A. KOMUNIKASI INTERPERSONAL DAN AFEKSI : TINJAUAN KHUSUS
MENGENAI KONSEP DIRI
Faktor kepribadian terbukti memberikan kontribusi cukup besar
terhadap prestasi akademik, disamping faktor-faktor konvensional seperti IQ, kelas sosial, perhatian orang
tua, dan seterusnya. Konsep
diri adalah faktor kepribadian utama yang terbukti
memberikan kontribusinya. Konsep diri
berperan memotivasi semangat berusaha, dan semangat berusaha (khususnya usaha belajar)
yang termotivasi inilah yang akan .mempunyai efek langusng terhadap peningkatan prestasi
belajar.
Pendekatan interaksi simbolik melihat lebih tegas bahwa konsep diri itu berkembang
dalam mekanisme komunikasi interpersonal. Pendekatan perspektif psikblogis juga
melihat konsep diri berkembang dalam interaksil sosial (khususnya komunikasi
interpersonal) namun lebih meluaskan cakupannya dengan berbagai faktor psikologis
lainnya. Berikut ini, pertama-tama akan dilihat konsep diri dalam perspektif
interaksi simbolik, lalu untuk lebih memperkaya cakupannya, berikutnya akan
dikemukakan menurut perspektif psikologis.
B. KONSEP DIRI DALAM PERSPEKTIF INTERAKSI SIMBOLIK
Perspektif interaksi simbolik
melihat konsep diri sebagai
informasi yang diperoleh seorang
individu mengenai hubungan
suatu atau sekelompok objek dengan dirinya, Disini akan diberikan
dua dimensi dari konsep
diri, pertama, konsep diri riil
yang mengacu pada
hubungan diri dengan objek yang telah teruji kebenarannya dan mendapat dukungan
dengan interalisi sosial; kedua, konsep diri ideal, yang mengacu pada hubungan
diri dengan objek yang menurut orang bersangkutan itu ada, namun belum teruji dalam interaksi, atau telah teruji namun belum terpelihara
dalam interaksi Konsep diri disini
akan mengacu pada keduanya (riil dan ideal).
Dalam pada itu Thompson (dalam Kushman & Cahn, 1985) membedakan tiga kelas
diri, pertama diri identitas, yang bersifat faktual, terutama berkenaan dengan
karakteristik fisik, usia, jenis kelamin, nama, tempat tinggal,
posisi, agama, dst;
kedua, diri evaluatif yang merefleksikan
kualifikasi atau komentar atas deskripsi objektif atau suatu ekspresi mengenai perasaan
(misalnya, "saat ini saya gernbira,
sedih, senang dengan pekerjaan, berbahagia dengan perkawinan"), dan ketiga
adalah diri perilaku, yang merefleksikan sesuatu yang telah dilakukan (misalnya “saya baru saja
kembali dari
perjalanan libur,
memancing", dst). Perspektif interaksi simbolik menggabungkan
jenis-jenis diri di atas, sehingga dikenal diri
riil, diri ideal, diri identitas, diri evaluatif dan diri perilaku. Perlu diulangi lagi bahwa konsep diri adalah satu set
yang terorganisasi dari informasi yang mendefenisikan hubungan objek dengan seseorang, yang mampu
memandu dan mengarahkan setiap
tindakannya.
Mead (dalam Cushman & Cahn)
yang pandangannya dipakai dalam perspektif inferaksi Simbolik, menyatakan bahwa proses perkembangan konsep diri pada dasarnya adalah
proses sosialisasi dan
akulturasi. Setiap individu yang dilahirkan akan langsung berada dalam posisi tertentu dalam institusi sosiokulutural
secara keseluruhan.
Si bayi langsung menempati posisi anak dari kedua orang
tuanya, adik dari kakak-kakaknya, serta anggota dari suku kerabatnya.
Posisi-posisi ini akan berkembang terus jumlahnya sejalan dengan perkembangan
si bayi; kelak ia akan menjadi siswa dari suatu SD, akan jadi anggota klub
renang, akan jadi pegawai suatu instansi, dst.
Setiap posisi memiliki peran. Peran adalah cara berperilaku yang dipreskripsikan
secara sosial dalam situasi tertentu untuk setiap orang yang menduduki posisi tertentu dalam organisasi sosio-kultural. Maka suatu istilah penting dalam kaitan ini,
yaitu pengambilan peran (role taking)
berarti proses dimana
seseorang individu secara imaginatif membangun sikap-sikap serta harapan-harapan
orang-orang lain
terhadapnya, saat ia seolah-olah mengemban sesuatu peran.
Dibedakan adanya empat
level pengambilan peran.
1. Pengambilan peran dasar,
yaitu proses dimana
seorang individu secara imaginatif membangun
sikap-sikap dan harapan dari posisi-posisi orgnnisasi sosiokultural, sehingga dengan demikian mampu mengantisipasi
dan merespon peran-peran dari orang Iain. Pengambilan peran
dasar berkenaan dengan memahami, misalnya,
apa makna menjadi
seorang bapak, seorang guru,
polisi, ulama,warga Indonesia, dst.
2. Pengambilan peran reflektif, yaitu evaluasi mengenai berbagai tuntutan peran
dalam hubungannya dengan apa yang
disukai dan tiduk disukai seorang individu; sebagai contoh, saya suka memberikan pelajaran
tapi tak suka memeriksa
ujian; saya senang menjadi pebisnis, tapi
tidak suka membayar pajak, dst.
3. Pengambilan peran-pantas,
yaitu evaluasi seseorang mengenai sejumlah aspek dari suatu peran secara positif lalu mereduksi.
hubungan diri dengan objek tersebut menjadi bagian permanen dari
kepribadiannya atau konsep diri. Sebagai contoh, seorang mahasiswa misalnya selalu berusaha
untuk menyelesaikan segala tugas-tugas yang harus dikerjakan, namun lebih dari
itu, ia berusaha mengerjakannya sesempurna mungkin (perfeck), ia mungkin
menjadikan hal tersebut menjadi bagian yang permanen dari kepribadiannya,
sehingga menonjollah dia sebegai seorang perfeksionis. Diantara peran-peran pantas tersebut (sebagai seorang warga negara yang ideal) misalnya
aktif, kreatif, jujur, tenang, sabar,
religius,
emosional, penuh perhatian, dst.
4. Pengambilan peran sinesik (synesic role taking), yaitu secara
imaginatif mengkonstruksikan konsep
diri orang lain demikian rupa
sehingga mampu memisahkan
hubungan diri dengan objek yang bersifat dasar dan reflektif dari yang bersifat pantas
dan sinesik dari orang
Iain tcrsebut, dan dapat mengalamatkan hubungan diri dengan objek yang bersifat pantas dan
sinesiknya.
Ringkasnya,
kita mampu memahami peran-peran
/sifat-sifat dasar dan reflektif mereka, lalu coba
mengalamatkan (berperilaku dalam
interaksi) peran/sifat-sifat
pantas dan sinesik kita (misalnya penuh perhatian, sabar,
jujur) kepadanya.
Dengan
berperilaku demikian, orang lain akan mencatat
kemampuan anda untuk merespon secara
positif konsep diri orang lain, dan akan menggolongkan anda sebagai seorang yang penuh
pertimbangan, peduli dan empati. Ini
adalah watak yang hanya mungkin dimiliki dari pemahaman tentang pandangan orang
lain, lalu mendukung/menyokong
hubungan diri dengan objek yang unik dari
orang tersebut. Contoh peran sinesik adalah kooperatif penuh perhatian,
simpatik, adaptif, konsensual,
kasih sayang, bersahabat, penolong, sabar, sensitif, toleransi, dst.
Kalau hal ini
disimak lebih dalam, kita akan memperoleh empat implikasi daripadanya.
1.
Pengambilan peran secara
berturut-turut dari peran dasar, reflektif, pantas dan
sinesik, sesungguhnya
secara berkelanjutan (progressive) menuju kepada kesadaran intepersonal yang
semakin membesar. Pengambilan peran dasar dan reflektif barulah
terbatas pada sistem berkomunikasi yang bersifat kultural dan
organisasi. Sementara peran pantas dan puncaknya peran sinesik adalah proses dengan mana
orang mengembangkan, mempresentasikan
dan menvalidasi konsep diri.
Artinya, pengambilan peran pantas dan sinesik adalah khusus pada leveI interpersonal dari
sistem komunikasi.
2.
Perkembangan konsep diri
akan terjadi secara terus menerus
sepanjang hayat. Orang akan selalu dalam peran-peran
yang baru, lalu mengembangkan peran
tersebut ke arah yang lebih bersifat sosial (sinesik). Dalam perkembangan yang terus
menerus itulah orang semakin meningkatkan
skop, kedalaman, dan
konfigurasi dari konsep dirinya.
3.
Perkembangan konsep
diri ke arah yang lebih besar dalam skop, kedalaman dan konfigurasi tersebut,
akan nienghalangi jumlah dan tipe orang-orang yang akan dapat memberikan
dukungan atau tolakan atas konsep diri anda. ini akan berakibat semakin
terbatasnya jumlah orang yang menjadi teman, penyayang, pengagum dan jodoh
anda.
4.
Kecepatan perubahan
dalam perkembangan konsep diri
seseorang akan menjadi prediktor
yang baik mengenai seberapa Iama hubungannya dengan orang lain akan berakhir. Bila
kecepatan perkembangan tidak sama, akan terjadi gangguan dalam hubungan; bila
sama, hubungan akan meningkat, sedangkan bila keduanya berkembang ke arah yang
berbeda (sehingga tidak bisa saling mendukung) maka hubungan akan berakhir.
Dalam perspektif interaksl simbolik,
komunikasi interpersonal akan berperan dalam pengembangan, presentasi dan validasi konsep diri. Mengenai pengembangan konsep
diri, telah dikemukakan pada paragraf di atas. Lalu, konsep diri sepanjang yang
telah ada dalam persepsi seseorang, akan terpresentasikan dalam interaksi
sosial, yaitu komunikasi interpersonal
khususnya. Dalam kerangka
presentasi ini ada dua hal yang perlu dilihat, yaitu faktor bahaya dan keterbukaan.
Bahaya mengacu pada bagaimana si komunikator membatasi respon orang lain
terhadap pesan-pesannya. Ada dua level bahaya, yaitu bahaya rendah dan bahaya
tinggi. Dalam pernyataan yang bersifat bahaya rendah si komunikator
meminimalkan bahaya personalnya dengan jalan memilih hubungan diri objek yang
spesifik dan menstruktur pesan yang dikirim demikian rupa sehingga memberi
petunjuk bagi orang lain bagaimana ia (orang lain..tersebut) harus menjawab
secara benar dan tepat. Sebagai contoh, saat berjumpa dengan sejawat, anda
mengatakan, “pakaian putih-putih (maksudnya kemeja dan celana putih) yang saya
pakai ini cocok untuk hari sepanas ini bukan". Dalam pernyataan yang
bersifat bahaya tinggi, si komunikator gagal mempreskripsikan jawaban yang
pantas, sehingga meningkatkan bahaya personal dengan jalan membiarkan orang
lain memberikan jawaban yang tidak diduga sebelumnya. "Apakah anda sama dengan saya
memilih SBY sebagai Presiden
pada Juli 2004"’?.
Keterbukaan juga mempunyai dua level, keterbukaan
rendah dan Keterbukaan tinggi.
Keterbukaan rendah berarti minimalnya ekspose
oleh si komunikator
mengénai keunikan konsep diri
(ideal)-nya. Seseorang mengatakan, “Saya adalah mahasiswa UNP", yang
dengan pernyataan tersebut hampir tidak ada mengenai seluk beluk kehidupannya
di kampus, tanpa ditanya lebih lanjut. Suatu pernyataan yang bersifat
keterbukaan tinggi terjadi pada saat seseorang memberikan informasi mengenai
konsep dirinya yang tidak akan pernah diketahui orang lain, jika tidak memahami
diri interpersonalnya. Sebagai Contoh, Seorang ibu muda berkata pada temannya,
"saya senang sekali sama si Joni dengan badannya yang ceking, bahunya
bongkok, dan empu jari kakinya yang besar dan panjang itu". lnformasi itu
tidaklah merefleksikan karakteristik yang bersifat kultural atau organisasional
yang difahami secara bersama oleh masyarakat, tetapi khusus bersifat keunikan
konsep diri (hubungan diri dengan objek) si ibu muda tersebut.
Satu hal lagi yang nanti akan dikaitkan dengan pengambilan peran,
bahaya dan keterbukaan
dalam komuniksi adalah gaya komunikasi. Dibedakan adanya empat gaya komunikasi.
1. Gaya konvensional (bila seseorang dalam peran yang bersifat kultural dan
organisasi berbicara dengan orang lain dalam peran kultural dan organisasionalnya pula);
2. Gaya interpersonal (seseorang mengemukakan apa-apa yang secara
personal disukai/tak disukainya mengenai peran yang dipreskripsikan secara sosial);
3. Gaya manipulatif (seseorang berusaha agar si pendengar dapat menerima hubungan diri dengan objek yang disukainya);
4. Gaya terbuka (tidak ada rahasia sehingga bahayanya tinggi) maka hubungan antara
keempat faktor,
yaitu pengambilan peran, gaya komunikasi, bahaya dan keterbukaan, digambarkan sebagai berikut (Cushman & Cahn,l985).
Figure 4: Hubungan Pengambilan Peran dan
Gaya Komunikasi
No
|
Pengambilan Peran
|
Gaya Komunikasi
|
Bahaya
|
Keterbukaan
|
1
2
3
4
|
Dasar
Refleksi
Pantas
Sinesik
|
Konvensional
Interpersonal
Manipulatif
Terbuka
|
Rendah
Rendah
Tinggi
Tinggi
|
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
|
Akhirnya, apabila konsep diri dipresentasikan dalam interaksi
komunikasi, baik dalam bentuk terucap maupun dalam ujud tingkah laku, ia akan
diikuti oleh/ dengan proses validasi.
Perkembangan konsep. diri kita tergantung dari apakah orang memahami,
lalu memberikan dukungan positif terhadap hubungan khusus diri dengan
objek konsep diri kita. Perlu ditekankan bahwa, pemahaman dan dukungan
bukanlah dalam arti riil, tapi
yang dipersepsikan demikian. Apabila menurut persepsi kita orang lain telah memahami konsep diri kita dan sekaligus mendukungnya,
maka telah terjadi validasi konsep diri. Pada langkah lebih lanjut, persepsi
kita mengenai adanya pengertian dan dukungan alas konsep diri kita ini, akan
memberikan dasar bagi kemenarikan interpersonal yang pada akhirnya, ini akan
menjadi basis bagi terbentuk/ berkembangnya hubungan interpersonal.Demikian
secara garis besar bagaimana konsep diri terbentuk dan berkembang melalui
mekanisme komunikasi interpersonal menurut perspektif interaksi simbolik.
Sebelum melihat lebih Ianjut konsep diri dari perspekif psikologis,
akan dikemukakan terlebih dulu suatu mekanisme komunikasi interpersonal atas
dasar jenis-jenis pesan yang lalu lintas di dalam komunikasi interpersonal
tersebut. Kelompok ahli Palo Alto yang terdiri dari Rateson, Waltzlawich, Bavelas
dan Jackson (dalam trenholm,l986)
membedakan adanya dua jenis pesan yang tersalur di setiap komunikasi interpersonal, yaitu aspek/level/jenis isi (content) dan aspek/jenis/ level hubungan
(relational). Isi adalah pernyataan yang disampaikan mengenai hal yang
dibicarakan, sementara aspek hubungan menyampaikan informasi mengenai
interaksi dalam mana isi tersebut ditransmisikan. Kelompok Palo Alto menegaskan bahwa setiap
pesan yang saling dipertukarkan dalam komunikasi
interpersonal memuat sekaligus kedua tipe informasi
tersebut. Misalkan, seorang mahasiswa
mencegat anda yang sedang menuju kantor dan menanyakan apakah dia diizinkan mengkonsultasikan
tesisnya dengan anda
sore ini. Bila jawab anda
tersebut dengan nada
lemah lembut dan sambil sedikit
tersenyum, dari sikap anda tersebut mahasiswa yakin bisa, sebelum jawab anda
didengarnya. Sebaliknya
apabila anda menjawab itu dengan kening berkerut dan suara anda ditinggikan, maka mahasiswa yakin anda akan menolaknya,
sebelum mendengar jawab anda. Isi (content) pesan anda
adalah itu juga, yang berbeda adalah
aspek hubungannya.
Tegasnya, pada gaya menjawab pertama (positif)
terasa suasana intim, lembut dan
bersahabat, sementara nada gaya menjawab kedua
(negatit), terasa suasana
yang keras dan kurang bersahabat. Apabila mahasiswa tersebut sering mengalami iklim yang negatif itu setiap ia menghubungi
dosen untuk berkonsultasi, maka konsep dirinya akan menjadi terkikis.
Watzlawick dan juga ahli lainnya menegaskan bahwa pesan yang
bersifat relasional
biasanya berujud kode-kode
nonverbal, sementara yang
bersifat isi adalah
kode-kode verbal. Pada bagian depan telah dikemukakan taksonomi kode-kode nonverbal untuk
dapat dimanfaatkan dalam menata aspek relasional dalam berkomunikasi. Dalam pada
itu, ternyata pemisahan
fungsi (sebagai isi dan relasional)
dari kode kode tersebut (verbal dan nonverbal) tidak mutlak samasekali.
Kata-kata yang disampaikan dapat juga menyampaikan aspek hubungan, misalnya
kalau jawaban anda terhadap pertanyaan/harapan mahasiswa di atas sebagai
Berikut: "Maksud anda sore ini; bukankah itu waktu lstirahat, dan jangan
ganggu saya dengan tugas-tugas rutin sekolah pada jam-jam istirahat"; atau
bandingkanlah kalau anda menjawab : "Maksud anda sore ini, cocok sekali,
karena saya sedang tidak ada kegiatan sore ini". Artinya, dalam kedua kemungkinan
jawaban di atas, pesan relasionalnya justru terdapat dalam pesan isinya sendiri,
dan dapat
menghadirkan kedua jenis suasana (tidak bersahabat pada contoh pertama dan
bersahabat pada contoh kedua). Kesimpulannya, menurut pandangan
pragmatik, interaksi
dari kedua jenis kode, yaitu kode digital-verbal- aspek isi, dengan kode
analog-nonverbal-aspek hubungan, memungkinkan kita secara leblh
sempuma menyimpulkan pesan relasional dari
setiap interaksi/komunikasi
interpersonal. Berikutnya akan dilihat konsep diri dalam perspektif psikologis
C.
KONSEP DIRI
DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGIS
Psikologi, khususnya Psikologi Sosial melihat konsep diri sebagai
suatu organisasi dari sikap-sikap diri. Suatu sikap mernilikl komponen-komponen
berikut, (1) keyakinan/ pengetahuan atau komponen kognitif (2) komponen afeksi
atau emosional, (3) komponen evaluasi, dan (4) kecenderungan untuk merespon
atau komponen konasi.
Komponen kognitif dari konsep diri berisi proposisi atau deskripsi mengenai
sesuatu tanpa memandang, apakah pengetahuan/keyakinan itu salah atau benar,
didasarkan atas bukti-bukti objektif maupun subjektif. Anda dapat membuat daftar mengenai siapa anda seperti yang anda
persepsikan,
misalnya, sebagai seorang
pancasilais, pemeluk agama yang taat, disiplin dalam bertindak, bertanggungjawab
dalam setiap pekerjaan. Komponen afektif atau emosional adalah berupa gejolak-gejolak hati,
misalnya, saat ini anda merasa jenuh, takut, sedih, senang,
dan seterusnya. Kata emosi berakar
dari movere yang dalam bahasa Latin
berarti menggerakkan. Dengan
demikian, komponen afeksi adalah rasa yang
menempati komponen kognitif
sehingga berpotensi untuk mendorong tindakan yang
relevan dengan
keyakinan/kognisi kita. Komponen evaluasi, kebanyakan
penulis menggunakan
istilah, perasaan harga diri, untuk ini. Sesuatu yang kita percayai (komponen kognitif) pada
prinsipnya masih bersifat isolasi dari faktor lainnya, kecuali setelah
ditempati oleh afek. Kini (saat telah ditempati afek) ia memerlukan penilaian.
Bums (1993) memberikan tiga titik acuan utama bagi penilaian. Pertama adalah citra
diri ideal (sama dcngan istilah konsepdiri ideal yang telah disinggung di
bagian depan) yaitu suatu diri yang didambakan, namun belum diuji dalam
intcraksi sosial atau apabila telah diuji, namun belum terpelihara dalam
interaksi. Kedua, adalah
internalisasi dari penilaian
masyarakat, yaitu persepsi dan keyakinan
individu bagaimana orang lain mengevaluasi dia. Ketiga, adalah pengalaman
riilnya dalam rentangan relatif sukses atau relatif
gagal dalam melakukan sesuatu yang dituntut oleh identitasnya. Di
atas dasar tiga acuan inilah sescorang melakukan penilaian diri yang
dipikirkannya dengan mana nanti ia dapat meletakkan predikat atas dirinya,
apakah ia suatu sosok yang berhasil, bisa percaya, dosen yang ideal, warga yang
peduli dst.
Berikutnya adalah
komponen konatif. Ini adalah dalam arti kecenderungan bertindak atau memberi respon.
Suatu objek sikap yang prosesnya telah melewati tiga yang telah dikemukakan
(kognisi, afeksi, evaluasi) apabila tidak ada suatu konsiren yang berarti akan
berlanjut pada terbentuknya predisposisi untuk terealisasikannya dalam
tindakan. Namun tidak seluruhnya akan bermuara demikian. Apabila
misalnya ada halangan sehingga terdapat
diskrepansi antara sikap dengan tindakan
nyata, pasti ada variabel situasional
yang mengintervensinya. Mueller
(1986) mengidentifikasi setidaknya terdapat variabel-variabel situasional
berikut: tekanan sosial, adanya opsi-opsi lain tindakan nyata, keadaan ekonomi,
efek dari nilai-nilai yang bertentangan, serta adanya sikap-sikap yang saling
berkonflik.
Apabila konsep diri dipandang sebagai (seperangkat) sikap (yaitu
sesuai dangan perspektif psikologis) itu berarti ia bermula dari kepercayaan
seseorang mengenai sesuatu, melalui proses internal seperti tempelan afeksi,
evaluasi, lalu bermuara pada seberapa jauh hal tersebut dapat terealisasi dalam
tindakan. Tindakan ini pada hakekatnya adalah
arena validasi konsep diri, seperti
telah dikemukakan saat membicarakan
pandangan interaksi simbolik. Disinilah tempatnya orang berpengalaman, apakah
menurut persepsinya orang-orang lain bisa memahami dirinya, lalu memberikan
dukungan atau tidak, Artinya, disinilah konsep dirinya itu dites, kemudian
disokong atau ditolak.
Hal berikutnya yang
dianggap penting
dalam perspektif psikolgis mengenai konsep diri, adalah sumber dari konsep
diri. Dari berbagai sumber pembentukan konsep
diri, Bums (1993) mengidentifikasi
lima sumber yang tampaknya
sangat penting, yaitu:
(1) Citra tubuh
(2)
Bahasa, yaitu
kemampuan menkonseptualisasikan diri dan orang lain,
(3)
Umpan balik
yang dipersepsikan dari
lingkungan, terutama tentang bagaimana
orang-orang yang dianggap penting memandang pribadi kita, dan bagaimana
pribadi kita tersebut dibandingkan dengan norma masyarakat,
(4)
Identifikasi
dengan stereotip peranan jenis kelamin yang sesuai,
(5)
Praktek-praktek membesarkan anak
Di sini terlihat bahwa umpan balik dari lingkungan adalah Salah
satu sumber, sementara pada perspektif interaksi simbolik seperti telah dikemukakan
di depan, umpan balik (sinonim dengan validasi konsep diri) adalah tahapan yang
selalu ada dalam mekanisme perkembangan konsep diri.
Apakah itu sebagai satu sumber dari konsep diri, ataupun satu
tahapan yang harus dilalui dalam perkembangan konsep diri, maka interaksi
sosial (khususnya komunikasi interpersonal) memiliki peran yang menentukan dalam
perkembangan konsep diri. Apabila konsep diri ini khusus dilihal dalam
kehidupan para siswa di sekolah, maka unsur-unsur lingkungan yang amat penting
dengan mana mereka umumnya berinteraksi sepanjang hari, adalah orang tua,
guru-guru dan teman sejawat. Maka validasi konsep diri mereka akan terjadi umumnya dalam
interaksi dengan ketiga
unsur ini. Dalam pada itu, dengan dilihatnya konsep diri sebagai seperangkat
sikap, maka terutama komponen-komponen afeksi dan evaluasi dari konsep diri
seseorang (untuk objek konsep diri tertentu), akan menempatkannya ke dalam
predikat evaluatif tertentu pula. Sehubungan dengan itu, Bums telah
membayangkan adanya rentangan relatif dari konsep diri, dari konsep diri
positif ke konsep diri negatif atau kalau digunakan istilah perasaan harga diri
(istilah lain untuk konsep diri) maka akan ada harga diri tinggi dan harga diri
rendah. Hal panting yang perlu mendapat perhatian adalah, pada saat melihat
konsep diri sebagai sikap, maka konsep diri, evaluasi diri, penghargaan atas
diri, perasaan harga diri, dan penerimaan diri, adalah istilah-istilah yang
sinonim, dan untuk selanjutnya akan digunakan dalam maksud demikian.
Ada sejumlah karakteristik kepribadian dari seseorang yang
mempunyai konsep diri/harga diri/penghargaan terhadap diri yang rendah, ataupun
sebaliknya yang tinggi, walau hanya bersifat kecenderungan. Pertama, adalah
untuk orang yang menderita konsep diri rendah. Mereka yang mempunyai perasaan
harga diri rendah, sepertinya sedang berada dalam situasi telah atau sedang
mengantipasi suatu bentuk penolakan; mereka lalu mencoba berusaha untuk
menghalangi penolakan tersebut dengan cara meminimalkan kontak dengan orang
lain atau malah dapat berbalik jadi menyerang orang lain; mereka peka terhadap
kritik. Pada langkah lebih lanjut, hal
ini melemahkan
motivasi mereka untuk berinteraksi dengan orang
lain, dan tidak memperlihatkan minat
untuk bersaing. Mereka cenderung untuk mengasingkan diri. Mereka yang punya
harga diri rendah ini, oleh karena yakin dengan kekurang mampuan diri, mereka
menjadi bersifat lebih tunduk pada pengaruh sosial, sehingga relatif mudah
dipengaruhi oleh komunikasi persuasiti. Dengan kata lain, mereka umumnya berfokus
eksternal. Lantas dalam rangka melihat hubungan faktor internal dengan
eksternal dari orang-orang yang punya harga diri rendah, Bums menyimpulkan dari
Fromm, bahwa, tidak menyenangi diri dan tidak menyenangi orang lain bukanlah
alternatif-alternatif Keduanya berjalan seiring, artinya sikap kurang
menyenangi orang lain akan ditemukan pada mereka yang kurang menyenangi diri.
Sebaliknya dengan orang yang mempunyai
harga diri tinggi. Mereka umumnya mempunyai rasa
mampu diri yang tinggi. Lokusnya biasanya adalah internal, yang berarti bahwa,
keberhasilan ataupun kegagalan dalam usahanya akan dipersepsinya sebagai
tersebab teritama oleh dirinya, sehingga dalam setiap situasi (berhasil atau
gagal) motivasi berusahanya tinggi. Mereka hampir tidak memperlihatkan perilaku penipuan;
mereka tidak butuh hal tersebut (menipu) oleh karena mereka merasa mampu untuk
berprestasi dengan upaya apa
adanya. Pada saat mereka menghadapi kegagalan, ada dua kemungkinan reaksi
mereka, (I) bergaya. defensif misalnya mendiskreditkan sumber kegagalan
tersebut, (2) tidak begitu terpengaruh, oleh karena kegagalan bagi mereka
bukanlah ancaman. Oleh sifat pcrcaya diri yang tinggi, mereka kurang rentan terhadap pengaruh,
terutama pengaruh antar
pribadi. Secara keseluruhan, mereka yang punya harga diri tinggi ini,
dikendalikan oleh pengharapan pengharapan dari orang Iain, namun dengan amat
mempertimbangkan motivasi, sasaran, dan kemampuan mereka sendiri, yang mereka
nilai lebih tinggi. Akhirnya, berlawanan
dengan orang yang
punya harga diri rendah,
pemilik harga diri tinggi ini bersifat mengasihi orang lain oleh karena mereka memang mengasihi
diri mereka sendiri. Para ahli telah membuktikan bahwa faktor
kepribadian mempunyai kontribusi cukup besar terhadap prestasi akademis siswa di sekolah. Konsep
diri adalah satu yang
utama dari faktor kepribadian itu.
Sebagai terkategori kepada sikap, pengaruh konsep diri pada prestasi
akademik adalah bersifat
memotivasi semangat kerja. Oleh karena mempunyai kontribusi tersebut, maka konsep diri dapat dijadikan
barometer bagi prestasi
akademik.
Pertama-tama, orang tua sadar ataupun tidak, memberi tekanan pada
anak- anak untuk
memih keberhasilan di sekolah. Di sekolah anak
menggunakan pencapaian akademis sebagai indikator
keberhasilan tersebut.
Evaluasi dari orang lain (terutama orang-orang yang sangat berarti dalam
kehidupan anak) dalam hal ini orang tua, menjadi evaluasi diri, sehingga
seorang anak yang berhasil akan merasa kompeten dan tinggi rasa harga dirinya
dan sebaliknya yang tidak berhasil akan merasa tidak kompeten dan inferior (rasa harga diri rendah). Di sekolah di mana
siswa menghabiskan
waktu semakin banyak bersama- sama sejawat
dan guru, maka guru dan sejawat berangsur-angsur menjadi sumber penguatan, baik
positif (untuk prestasi akademis yang tinggi) dan negatif (untuk yang prestasi
akademis rendah). Evaluasi yang diberikan guru dan sejawat di sekolah biasanya
Iebih banyak bidangnya dari yang diberikan orang tua. Di samping pencapaian
akademis, bidang olah raga dalam berbagai jenis, kesenian berbagai jenis, layanan sosial,
pramuka dan Iainnya
menjadi bidang sasaran evaluasi. Siswa jadinya dalam mengisi hari-hari mereka di sekolah
menghadapi orang-orang yang mengingatkan mereka mengenai potensi dan
keterbatasan mereka, penghargaan-penghargaan dan hukuman-hukuman, serta
keberhasilan dan kegagalan mereka. Banyaknya hal yang menjadi objek evaluasi di
sekolah, di satu segi memang memberatkan sebagian siswa, di segi Iain
memungkinkan semakin banyak yang berksempatan untuk berprestasi, bila prestasi
tersebut dapat menyebar.
Anak-anak yang tidak berhasil mencapai prestasi yang memadai dapat
mengalami perkembangan yang merusak. Bums menekankan adanya
tiga karakteristik
umumnya anak-anak
yang berprestasi
rendah dibandingkan dengan yang
berprestasi tinggi:
(1)
Mereka hampir selalu berada
dalam perasaan-perasaan yang
sedang dikritik,
ditolak, ataupun diasingkan
(2)
Bertindak
defensif melalui tindakan
mengalah, menghindari / isolasi atau malah
tindakan-tindakan yang negatif
(3)
Tidak mampu mengekspressikan
diri yang sesuai, di dalam berbagai tindakan maupun perasaan.
Bagaimana mekanisme perkembangan konsep diri anak di sekolah, Bums memberikan skema
berikut ini.
Figura 5. : Skema Lingkaran Bums
Di sini dibayangkan hubungan terus menerus antara
konsep diri siswa, tingkahlaku mereka, harapan dan umpan balik guru dan orang tua dalam
bentuk spiral
(berputar/melingkar dan
meningkat). Apabila perkembangan berbentuk spiral tersebut untuk keberhasilan, tentu saja adalah
sesuatu yang
seharusnya. Tetapi bila untuk
sebuah kegagalan, ia akan bermuara pada keadaan yang memprihatinkan.
Orang tua dan terutama guru harus mampu memutuskan spiral ini. Disinilah sesungguhnya profesionalisme guru
untuk dipertaruhkan. Hal ini akan menjadi pembahasan khusus pada bagian-bagian
akhir naskah ini.
No comments:
Post a Comment