenangkan hati guru, dan tidak takut mengambil resiko kognitif dan bermain dengan ide. Dengan semua teori kognitif kita, kita mengharapkan siswa mau belajar dan tahu bagaimana belajar, tetapi kita mengobservasi bahwa  setelah beberapa tahun sekolah kebanyakan siswa telah belajar untuk tidak belajar (Ornstein & Hunkins, 1988).
Psikologi Humanistik/Fenomenologi
          Ahli psikologi tradisional tidak mengenal psikologi humanistik atau fenomenologi sebagai suatu aliran psikologi. Menurut mereka ahli psikologi itu sudah humanis karena selalu peduli dengan orang dan dengan meningkatkan kualitas masyarakat. Lagipula, mereka mengklaim bahwa  label humanisme seharusnya tidak digunakan sebagai topeng untuk generalisasi berdasarkan sedikit pengetahuan dan penelitian “lembut”. Sejumlah observer telah  memandang fenomenologi (kadang-kadang disebut psikologi hmanistik), sebagai teori belajar “kekuatan ketiga” – setelah behaviorisme dan pengembangan kognitif. Fenomenologi  kadang-kadang dianggap sebagai teori kognitif karena ia menekankan organisme total atau orang.
          Beda yang paling nyata dengan pandangan behaviorisme mekanistik dan deterministik adalah versi belajar fenomenologis, yang digambarkan dengan kepedulian individu bahwa ia adalah seseorang yang memiliki perasaan dan sikap, yang mengalami stimulus, dan yang bertindak terhadap lingkungan (Ornstein & Hunkins, 1988).
          Ahli fenomenologi mengemukakan bahwa cara kita memandang diri kita sendiri adalah dasar untuk memahami prilaku kita. Apa yang kita lakukan, bahkan seberapa banyak kita belajar, ditentukan oleh konsep kita tentang diri kita sendiri (konsep diri)
Teori Gestalt
         Ide-ide ahli fenomenologi berakar dari teori-teori lapangan yang memandang organisme total dalam hubungan dengan lingkungan, atau apa yang disebut “lapangan”, dan persepsi siswa tentang lingkungan. Teori lapangan diturunkan dari psikologi Gestalt tahun 1930-an dan 1940-an. Kata Gestalt (bahasa Jerman) berkonotasi dengan rupa, bentuk, dan konfigurasi. Dalam konteks ini stimulus dipahami dalam hubungan dengan  yang lain-lain dalam satu lapangan. Apa yang dipahami seseorang akan menentukan makna yang dia berikan pada lapangan; begitu juga, solusi seseorang terhadap satu masalah tergantung pada pengenalannya terhadap hubungan antara stimlus dan keseluruhannya. Inilah yang dianggap sebagai hubungan berdasarkan lapangan (filed-ground relationship). Jadi, faktor yang penting dalam belajar adalah menstrukturisasi dan merestrukturisasi hubungan-hubungan lapangan untuk membentuk pola-pola yang selalu berubah. Atas dasar ini, belajar menjadi kompleks dan abstrak. Ahli kurikulum harus memahami bahwa pembelajar memahami sesuatu dalam hubungannya dengan yang lain-lain dalam suatu keseluruhan, dan apa yang mereka pahami terkait dengan pengalaman mereka sebelumnya (Ornstein & Hunkins, 1988).
Maslow: Orang-orang yang Mengaktualisasikan Diri
          Abraham Maslow, ahli fenomenologi terkenal, telah menyusun teori klasik tentang kebutuhan manusia. Menurutnya, berdasarkan hirarki kepentingannya, kebutuhan terdiri atas:
1)    kebutuhan fisik,
2)    kebutuhan akan keselamatan,
3)    kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki,
4)    kebutuhan akan harga diri,
5)    kebutuhan mengaktualisasikan diri, dan
6)    kebutuhan mengetahui dan memahami. Semua kebutuhan ini memiliki implikasi pada belajar dan mengajar. Anak yang kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi tidak akan tertarik memperoleh pengetahuan (Ornstein & Hunkins, 1988). Ide Maslow tentang aplikasi di kelas ini sebagiannya didasarkan atas ide Pestalozzi dan Froebel yang percaya akan pentingnya emosi manusia dan metodologi yang berdasarkan kepercayaan dan cinta.
          Maslow menciptakan istilah Psikologi Humanistik yang menekankan tiga prinsip pokok: (1) memusatkan perhatian pada orang yang mengalami dan kemudian memfokuskan pengalaman sebagai fenomena pokok dalam belajar, (2) menekankan kualitas manusia seperti pilihan, reativitas, dan realisasi diri, sebagai lawan dari memikirkan orang dalam istilah mekanistik dan belajar dalam istilah kognitif, dan (3) menunjukkan perhatian penuh pada martabat dan nilai orang dan minat terhadap perkembangan psikologis serta potensi manusia sebagai individu.
          Peran guru dan pembuat kurikulum dalam skema ini adalah memandang siswa sebagai orang yang utuh. Bagi Maslow, tujuan pendidikan adalah menghasilkan pembelajar yang sehat dan bahagia yang bisa menyempurnakan tugasnya; tumbuh, dan mengaktualisasikan dirinya sendiri. Orang yang mengaktualiasikan diri tersebut matang an sehat secara psikologis, dan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)    memiliki persepsi yang efisien tentang realitas,
2)    merasa nyaman dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain,
3)    tidak dibebani rasa bersalah, malu, dan cemas,
4)    spontan dan alamiah,
5)    berpusat pada masalah bukan pada diri (Ornstein & Hunkins, 1988).
Rogers: Belajar Nondirektif dan Terapetik
          Carl Rogers, ahli fenomenologi yang mungkin paling menonjol, telah menciptakan prosedur konseling dan metode untuk memfasilitasi belajar. Idenya didasarkan atas teori lapangan dan teori yang berdasarkan lapangan yang mengatakan bahwa realitas dlh pa yang dipahami siswa. Konsep realitas ini harus membuat guru sadar bahwa level dan jenis respon terhaap suatu pengalaman akan berbeda di antara anak-anak.
          Rogers menganggap terapi sebagai metode belajar yang harus digunakan oleh guru dan pekerja kurikulum. Ia percaya bahwa hubungan manusia yang positif memungkinkan orang bertumbuh; karena itu, hubungan antarpribadi di antara pembelajar sama pentingnya dengan skor kognitif. Kurikulum berkaitan dengan proses, bukan produk; kebutuhan pribadi, bukan matapelajaran,; makna psikologis, bukan skor kognitif; dan situasi lingkungan yang berubah (dalam hal ruang dan waktu), bukan lingkungan yang tetap (Ornstein & Hunkins, 1988).
Klarifikasi Nilai
          Klarifikasi nilai, kadang-kadang disebut juga membangun nilai, adalah bagian dari proses belajar guru. Ahli klarifikasi nilai sangat menghargai kreativitas, kebebasan, dan realisasi diri. Mereka lebih menyukai siswa yang mengekplorasi sendiri keinginan-keinginan mereka dan membuat pilihan-pilihan mereka.
          Nilai yang dianut seseorang tergantung pada banyak faktor, termasuk lingkungan, pendidikan, dan kepribadian. Klarifikasi nilai dirancang untuk membantu orang mengatasi kebingungan nilai (dg gejala: apatis, tidak yakin, tidak konsisten, dll) sehingga menjadi lebih positif, bertujuan, dan produktif, serta memiliki hubungan antarpribadi yang makin baik.
          Louis Raths dan kawan-kawannya menguraikan proses memberi nilai sebagai berikut: (1) memilih dengan bebas, (2) memilih dari berbagai alternatif, (3) memilih dengan bijaksana, (4) menghargai, (5) meyakini, (6) bertindak atas pilihan, dan (7) mengulang sebagai pola hidup (Ornstein & Hunkins, 1988). Ada banyak cara mengajarkan nilai. Yang pertama adalah menanamkan (inculcation), yaitu mengajarkan nilai-nilai yang diterima dengan dukungan hukum adat. Yang kedua adalah membangun moral, yaitu memperjelas prinsip-prinsip moral dan etika serta aplikasinya. Yang ketiga ialah analisis isu dan situasi yang melibatkan nilai. Yang keempat adalah klarifikasi, metode yang ditekankan Raths. Dan yang kelima adalah belajar bertindak, yaitu mencobakan dan menguji nilai-nilai dalam situasi kehidupan nyata.
          Pendekatan yang digunakan oleh Abraham Maslow dan Carl Rogers ini bisa diuraikan sebagai evokasi, yaitu membangkitkan nilai-nilai pribadi pembelajar dan kemmapuan membuat pilihan dan menjadi aktualsasi diri. Walaupun penekanannya pada sikap dan perasaan serta proses manusiawi, komponen kognitif tetap ada dalam klarifkasi nilai.
Fenomenologi dalam Kurikulum
          Ahli fenomenologi memandang individu dalam hubungan dengan lapangan di mana ia beroperasi, tetapi yang menentukan prilaku dan belajar justru aspek psikologis. Para ahli fenomenologi mencoba memahami apa yang terjadi di dalam diri kita – kebutuhan, keinginan, harapan, perasaan, nilai, dan cara kita memahami. Ide tentang kebebasan pribadi merpakan isu penting dalam fenomenologi/psikologi humansitik. Ide kebebasan ini merupakan sari dari tesis Rogers tentang belajar. Semakin sadar atau peduli anak-anak dengan kebebasan mereka, semakin banyak kesempatan mereka untuk menemukan dirinya sendiri dan berkembang sebagai manusia seutuhnya. Pembuat kurikulum harus meningkatkan kesempatan dan pilihan bagi siswa untuk belajar tanpa mengurangi otoritas guru. Idenya adalah merancang kurikulum yang membantu pembelajar menyadari potensi maksimal mereka dalam lingkungan belajar humanisik yang memperhatikan prilaku dan kognitif (Ornstein & Hunkins, 1988).
          Karena setiap individu memiliki kebutuhan dan minat khusus terkait dengan pemenuhan dirnya  dan realisasi dirinya, maka tidak ada kurikulum humanistik yang baku. Siswa bisa belajar melalui pengalaman, pokok permasalahan, dan ketrampilan ntelektual yang perlu untuk mencapai potensi penuh. Ilmu sSastra dan seni, khususnya filsafat, psikologi dan estetika merupakan muatan yang tepat karena meningkatkan introspeksi, refleksi, dan kreativitas. Kurikulum yang menekankan sikap dan perasaan juga bisa diterima. Matematik dan sains dianggap tidak perlu. Yang lebih penting ialah hubungan siswa-guru harus didasarkan atas kepercayaan dan kejujuran. Siswa boleh memilih apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakan tetapi harus bertanggung jawab atas ide dan pekerjaannya.
          Penganut paham rekonstruksionisme menerima paham fenomenologi ini karena ia menghargai keunikan dan pribadi manusia serta kelas yang memiliki kebebasan. Kelemahan teori humanistik fenomenologi adalah kurangnya perhatian mereka pada belajar kognitif. Ketika disuruh menilai keefektifan kurikulum mreka, ahli fenomenologi hanya berpijak pada testimoni dan penilaian subjektif oleh siswa dan guru serta hasil karya siswa atau peningkatan prilaku siswa (Ornstein & Hunkins, 1988).
          Dapat disimpulkan bahwa psikologi memiliki dampak berarti pada belajar, yang merupakan komponen utama kurikulum. Ada tiga teori psikologi yang telah dibahas pada bab ini, behaviorisme, pengembangan kognitif, dan fenomenologi. Behaviorisme adalah teori belajar tertua dan sekarang direpresentasikan dalam bentuk pengajaran mikro, model latihan pembelajaran, pembelajaran langsung, belajar penguasaan, dll. Terkait behaviorisme ada pengkondisian klasik dan pengkondisian operant.
          Teori belajar pengembangan kognitif adalah aliran kedua yang berkembang pesat dalam 20 sampai 30 tahun terakhir. Ini berkaitan dengan meningkatnya pengaruh Piaget di antara ahli-ahli psikologi Amerika dan meningkatnya penerimaan terhadap lingkungan sebagai penjelasan atas pertumbuhan dan perkembangan kognitif.  Teori belajar kognitif kondusif untuk menjelaskan berbagai tingkatan berpikir manusia, termasuk berpikir konsep, pemecahan masalah, dan kreativitas. Kebanyakan teori belajar sekarang berorientasi ada kognisi.
          Fenomenologi atau psikologi humanistik dapat dianggap teori belajar ketiga  dan paling baru. Penekanannya ada pada sikap dan perasaan, aktualisasi diri, kebebasan untuk belajar, dan klarifikasi nilai, sehingga tumpang tindih dengan filsafat eksistensialisme. Masing-masing teori belajar ini tidak lengkap, tetapi gabungan ketiganya akan bekontribusi besar dalam menjelaskan berbagai aspek prilaku dan prose belajar di dalam kelas dan di sekolah


No comments:

Post a Comment