Friday, December 7, 2018

KONSEP DIRI DAN KOMUNIKASI




A.    KOMUNIKASI INTERPERSONAL DAN AFEKSI : TINJAUAN KHUSUS MENGENAI KONSEP DIRI
Faktor kepribadian terbukti memberikan kontribusi cukup besar terhadap prestasi akademik, disamping faktor-faktor konvensional seperti IQ, kelas sosial, perhatian orang tua, dan seterusnya. Konsep diri adalah faktor kepribadian utama yang terbukti memberikan kontribusinya. Konsep diri berperan memotivasi semangat berusaha, dan semangat berusaha (khususnya usaha belajar) yang termotivasi inilah yang akan .mempunyai efek langusng terhadap peningkatan prestasi belajar.
Pendekatan interaksi simbolik melihat lebih tegas bahwa konsep diri itu berkembang dalam mekanisme komunikasi interpersonal. Pendekatan perspektif psikblogis juga melihat konsep diri berkembang dalam interaksil sosial (khususnya komunikasi interpersonal) namun lebih meluaskan cakupannya dengan berbagai faktor psikologis lainnya. Berikut ini, pertama-tama akan dilihat konsep diri dalam perspektif interaksi simbolik, lalu untuk lebih memperkaya cakupannya, berikutnya akan dikemukakan menurut perspektif psikologis.
B.     KONSEP DIRI DALAM PERSPEKTIF INTERAKSI SIMBOLIK
Perspektif interaksi simbolik melihat konsep diri sebagai informasi yang diperoleh seorang individu mengenai hubungan suatu atau sekelompok objek dengan dirinya, Disini akan diberikan dua dimensi dari konsep diri, pertama, konsep diri riil yang mengacu pada hubungan diri dengan objek yang telah teruji kebenarannya dan mendapat dukungan dengan interalisi sosial; kedua, konsep diri ideal, yang mengacu pada hubungan diri dengan objek yang menurut orang bersangkutan itu ada, namun belum teruji dalam interaksi, atau telah teruji namun belum terpelihara dalam interaksi Konsep diri disini akan mengacu pada keduanya (riil dan ideal).
Dalam pada itu Thompson (dalam Kushman & Cahn, 1985) membedakan tiga kelas diri, pertama diri identitas, yang bersifat faktual, terutama berkenaan dengan karakteristik fisik, usia, jenis kelamin, nama, tempat tinggal, posisi, agama, dst; kedua, diri evaluatif yang merefleksikan kualifikasi atau komentar atas deskripsi objektif atau suatu ekspresi mengenai perasaan (misalnya, "saat ini saya gernbira, sedih, senang dengan pekerjaan, berbahagia dengan perkawinan"), dan ketiga adalah diri perilaku, yang merefleksikan sesuatu yang telah dilakukan (misalnya “saya baru saja kembali dari perjalanan libur, memancing", dst). Perspektif interaksi simbolik menggabungkan jenis-jenis diri di atas, sehingga dikenal diri riil, diri ideal, diri identitas, diri evaluatif dan diri perilaku. Perlu diulangi lagi bahwa konsep diri adalah satu set yang terorganisasi dari informasi yang mendefenisikan hubungan objek dengan seseorang, yang mampu memandu dan mengarahkan setiap tindakannya.
Mead (dalam Cushman & Cahn) yang pandangannya dipakai dalam perspektif inferaksi Simbolik, menyatakan bahwa proses perkembangan konsep diri pada dasarnya adalah proses sosialisasi dan akulturasi. Setiap individu yang dilahirkan akan langsung berada dalam posisi tertentu dalam institusi sosiokulutural secara keseluruhan. Si bayi langsung menempati posisi anak dari kedua orang tuanya, adik dari kakak-kakaknya, serta anggota dari suku kerabatnya. Posisi-posisi ini akan berkembang terus jumlahnya sejalan dengan perkembangan si bayi; kelak ia akan menjadi siswa dari suatu SD, akan jadi anggota klub renang, akan jadi pegawai suatu instansi, dst.
Setiap posisi memiliki peran. Peran adalah cara berperilaku yang dipreskripsikan secara sosial dalam situasi tertentu untuk setiap orang yang menduduki posisi tertentu dalam organisasi sosio-kultural. Maka suatu istilah penting dalam kaitan ini, yaitu pengambilan peran (role taking) berarti proses dimana seseorang individu secara imaginatif membangun sikap-sikap serta harapan-harapan orang-orang lain terhadapnya, saat ia seolah-olah mengemban sesuatu peran.
Dibedakan adanya empat level pengambilan peran.
1.      Pengambilan peran dasar, yaitu proses dimana seorang individu secara imaginatif membangun sikap-sikap dan harapan dari posisi-posisi orgnnisasi sosiokultural, sehingga dengan demikian mampu mengantisipasi dan merespon peran-peran dari orang Iain. Pengambilan peran dasar berkenaan dengan memahami, misalnya, apa makna menjadi seorang bapak, seorang guru, polisi, ulama,warga Indonesia, dst.
2.      Pengambilan peran reflektif, yaitu evaluasi mengenai berbagai tuntutan peran dalam hubungannya dengan apa yang disukai dan tiduk disukai seorang individu; sebagai contoh, saya suka memberikan pelajaran tapi tak suka memeriksa ujian; saya senang menjadi pebisnis, tapi tidak suka membayar pajak, dst.
3.      Pengambilan peran-pantas, yaitu evaluasi seseorang mengenai sejumlah aspek dari suatu peran secara positif lalu mereduksi. hubungan diri dengan objek tersebut menjadi bagian permanen dari kepribadiannya atau konsep diri. Sebagai contoh, seorang mahasiswa misalnya selalu berusaha untuk menyelesaikan segala tugas-tugas yang harus dikerjakan, namun lebih dari itu, ia berusaha mengerjakannya sesempurna mungkin (perfeck), ia mungkin menjadikan hal tersebut menjadi bagian yang permanen dari kepribadiannya, sehingga menonjollah dia sebegai seorang perfeksionis. Diantara peran-peran pantas tersebut (sebagai seorang warga negara yang ideal) misalnya aktif, kreatif, jujur, tenang, sabar, religius, emosional, penuh perhatian, dst.
4.      Pengambilan peran sinesik (synesic role taking), yaitu secara imaginatif mengkonstruksikan konsep diri orang lain demikian rupa sehingga mampu memisahkan hubungan diri dengan objek yang bersifat dasar dan reflektif dari yang bersifat pantas dan sinesik dari orang Iain tcrsebut, dan dapat mengalamatkan hubungan diri dengan objek yang bersifat pantas dan sinesiknya.
Ringkasnya, kita mampu memahami peran-peran /sifat-sifat dasar dan reflektif mereka, lalu coba mengalamatkan (berperilaku dalam interaksi) peran/sifat-sifat pantas dan sinesik kita (misalnya penuh perhatian, sabar, jujur) kepadanya.
Dengan berperilaku demikian, orang lain akan mencatat kemampuan anda untuk merespon secara positif konsep diri orang lain, dan akan menggolongkan anda sebagai seorang yang penuh pertimbangan, peduli dan empati. Ini adalah watak yang hanya mungkin dimiliki dari pemahaman tentang pandangan orang lain, lalu mendukung/menyokong hubungan diri dengan objek yang unik dari orang tersebut. Contoh peran sinesik adalah kooperatif penuh perhatian, simpatik, adaptif, konsensual, kasih sayang, bersahabat, penolong, sabar, sensitif, toleransi, dst.
Kalau hal ini disimak lebih dalam, kita akan memperoleh empat implikasi daripadanya.
1.      Pengambilan peran secara berturut-turut dari peran dasar, reflektif, pantas dan sinesik, sesungguhnya secara berkelanjutan (progressive) menuju kepada kesadaran intepersonal yang semakin membesar. Pengambilan peran dasar dan reflektif barulah terbatas pada sistem berkomunikasi yang bersifat kultural dan organisasi. Sementara peran  pantas dan puncaknya peran sinesik adalah proses dengan mana orang mengembangkan, mempresentasikan dan menvalidasi konsep diri. Artinya, pengambilan peran pantas dan sinesik adalah khusus pada leveI interpersonal dari sistem komunikasi.
2.      Perkembangan konsep diri akan terjadi secara terus menerus sepanjang hayat. Orang akan selalu dalam peran-peran yang baru, lalu mengembangkan peran tersebut ke arah yang lebih bersifat sosial (sinesik). Dalam perkembangan yang terus menerus itulah orang semakin meningkatkan skop, kedalaman, dan konfigurasi dari konsep dirinya.
3.      Perkembangan konsep diri ke arah yang lebih besar dalam skop, kedalaman dan konfigurasi tersebut, akan nienghalangi jumlah dan tipe orang-orang yang akan dapat memberikan dukungan atau tolakan atas konsep diri anda. ini akan berakibat semakin terbatasnya jumlah orang yang menjadi teman, penyayang, pengagum dan jodoh anda.
4.      Kecepatan perubahan dalam perkembangan konsep diri seseorang akan menjadi prediktor yang baik mengenai seberapa Iama hubungannya dengan orang lain akan berakhir. Bila kecepatan perkembangan tidak sama, akan terjadi gangguan dalam hubungan; bila sama, hubungan akan meningkat, sedangkan bila keduanya berkembang ke arah yang berbeda (sehingga tidak bisa saling mendukung) maka hubungan akan berakhir.
Dalam perspektif interaksl simbolik, komunikasi interpersonal akan berperan dalam pengembangan, presentasi dan validasi konsep diri. Mengenai pengembangan konsep diri, telah dikemukakan pada paragraf di atas. Lalu, konsep diri sepanjang yang telah ada dalam persepsi seseorang, akan terpresentasikan dalam interaksi sosial, yaitu komunikasi interpersonal khususnya. Dalam kerangka presentasi ini ada dua hal yang perlu dilihat, yaitu faktor bahaya dan keterbukaan.
Bahaya mengacu pada bagaimana si komunikator membatasi respon orang lain terhadap pesan-pesannya. Ada dua level bahaya, yaitu bahaya rendah dan bahaya tinggi. Dalam pernyataan yang bersifat bahaya rendah si komunikator meminimalkan bahaya personalnya dengan jalan memilih hubungan diri objek yang spesifik dan menstruktur pesan yang dikirim demikian rupa sehingga memberi petunjuk bagi orang lain bagaimana ia (orang lain..tersebut) harus menjawab secara benar dan tepat. Sebagai contoh, saat berjumpa dengan sejawat, anda mengatakan, “pakaian putih-putih (maksudnya kemeja dan celana putih) yang saya pakai ini cocok untuk hari sepanas ini bukan". Dalam pernyataan yang bersifat bahaya tinggi, si komunikator gagal mempreskripsikan jawaban yang pantas, sehingga meningkatkan bahaya personal dengan jalan membiarkan orang lain memberikan jawaban yang tidak diduga sebelumnya. "Apakah anda sama dengan saya memilih SBY sebagai Presiden pada Juli 2004"’?.
Keterbukaan juga mempunyai dua level, keterbukaan rendah dan Keterbukaan tinggi. Keterbukaan rendah berarti minimalnya ekspose oleh si komunikator mengénai keunikan konsep diri (ideal)-nya. Seseorang mengatakan, “Saya adalah mahasiswa UNP", yang dengan pernyataan tersebut hampir tidak ada mengenai seluk beluk kehidupannya di kampus, tanpa ditanya lebih lanjut. Suatu pernyataan yang bersifat keterbukaan tinggi terjadi pada saat seseorang memberikan informasi mengenai konsep dirinya yang tidak akan pernah diketahui orang lain, jika tidak memahami diri interpersonalnya. Sebagai Contoh, Seorang ibu muda berkata pada temannya, "saya senang sekali sama si Joni dengan badannya yang ceking, bahunya bongkok, dan empu jari kakinya yang besar dan panjang itu". lnformasi itu tidaklah merefleksikan karakteristik yang bersifat kultural atau organisasional yang difahami secara bersama oleh masyarakat, tetapi khusus bersifat keunikan konsep diri (hubungan diri dengan objek) si ibu muda tersebut.
Satu hal lagi yang nanti akan dikaitkan dengan pengambilan peran, bahaya dan keterbukaan dalam komuniksi adalah gaya komunikasi. Dibedakan adanya empat gaya komunikasi.
1.      Gaya konvensional (bila seseorang dalam peran yang bersifat kultural dan organisasi berbicara dengan orang lain dalam peran kultural dan organisasionalnya pula);
2.      Gaya interpersonal (seseorang mengemukakan apa-apa yang secara personal disukai/tak disukainya mengenai peran yang dipreskripsikan secara sosial);
3.      Gaya manipulatif (seseorang berusaha agar si pendengar dapat menerima hubungan diri dengan objek yang disukainya);
4.      Gaya terbuka (tidak ada rahasia sehingga bahayanya tinggi) maka hubungan antara keempat faktor, yaitu pengambilan peran, gaya komunikasi, bahaya dan keterbukaan, digambarkan sebagai berikut (Cushman & Cahn,l985).



Figure 4: Hubungan Pengambilan Peran dan Gaya Komunikasi
No
Pengambilan Peran
Gaya Komunikasi
Bahaya
Keterbukaan
1
2
3
4
Dasar
Refleksi
Pantas
Sinesik
Konvensional
Interpersonal
Manipulatif
Terbuka
Rendah
Rendah
Tinggi
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi

Akhirnya, apabila konsep diri dipresentasikan dalam interaksi komunikasi, baik dalam bentuk terucap maupun dalam ujud tingkah laku, ia akan diikuti oleh/ dengan proses validasi.
Perkembangan konsep. diri kita tergantung dari apakah orang memahami, lalu memberikan dukungan positif terhadap hubungan khusus diri dengan objek konsep diri kita. Perlu ditekankan bahwa, pemahaman dan dukungan bukanlah dalam arti riil, tapi yang dipersepsikan demikian. Apabila menurut persepsi kita orang lain telah memahami konsep diri kita dan sekaligus mendukungnya, maka telah terjadi validasi konsep diri. Pada langkah lebih lanjut, persepsi kita mengenai adanya pengertian dan dukungan alas konsep diri kita ini, akan memberikan dasar bagi kemenarikan interpersonal yang pada akhirnya, ini akan menjadi basis bagi terbentuk/ berkembangnya hubungan interpersonal.Demikian secara garis besar bagaimana konsep diri terbentuk dan berkembang melalui mekanisme komunikasi interpersonal menurut perspektif interaksi simbolik.
Sebelum melihat lebih Ianjut konsep diri dari perspekif psikologis, akan dikemukakan terlebih dulu suatu mekanisme komunikasi interpersonal atas dasar jenis-jenis pesan yang lalu lintas di dalam komunikasi interpersonal tersebut. Kelompok ahli Palo Alto yang terdiri dari Rateson, Waltzlawich, Bavelas dan Jackson (dalam trenholm,l986) membedakan adanya dua jenis pesan yang tersalur di setiap komunikasi interpersonal, yaitu aspek/level/jenis isi (content) dan aspek/jenis/ level hubungan (relational). Isi adalah pernyataan yang disampaikan mengenai hal yang dibicarakan, sementara aspek hubungan menyampaikan informasi mengenai interaksi dalam mana isi tersebut ditransmisikan. Kelompok Palo Alto menegaskan bahwa setiap pesan yang saling dipertukarkan dalam komunikasi interpersonal memuat sekaligus kedua tipe informasi tersebut. Misalkan, seorang mahasiswa mencegat anda yang sedang menuju kantor dan menanyakan apakah dia diizinkan mengkonsultasikan tesisnya dengan anda sore ini. Bila jawab anda tersebut dengan nada lemah lembut dan sambil sedikit tersenyum, dari sikap anda tersebut mahasiswa yakin bisa, sebelum jawab anda didengarnya. Sebaliknya apabila anda menjawab itu dengan kening berkerut dan suara anda ditinggikan, maka mahasiswa yakin anda akan menolaknya, sebelum mendengar jawab anda. Isi (content) pesan anda adalah itu juga, yang berbeda adalah aspek hubungannya. Tegasnya, pada gaya menjawab pertama (positif) terasa suasana intim, lembut dan bersahabat, sementara nada gaya menjawab kedua (negatit), terasa suasana yang keras dan kurang bersahabat. Apabila mahasiswa tersebut sering mengalami iklim yang negatif itu setiap ia menghubungi dosen untuk berkonsultasi, maka konsep dirinya akan menjadi terkikis.
Watzlawick dan juga ahli lainnya menegaskan bahwa pesan yang bersifat relasional biasanya berujud kode-kode nonverbal, sementara yang bersifat isi adalah kode-kode verbal. Pada bagian depan telah dikemukakan taksonomi kode-kode nonverbal untuk dapat dimanfaatkan dalam menata aspek relasional dalam berkomunikasi. Dalam pada itu, ternyata pemisahan fungsi (sebagai isi dan relasional) dari kode kode tersebut (verbal dan nonverbal) tidak mutlak samasekali. Kata-kata yang disampaikan dapat juga menyampaikan aspek hubungan, misalnya kalau jawaban anda terhadap pertanyaan/harapan mahasiswa di atas sebagai Berikut: "Maksud anda sore ini; bukankah itu waktu lstirahat, dan jangan ganggu saya dengan tugas-tugas rutin sekolah pada jam-jam istirahat"; atau bandingkanlah kalau anda menjawab : "Maksud anda sore ini, cocok sekali, karena saya sedang tidak ada kegiatan sore ini". Artinya, dalam kedua kemungkinan jawaban di atas, pesan relasionalnya justru terdapat dalam pesan isinya sendiri, dan dapat menghadirkan kedua jenis suasana (tidak bersahabat pada contoh pertama dan bersahabat pada contoh kedua). Kesimpulannya, menurut pandangan pragmatik, interaksi dari kedua jenis kode, yaitu kode digital-verbal- aspek isi, dengan kode analog-nonverbal-aspek hubungan, memungkinkan kita secara leblh sempuma menyimpulkan pesan relasional dari setiap interaksi/komunikasi interpersonal. Berikutnya akan dilihat konsep diri dalam perspektif psikologis
C.     KONSEP DIRI DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGIS
Psikologi, khususnya Psikologi Sosial melihat konsep diri sebagai suatu organisasi dari sikap-sikap diri. Suatu sikap mernilikl komponen-komponen berikut, (1) keyakinan/ pengetahuan atau komponen kognitif (2) komponen afeksi atau emosional, (3) komponen evaluasi, dan (4) kecenderungan untuk merespon atau komponen konasi.
Komponen kognitif dari konsep diri berisi proposisi atau deskripsi mengenai sesuatu tanpa memandang, apakah pengetahuan/keyakinan itu salah atau benar, didasarkan atas bukti-bukti objektif maupun subjektif. Anda dapat membuat daftar mengenai siapa anda seperti yang anda persepsikan, misalnya, sebagai seorang pancasilais, pemeluk agama yang taat, disiplin dalam bertindak, bertanggungjawab dalam setiap pekerjaan. Komponen afektif atau emosional adalah berupa gejolak-gejolak hati, misalnya, saat ini anda merasa jenuh, takut, sedih, senang, dan seterusnya. Kata emosi berakar dari movere yang dalam bahasa Latin berarti menggerakkan. Dengan demikian, komponen afeksi adalah rasa yang menempati komponen kognitif sehingga berpotensi untuk mendorong tindakan yang relevan dengan keyakinan/kognisi kita. Komponen evaluasi, kebanyakan penulis menggunakan istilah, perasaan harga diri, untuk ini. Sesuatu yang kita percayai (komponen kognitif) pada prinsipnya masih bersifat isolasi dari faktor lainnya, kecuali setelah ditempati oleh afek. Kini (saat telah ditempati afek) ia memerlukan penilaian.
Bums (1993) memberikan tiga titik acuan utama bagi penilaian. Pertama adalah citra diri ideal (sama dcngan istilah konsepdiri ideal yang telah disinggung di bagian depan) yaitu suatu diri yang didambakan, namun belum diuji dalam intcraksi sosial atau apabila telah diuji, namun belum terpelihara dalam interaksi. Kedua, adalah internalisasi dari penilaian masyarakat, yaitu   persepsi dan keyakinan individu bagaimana orang lain mengevaluasi dia. Ketiga, adalah pengalaman riilnya dalam rentangan relatif sukses atau relatif gagal dalam melakukan sesuatu yang dituntut oleh identitasnya. Di atas dasar tiga acuan inilah sescorang melakukan penilaian diri yang dipikirkannya dengan mana nanti ia dapat meletakkan predikat atas dirinya, apakah ia suatu sosok yang berhasil, bisa percaya, dosen yang ideal, warga yang peduli dst.
Berikutnya adalah komponen konatif. Ini adalah dalam arti kecenderungan bertindak atau memberi respon. Suatu objek sikap yang prosesnya telah melewati tiga yang telah dikemukakan (kognisi, afeksi, evaluasi) apabila tidak ada suatu konsiren yang berarti akan berlanjut pada terbentuknya predisposisi untuk terealisasikannya dalam tindakan. Namun tidak seluruhnya akan bermuara demikian. Apabila misalnya ada halangan sehingga terdapat diskrepansi antara sikap dengan tindakan nyata, pasti ada variabel situasional yang mengintervensinya. Mueller (1986) mengidentifikasi setidaknya terdapat variabel-variabel situasional berikut: tekanan sosial, adanya opsi-opsi lain tindakan nyata, keadaan ekonomi, efek dari nilai-nilai yang bertentangan, serta adanya sikap-sikap yang saling berkonflik.
Apabila konsep diri dipandang sebagai (seperangkat) sikap (yaitu sesuai dangan perspektif psikologis) itu berarti ia bermula dari kepercayaan seseorang mengenai sesuatu, melalui proses internal seperti tempelan afeksi, evaluasi, lalu bermuara pada seberapa jauh hal tersebut dapat terealisasi dalam tindakan. Tindakan ini pada hakekatnya adalah arena validasi konsep diri, seperti telah dikemukakan saat membicarakan pandangan interaksi simbolik. Disinilah tempatnya orang berpengalaman, apakah menurut persepsinya orang-orang lain bisa memahami dirinya, lalu memberikan dukungan atau tidak, Artinya, disinilah konsep dirinya itu dites, kemudian disokong atau ditolak.
Hal berikutnya yang dianggap penting dalam perspektif psikolgis mengenai konsep diri, adalah sumber dari konsep diri. Dari berbagai sumber pembentukan konsep diri, Bums (1993) mengidentifikasi lima sumber yang tampaknya sangat penting, yaitu:
(1)   Citra tubuh
(2)   Bahasa, yaitu kemampuan menkonseptualisasikan diri dan orang lain,
(3)   Umpan balik yang dipersepsikan dari lingkungan, terutama tentang bagaimana orang-orang yang dianggap penting memandang pribadi kita, dan bagaimana pribadi kita tersebut dibandingkan dengan norma masyarakat,
(4)   Identifikasi dengan stereotip peranan jenis kelamin yang sesuai,
(5)   Praktek-praktek membesarkan anak
Di sini terlihat bahwa umpan balik dari lingkungan adalah Salah satu sumber, sementara pada perspektif interaksi simbolik seperti telah dikemukakan di depan, umpan balik (sinonim dengan validasi konsep diri) adalah tahapan yang selalu ada dalam mekanisme perkembangan konsep diri.
Apakah itu sebagai satu sumber dari konsep diri, ataupun satu tahapan yang harus dilalui dalam perkembangan konsep diri, maka interaksi sosial (khususnya komunikasi interpersonal) memiliki peran yang menentukan dalam perkembangan konsep diri. Apabila konsep diri ini khusus dilihal dalam kehidupan para siswa di sekolah, maka unsur-unsur lingkungan yang amat penting dengan mana mereka umumnya berinteraksi sepanjang hari, adalah orang tua, guru-guru dan teman sejawat. Maka validasi konsep diri mereka akan terjadi umumnya dalam interaksi dengan ketiga unsur ini. Dalam pada itu, dengan dilihatnya konsep diri sebagai seperangkat sikap, maka terutama komponen-komponen afeksi dan evaluasi dari konsep diri seseorang (untuk objek konsep diri tertentu), akan menempatkannya ke dalam predikat evaluatif tertentu pula. Sehubungan dengan itu, Bums telah membayangkan adanya rentangan relatif dari konsep diri, dari konsep diri positif ke konsep diri negatif atau kalau digunakan istilah perasaan harga diri (istilah lain untuk konsep diri) maka akan ada harga diri tinggi dan harga diri rendah. Hal panting yang perlu mendapat perhatian adalah, pada saat melihat konsep diri sebagai sikap, maka konsep diri, evaluasi diri, penghargaan atas diri, perasaan harga diri, dan penerimaan diri, adalah istilah-istilah yang sinonim, dan untuk selanjutnya akan digunakan dalam maksud demikian.
Ada sejumlah karakteristik kepribadian dari seseorang yang mempunyai konsep diri/harga diri/penghargaan terhadap diri yang rendah, ataupun sebaliknya yang tinggi, walau hanya bersifat kecenderungan. Pertama, adalah untuk orang yang menderita konsep diri rendah. Mereka yang mempunyai perasaan harga diri rendah, sepertinya sedang berada dalam situasi telah atau sedang mengantipasi suatu bentuk penolakan; mereka lalu mencoba berusaha untuk menghalangi penolakan tersebut dengan cara meminimalkan kontak dengan orang lain atau malah dapat berbalik jadi menyerang orang lain; mereka peka terhadap kritik. Pada langkah lebih lanjut, hal ini melemahkan motivasi mereka untuk berinteraksi dengan orang lain, dan tidak memperlihatkan minat untuk bersaing. Mereka cenderung untuk mengasingkan diri. Mereka yang punya harga diri rendah ini, oleh karena yakin dengan kekurang mampuan diri, mereka menjadi bersifat lebih tunduk pada pengaruh sosial, sehingga relatif mudah dipengaruhi oleh komunikasi persuasiti. Dengan kata lain, mereka umumnya berfokus eksternal. Lantas dalam rangka melihat hubungan faktor internal dengan eksternal dari orang-orang yang punya harga diri rendah, Bums menyimpulkan dari Fromm, bahwa, tidak menyenangi diri dan tidak menyenangi orang lain bukanlah alternatif-alternatif Keduanya berjalan seiring, artinya sikap kurang menyenangi orang lain akan ditemukan pada mereka yang kurang menyenangi diri.
Sebaliknya dengan orang yang mempunyai harga diri tinggi. Mereka umumnya mempunyai rasa mampu diri yang tinggi. Lokusnya biasanya adalah internal, yang berarti bahwa, keberhasilan ataupun kegagalan dalam usahanya akan dipersepsinya sebagai tersebab teritama oleh dirinya, sehingga dalam setiap situasi (berhasil atau gagal) motivasi berusahanya tinggi. Mereka hampir tidak memperlihatkan perilaku penipuan; mereka tidak butuh hal tersebut (menipu) oleh karena mereka merasa mampu untuk berprestasi dengan upaya apa adanya. Pada saat mereka menghadapi kegagalan, ada dua kemungkinan reaksi mereka, (I) bergaya. defensif misalnya mendiskreditkan sumber kegagalan tersebut, (2) tidak begitu terpengaruh, oleh karena kegagalan bagi mereka bukanlah ancaman. Oleh sifat pcrcaya diri yang tinggi, mereka kurang rentan terhadap pengaruh, terutama pengaruh antar pribadi. Secara keseluruhan, mereka yang punya harga diri tinggi ini, dikendalikan oleh pengharapan pengharapan dari orang Iain, namun dengan amat mempertimbangkan motivasi, sasaran, dan kemampuan mereka sendiri, yang mereka nilai lebih tinggi. Akhirnya, berlawanan dengan orang yang punya harga diri rendah, pemilik harga diri tinggi ini bersifat mengasihi orang lain oleh karena mereka memang mengasihi diri mereka sendiri. Para ahli telah membuktikan bahwa faktor kepribadian mempunyai kontribusi cukup besar terhadap prestasi akademis siswa di sekolah. Konsep diri adalah satu yang utama dari faktor kepribadian itu. Sebagai terkategori kepada sikap, pengaruh konsep diri pada prestasi akademik adalah bersifat memotivasi semangat kerja. Oleh karena mempunyai kontribusi tersebut, maka konsep diri dapat dijadikan barometer bagi prestasi akademik.
Pertama-tama, orang tua sadar ataupun tidak, memberi tekanan pada anak- anak untuk memih keberhasilan di sekolah. Di sekolah anak menggunakan pencapaian akademis sebagai indikator keberhasilan tersebut. Evaluasi dari orang lain (terutama orang-orang yang sangat berarti dalam kehidupan anak) dalam hal ini orang tua, menjadi evaluasi diri, sehingga seorang anak yang berhasil akan merasa kompeten dan tinggi rasa harga dirinya dan sebaliknya yang tidak berhasil akan merasa tidak kompeten dan inferior (rasa harga diri rendah). Di sekolah di mana siswa menghabiskan waktu semakin banyak bersama- sama sejawat dan guru, maka guru dan sejawat berangsur-angsur menjadi sumber penguatan, baik positif (untuk prestasi akademis yang tinggi) dan negatif (untuk yang prestasi akademis rendah). Evaluasi yang diberikan guru dan sejawat di sekolah biasanya Iebih banyak bidangnya dari yang diberikan orang tua. Di samping pencapaian akademis, bidang olah raga dalam berbagai jenis, kesenian berbagai jenis, layanan sosial, pramuka dan Iainnya menjadi bidang sasaran evaluasi. Siswa jadinya dalam mengisi hari-hari mereka di sekolah menghadapi orang-orang yang mengingatkan mereka mengenai potensi dan keterbatasan mereka, penghargaan-penghargaan dan hukuman-hukuman, serta keberhasilan dan kegagalan mereka. Banyaknya hal yang menjadi objek evaluasi di sekolah, di satu segi memang memberatkan sebagian siswa, di segi Iain memungkinkan semakin banyak yang berksempatan untuk berprestasi, bila prestasi tersebut dapat menyebar.
Anak-anak yang tidak berhasil mencapai prestasi yang memadai dapat mengalami perkembangan yang merusak. Bums menekankan adanya tiga karakteristik umumnya anak-anak yang berprestasi rendah dibandingkan dengan yang berprestasi tinggi:
(1)   Mereka hampir selalu berada dalam perasaan-perasaan yang sedang dikritik, ditolak, ataupun diasingkan
(2)   Bertindak defensif melalui tindakan mengalah, menghindari / isolasi atau malah tindakan-tindakan yang negatif
(3)   Tidak mampu mengekspressikan diri yang sesuai, di dalam berbagai tindakan maupun perasaan.
Bagaimana mekanisme perkembangan konsep diri anak di sekolah, Bums memberikan skema berikut ini.
Figura 5. : Skema Lingkaran Bums
Di sini dibayangkan hubungan terus menerus antara konsep diri siswa, tingkahlaku mereka, harapan dan umpan balik guru dan orang tua dalam bentuk spiral (berputar/melingkar dan meningkat). Apabila perkembangan berbentuk spiral tersebut untuk keberhasilan, tentu saja adalah sesuatu yang seharusnya. Tetapi bila untuk sebuah kegagalan, ia akan bermuara pada keadaan yang memprihatinkan. Orang tua dan terutama guru harus mampu memutuskan spiral ini. Disinilah sesungguhnya profesionalisme guru untuk dipertaruhkan. Hal ini akan menjadi pembahasan khusus pada bagian-bagian akhir naskah ini.

No comments:

Post a Comment