BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah.
Suatu paradigma yang menampung proses komunikasi ini, yang tertua
adalah paradigma. S – R (stimulus-response).
Oleh karena paradigma pikiran manusia berkembang terus maka paradigma ini
kemudian disempurnakan menjadi S-O-R. Dalam hal ini, O menyatakan suatu proses
mediasi, berupa
aktivitas kognitif pada setiap individu, ataupun aktivitas sosial dalam kelompok atau organisasi. Aktifitas kognitif tersebut, di antaranya adalah persepsi, memproses informasi, menyimpannya, (berlatih) mengulang-ulang, mengeluarkan-nya (mengingat), dst. Hal ini digambarkan dalam Pigura 6 (Salomon, 1981).
aktivitas kognitif pada setiap individu, ataupun aktivitas sosial dalam kelompok atau organisasi. Aktifitas kognitif tersebut, di antaranya adalah persepsi, memproses informasi, menyimpannya, (berlatih) mengulang-ulang, mengeluarkan-nya (mengingat), dst. Hal ini digambarkan dalam Pigura 6 (Salomon, 1981).
Figura 6 : Model
Komunikasi Menurut Paradigma SOR
S
|
O
|
R
|
Stimulus, pesan atau
seting dengan muatan tertentu
|
Persepsi, memproses, menyimpan,
rehearsal
|
Respon
yang bersifat tertutup atau terbuka
|
Paradigma ini, baik untuk keperluan penelitian maupun argumentasi, pada
dasarnya memfokuskan pada kesesuaian muatan dari stimulus dengan muatan dari O,
serta muatan O dengan muatan R. Sebagai contoh, Brophy (dalam Salomon, 1981)
telah coba mengkaji proses belajar mengajar yang memediai antara pembelajaran
dan belajar. Ia memperlihatkan bahwa penghargaan dari guru terhadap murid
berkorelasi secara positif dengan prestasi belajar mengajar yang inisiasinya
adalah oleh guru; bila inisiasi interaksi belajar mengajar itu adalah oleh
siswa, maka korelasinya negatif.
Salomon menegaskan bahwa ada dua asumsi yang mendasari paradigma ini.
Pertama, hasil atau R hampir tidak pernah dianggap mempengaruhi mediatornya
yaitu O walaupun cukup nyata misalnya, ketiga hal tersebut, yaitu interaksi
yang diinisiasi siswa, penghargaan guru, dan prestasi belajar, saling
berpengaruh satu sama lain secara timbal balik. Kedua, paradigma S-O-R
memberikan posisi utama pada S, sementara O hanya dianggap sebagai respon
belaka. Istilah mediator disini kira-kira tidak dianggap sebagai respon mencari
stimuli, menstrukturnya, ataupun memberinya makna yang bersifat a priori.
Sementara sesungguhnya kognisi tidaklah hanya merespon pada pesan; kognisi juga
mempengaruhi sifat dari pesan seperti yang dipersepsi orang sejak dari mulanya.
Kedua asumsi dari model S-O-R ini sangat mengganggu: pertama, secara
filosofisnya, asumsi tersebut memberikan hanya peran yang bersifat reaktif pada
orang: kedua, paradigma yang didasarkan atas asumsi-asumsi tersebut, gagal
memperhitungkan kenyataan yang
terobservasi sehari-hari serta temuan-temuan penelitian. Masalahnya adalah,
bagaimanakah paradigma tersebut melihat kenyataan bahwa di dalam konteks tertentu,
orang-orang berbeda mengantisipasi dan mengobservasi kejadian-kejadian berbeda.
Berbeda dalam hal yang dianggap mereka sebagai komunikasi, memberikan makna
berbeda pada kejadian yang sama, dan mendistorsi informasi yang tersedia, serta
mengasimilasinya ke dalam khasanah pengetahuan yang telah ada. Gombrich (dalam
Salomon, 1981) menemukan sejumlah contoh dari bagaimana pengetahuan yang telah
dimiliki yang disebut skemata mempengaruhi bagaimana sesuatu itu dipersepsikan
serta bagaimana hal itu dimaknai dan ditafsirkan.
Bagaimanapun, tidaklah semua proses komunikasi berjalan seperti yang
dikemukakan diatas. Di samping itu, orang-orang juga dipengaruhi oleh muatan
stimuli yang mereka tidak siap sejak semula untuk itu. Mereka juga sering
merespons pesan-pesan dengan cara yang relatif sama yang secara mudah diarahkan
oleh muatan stimuli, daripada oleh antisipasi mental. Selanjutnya, orang
mendapatkan pengetahuan baru, mengubah opini mereka, dan umumnya
mempertimbangkan kejadian-kejadian yag tersaji secara eksternal.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian di atas,terdapat hal menarik yang perlu kita kaji lebih mendalam,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Skemata dan Perannya dalam Komunikasi.
2. Skemata & Pendidikan Hubungannya dalam Konteks Komunikasi Bermedia dan
Interpersonal.
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dengan jelas Skemata dan Perannya dalam
Komunikasi.
2. Mengetahui Skemata &
Pendidikan Hubungannya dalam Konteks Komunikasi Bermedia dan Interpersonal.
3. Memenuhi tugas yang di berikan oleh dosen mata kuliah Sistem Komunikasi dalam Pembelajaran.
D.
Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan, yang terdiri dari latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan,
dan sistematika penulisan.
BAB II: Pembahasan, yang terdiri dari Skemata dan Perannya dalam Komunikasi
serta Skemata & Pendidikan Hubungannya dalam Konteks Komunikasi Bermedia
dan Interpersonal.
BAB III : Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan
saran.
Daftar Pustaka
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Skemata
dan Perannya dalam Komunikasi
1.
Model
Skemata dan dilemanya
Neisser (1976)
mencoba memecahkan dilema yang dikemukakan di atas di dalam konteks persepsi
manusia. Ia mengusulkan suatu teori yang didasarkan atas premis bahwa
skema-antisipasi mental berperan sebagai medium melalui mana informasi yang
telah ada (diperoleh), menentukan apa yang akan diambil berikutnya, dan
informasi ini sebaiknya mengubah skemata semula.
Suatu skema
mental secara lebih spesifik, lebih kurang adalah seperangkat pengetahuan yang
telah diperoleh sebelumnya plus operasinya yang memerlukan kecakapan tertentu
untuk memrosesnya. Suatu skema adalah laksana gudang simpanan dari suatu
kategori pengetahuan, dan juga laksana satu koleksi prosedur komputer. Skemata
dapat lebih spesifik (misalnya, coba pikirkan apa-apa saja yang anda ketahui tentang
dan yang berhubungan dengan “uap”), atau lebih umum (misalnya, coba anda
pikirkan seluruh rencana dan pengetahuan anda mengenai cara mencapai
tujuan-tujuan dalam hidup) Skemata lebih luas dan lebih umum memuat didalamnya
skemata-skemata yang lebih kecil dan dangkal, di dalam suatu struktur yang
bersifat hierarkis. Tambahan lagi skemata terhubung dengan skemata-skemata
lainnya dengan cara yang rumit. Misalnya, kita dapat menghubungkan pikiran
berbeda dengan konsep uap, dan hal tersebut dapat membawa kita mengasosiasikan kedua skemata
(yaitu suatu pikiran/ konsep lain dengan uap) atau mengkombinasikannya secara
langsung, atau dapat melalui semacam skemata super ordinat lain.
Ide tentang
kelengkapan mental seperti dikemukakan di atas, terutama dalam peristilahan,
ternyata dempet (overlap) dengan
peristilahan lain yang dikemukakan ahli-ahli sebelumnya seperti metakognitif
(oleh Downs A Stea, 1973), rencana mental (Miller Sos, 1960), dan setting
terorganisasi (Bartlett, 1932), ataupun skema (oleh Sottand Cannon, 1972). Canon mengemukakan bahwa orang-orang
m menemukan aturan-aturan yang relatif abstrak dan digeneralisasikan mengenai
adanya keteraturan-keteraturan tertentu dalam hubungan antar kejadian-kejadian
yang disebut skema.Sekali ia telah
terujud, iapun berfungsi suatu kerangka
kerja yang mempengaruhi cara dalam mana informasi baru yang relevan akan
diasimilasikan. Pada prinsipnya, skemata mental seseorang beroperasi dalam
suatu kapasitas memandu atau mengantisipasi. Ia mengarahkan pengeksplorasian dan
pengambilan informasi; maksudnya, skemata mempersiapkan orang (yaitu si perceiver) untuk menerima jenis tertentu dari informasi dan tidak informasi lainnya
(Neisser, 1976). Skemata juga mempengaruhi bagaimana informasi itu disampel,
distruktur, serta ditafsirkan secara bermakna. Ringkasnya, dengan diarahkan
oleh skemata, orang menjadi sensitif terhadap suatu kejadian tertentu, dan
menyampelnya, menstrukturnya dan memberinya makna di dalam (sesuai) garis
antisipasinya.
Andaikata proses
persepsi tersebut seluruhnya demikian, yaitu skemata memandu apa saja yang akan
mendapatkan perhatian, menyampelnya menstrukturnya, lalu memaknainya sesuai
arah antisipasinya, akan dihadapi suatu paradoks yang dinyatakan oleh ungkapan:
“ Saya melihat sesuatu jika saya mempercayainya”. Atau seperti yang dikemukakan
Neisser yang dikutip langsung oleh Salomon:
Persepsi tidak hanya
bekerja membenarkan asumsi sebelumnya,
tapi memberi organisme dengan informasi baru. Meskipun ini benar, juga benar
bahwa tanpa adanya struktur sebelumnya tidak satu informasipun dapat diperoleh.
Terdapat kontradiksi dialektis antara kedua syarat ini: kita tidak akan
mempersepsi sesuatu tanpa kita mengantisipasinya, tetapi kita harus tidak hanya
melihat apa yang kita antisipasi.
Dengan kata lain hasil dari eksplorasi
yang diarahkan oleh skema, yaitu informasi yang diserap (diperoleh), akan
mengubah skema semula. Setelah perubahan, skema tersebut mengarahkan eksplorasi
selanjutnya, dan menjadi siap untuk lebih banyak informasi. Di dalam istilah
Piagaet, skemata mengasimilasi informasi seperti yang diantisipasi oleh skemata
tersebut, tapi sementara berproses demikian, skemata juga berakomodasi terhadap informasi yang dijumpai
(didapat)nya. Dengan demikian, persepsi atau komunikasi umumnya seperti yang
dikemukakan Neisser, adalah suatu proses yang bersifat siklus. Salomon dengan
mengadopsinya dari Neisser, melakukan sedikit modifikasi, menggambarkan siklus
komunikasi sebagai berikut (lihat figura).
Adakalanya dilema seperti dikemukakan
sebelumnya, kelihatannya akan lenyap dengan model ini. Disini orang secara
terseleksi memperhatikan berbagai kejadian, menyimpulkan adanya maksud
didalamnya (attribute intentions),
lalu menafsirkan makna di dalamnya sesuai dengan skemata antisipatorinya.
Tetapi skemata ini juga berakomodasi terhadap kejadian beserta apa-apa yang
dibawa (muatan)nya. Ringkasnya, kedua proses tersebut terjadi secara siklus.
Tetapi model ini malah melahirkan dilema
baru yang tidak mungkin dijawab dengan jawaban sederhana dan tunggal.
Pertanyaannya adalah, manakah di antara kedua determinan dari proses tersebut
yang memainkan peran lebih besar; skemata antisipatori atau peristiwa-peristiwa
eksternal? Artinya, dalam kondisi apakah skema seseorang lebih berpengaruh
dalam menentukan pemilihan kejadian-kejadian serta memberikan/menyimpulkan
makna daripadanya, dan kapankah kejadian-kejadian lebih unggul? Kapankah orang
mempersepsikan kejadian sebagaimana orang tersebut berkeinginan untuk melihatnya,
mendistorsikan pesan-pesan, memproyeksikan perasaannya pada orang lain dan
seterusnya, dan kapan ia menerima apa-apa yang benar-benar disampaikan oleh
pesan? Pertanyaan-pertanyaan ini sesungguhnya berkenaan dengan keseimbangan
antara asimilasi dan akomodasi atau antara siklus yang bersifat sirkuit
tertutup dengan siklus yang bersifat spiral terbuka.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut akan dimulai dengan suatu asumsi, bahwa apapun yang kita persepsikan,
kita pilih dan dimaknai, dan yang kemudian kita dipengaruhinya, dilakukan oleh
ataupun diambil oleh skemata. Efek dari stimuli terjadi sesudah pengaruh
skemata. Pengetahuan yang telah ada, kepercayaan-kepercayaan dan
harapan-harapan, menentukan apakah kita menginterpretasikan suatu kejadian
tersebut adalah sebagai pesan, dan apakah kita melihatnya sebagai sesuatu yang
jelas, rancu, paradoks, suatu perintah, suatu ekspresi perasaan, suatu ancaman,
ataupun sesuatu yang berbeda dengan semuanya itu. Akomodasi skemata terhadap
kejadian-kejadian tersebut terjadi sesudah itu.
Pada umumnya orang akan menghindar, mengubah
atau mengabaikan informasi yang sangat berbeda, mendeskreditkan sumber ataupun
membentuk skema tersendiri (baru) untuk itu. Sejumlah penelitian menemukan,
pada saat orang merasa perbedaan antara pesan dengan skemata meningkat, skemata
mengakomodasikannya sampai pada titik tertentu. Apabila perbedaan itu melampaui
titik tersebut, akomodasi berhenti, dan terjadilah penolakan, penghindaran, dan
sebagainya. Dalam situasi ini, asimilasi mengambil alih situasi. Pada
prinsipnya, pada saat stimuli terlalu asing, rancu, membingungkan, atau tidak
jelas dari segi skemata seseorang, maka makna diberikan oleh skemata dengan
hanya sedikit pengaruh oleh stimuli; dalam hal ini asimilasi mendominasi
situasi. Anderson dkk (dalam Salomon) menyimpulkan dari sejumlah kajian bahwa
dari perspektif teori skema, penentu utama dari pengetahuan yang dapat
diperoleh seseorang, adalah justru pengetahuan yang telah dimilikinya.
Sekarang menjadi lebih jelas bahwa,
suatu kondisi penting untuk besar kecilnya terjadinya asimilasi adalah besarnya
ketidaksamaan, ketidakcocokan, atau konflik, seperti yang dipersepsikan
seseorang antara skemata, dan stimuli. Bila ketidaksamaan yang dipersepsikan
tersebut besar, hal itu tidak memungkinkan bahwa stimulus akan mengubah
skemata. Dalam hal ini, orang berkemungkinan besar untuk menyukai ide semula.
Ini berkemungkinan besar adalah untuk meningkatkan sikap negatifnya terhadap
hal tersebut jika ia telah sejak semula menantangnya; atau berkemungkinan besar
menghindarinya sama sekali.
Variabel berikutnya yang mempengaruhi
keseimbangan antara asimilasi, dan akomodasi adalah tingkat penting atau
esensinya skemata bersangkutan. Besarnya ketidakpastian untuk membeli baju kaos
atau kemeja akan sama kalau tingkat pentingnya untuk keperluannya tidak
dipertimbangkan. Petty, dan Casoppo (dalam Salomon) mengemukakan bahwa tolakan
terhadap usaha persuasi akan lebih besar jika orang-orang tersebut terlibat
besar dalam isu tersebut, dan tolakan akan lebih kecil jika mereka hanya
terlibat sedikit. Dalam kondisi terlibat besar (penuh) orang menjadi menyukai
isu jika dipresentasikan dengan pesan-pesan yang mendukung hal (isu) tersebut.
Jika skemata adalah penting/ esensi bagi seseorang, harga kognitif dibiarkan
untuk diubah oleh pesan-pesan berbeda (tidak cocok) menjadi terlalu besar. Dengan demikian kombinasi
ketidakcocokan dengan keesensian dari skemata bersangkutan akan mengurangi
kemungkinan/ kesempatan untuk akomodasi.
Faktor ketiga yang menentukan
keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi adalah kekuatan kekuatan relatif
dari skema. Suatu skema yang kuat akan lebih menonjol, sehingga mudah terpakai
pada stimuli, berada lebih dekat pada bagian depan tempat tersimpan
(berada)-nya skemata terpakai dan akan lebih siap sedia bereaksi. Faktor
keempat yang dapat mempengaruhi keseimbangan antara asimilasi, dan akomodasi
adalah melihat adanya indikasi maksud mengkomunikasikan suatu pesan, untuk
hiburan, atau untuk menyampaikan informasi yang netral. Telah dikemukakan bahwa
jika seseorang melihat suatu kejadian sebagai suatu pesan yang dimaksudkan
untuk mengubah perilaku, orang cenderung untuk menolaknya. Akhirnya orang
berkemungkinan akan mengasimilasi pesan ke dalam skemata mental yang telah ada,
daripada mengakomodasi sesuatu terhadap informasi baru yang ada dalam pesan.
Tolakan berkemungkinan akan kurang kuat bila orang mempersepsikan suatu
kejadian yang dimaksudkan hanya untuk menyampaikan informasi atau untuk
hiburan. Dengan demikian, diharapkan skemata berakomodasi lebih besar terhadap
informasi bila informasi tersebut dilihat sebagai direncanakan, bias, atau
adanya maksud untuk mempersuasi. Yang terakhir (untuk mempersuasi)
berkemungkinan untuk lebih tidak dipercayai, dihindari, ataupun diubah agar
sesuai dengan pengetahuan, dan keyakinan yang tnelah ada.
Keempat faktor yang dikemukakan
diatas (perbedaan yang dipersepsikan,
keesensian relatif dari skemata, kekuatan skemata, dan terlihatnya ada maksud),
yang mendasarinya adalah prinsip konsisten-kognitif (dimana ketidakcocokan
adalah salah satu daripadanya). Terjadinya akomodasi yang besar dari skemata
yang penting, dan menonjol, dapat mengganggu/mengacaukan struktur kognitif
seseorang. Bagaimanapun, memiliki skemata yang terhubung dengan baik, yang
tersusun secara hierarki, dan konsisten, adalah merupakan struktur kognitif
yang penting, dan malah mutlak. Tanpa itu semua, kita akan susah mengelola
urusan kita dengan dunia ini. Mengacaukan struktur dapat menyebabkan pusing
luar biasa.
Lalu kapankah akomodasi skemata terhadap
stimuli terjadi? Jawabannya adalah, ketika penyesuaian yang diperlukan dari
skemata terhadap stimuli yang sama sekali baru, adalah relatif kecil, bila hal
itu berkenaan dengan skema yang tidak begitu esensi, jika suatu skema dalam
keadaan lemah, dan jika kejadian dipersepsikan sebagai informasi yang netral,
(bukan untuk melakukan perubahan), maka dalam keadaan demikian, perubahan lebih
besar dari skema akan terjadi.
Kini, dua batasan perlu diperkenalkan
agar seseorang tidak mendapatkan kesan bahwa perubahan skemata lebih sulit
terjadi daripada biasanya. Pertama, sebagaimana dikemukakan Ros (dalam
Salomon), bukti-bukti baru yang sangat kuat, dan secara konsisten berlawanan
dengan kesan seseorang atau dengan teori, dapat, dan sering menghasilkan
perubahan walau dalam gerak yang lebih lambat, dibanding dengan sebagai akibat
dari bukti-bukti yang tidak bias, dan tidak memihak. Dengan kata lain, skemata
yang penting, dan menonjol sekalipun dapat berubah dalam berhadapan dengan
informasi yang tidak cocok, jika informasi yang tidak cocok ini dipresentasikan
cukup sering dengan cara yang mengizinkan terjadinya asimilasi secara
berangsur-angsur/ gradual. Istilah gradual berimplikasi perjumpaan skemata
dengan informasi, dimana skemata ini telah mengalami sedikit perubahan oleh
perjumpaan sebelumnya dengan informasi relevan. Bila dalam hal ini dituntut
perubahan yang bersifat segera (dari skema esensi, dan penting tersebut) maka,
usaha tersebut akan gagal.
Kedua, dan yang amat menarik perhatian
adalah perubahan yang dramatis, dan hampir menyeluruh yang terjadi ketika orang
mengalami konversi/ perubahan agama atau ideologi. Disini ditekankan Salomon
dari pernyataan Ross bahwa, konversi seperti ini bukanlah hasil dari data baru
ataupun serangan terhadap kepercayaan lama, lebih dari itu adalah, serangan
terhadap sistem kepercayaan secara keseluruhan. Ini adalah perubahan tingkat
tinggi, yang bukan mengenai satu skema ataupun isi beberapa skemata; ini
menyinggung seluruh bagian dari sistem kognitif, dengan mana informasi
berhadapan. Dalam hal ini serangan ditingkatkan ke level tertinggi dari
hierarki skemata, dan si subjek diberi jalan/ cara untuk meninjau keseluruhan
bagian dari sistem kepercayaannya dalam hubungan dengan pengalamannya ini dari
luar, yaitu dari tingkat-meta. Disini informasi berbeda (tidak cocok) tersebut
tidak diberikan didalam sistem yang sama, yang diistilahkan Watzlawick sebagai
percobaan tingkat pertama; tetapi dikemukakan istilah yang seluruhnya berbeda
untuk memahami pengalaman, dan memberikan kesempatan kepada si subjek untuk
melangkah keluar batas-batas yang diset oleh skemata semula, dan
merekonsiliasikan masalah yang dirahasiakan, diantara skemata, dan bukti-bukti
empirik (hasil pengalaman), yaitu suatu perubahan yang bersifat tingkat dua (second order). Ini sangat banyak
kesamaannya dengan perbedaan antara usaha untuk mempersuasi orang bahwa mereka
itu adalah salah, di satu pihak, dengan jalan memberikan tekanan yang makin
kuat mengenai bagaimana benarnya kita, dan di pihak lain, dengan
mengkerangkakan kembali ketidak sefahaman di dalam peristilahan yang baru sama
sekali, yang memperlihatkan bagaimana seluruh pihak menjadi terlindungi (tidak
bersinggungan).
Salomon memberikan satu ilustrasi
berikut. Banyak peneliti yang telah menemukan bahwa mengajar dengan mempergunakan
TV rata-rata lebih unggul dibandingkan dengan pengajaran tatap muka. Sementara
itu lebih banyak lagi temuan bahwa TV samasekali tidak memberikan perbedaan
yang berarti dari hasil belajar, namun belum juga lagi mengubah keyakinan orang
bahwa TV mestilah lebih unggul. Informasi yang berbeda/ menyimpang dalam sistem
yang sama, ditolak; serta perbaikan dari metodologi penelitian maupun kenyataan
pencapaian hasil belajar yang lebih baik (perubahan tingkat pertama) tidaklah
mampu mengubah kepercayaan orang. Ternyata yang mengubahnya kemudian adalah ide
interaksi antara pelakuan, dan kecerdasan (aptitude-treatment
interaction = ATI); ini mengkerangkai kembali pertanyaan semula yaitu “apa
yang secara rata-rata lebih unggul dari apa”, menjadi “siapa yang memperoleh
lebih besar/ banyak manfaat”. Ini adalah perubahan skemata yang bersifat
“second order”/ tingkat kedua, dimana tidak menyerang kepercayaan semula dengan
jalan memberikan lebih banyak bukti namun tetap jenis yang sama (first order), tapi memperkenalkan suatu
skema superordinat baru (yaitu interaksi perlakuan dengan kemampuan/kecerdasan).
Skema baru ini membuat keyakinan akan keunggulan TV secara mutlak serta
(dengan) ketidak-konsisten bukti-bukti empirik, berekonsiliasi secara sempurna
pada saat semuanya dilihat dari perspektif yang baru, yaitu perspektif “meta”
(lebih tinggi), yaitu ATI tersebut. Kesimpulannya adalah, terdapat kemungkinan
bahwa perubahan berskala besar dari skemata tidak mungkin terjadi bila skemata
spesifik diserang secara langsung dengan informasi baru yang berbeda (tidak
cocok) yang sifatnya mengancam, dalam rangka memperkenalkan ketidakcocokan
antara skema-skema spesifik tersebut dengan skema lainnya. Perubahan berskala
besar dapat terjadi, jika hubungan antar skema-skema didefenisikan kembali, dan
dikerangkakan kembali dengan menggunakan skema super ordinat.
2.
Skemata,
dan Komunikasi
Semula, model skemata yang dikemukakan
di atas adalah dikembangkan untuk menerangkan proses persepsi, tetapi ternyata
dapat menerangkan perjumpaan manusia dengan berbagai objek, kejadian, dan
perilaku. Persoalnnya, apakah ia membawa arti yang spesifik, dan unik untuk
komunikasi?
Di depan telah diterangkan Salomon,
bahwa komunikasi terjadi ketika kejadian diberi makna simbolik, dan ketika
maksud berkomunikasi dari si sumber, terlihat indikasinya. Ini berimplikasi
bahwa komunikasi dari si sumber, terlihat indikasinya. Ini berimplikasi bahwa
komunikasi tidak akan terjadi bila skemata seseorang tidak memberikan/
membangun kedua atribusi (terlihat indikasi) diatas. Kita mungkin bertanya,
kenapa orang sangat terbiasa untuk melihat adanya maksud berkomunikasi, dan
adanya makna dalam pembicaraan lisan, serta tayangan TV, namun tidak demikian
pada bersin, tersedak, dan lainnya.
Dalam batas-batas tertentu, keputusan
kita mengenai kapan menyimpulkan adanya maksud-maksud berkomunikasi, didasarkan
pada adanya persamaan atribusi yang melekat dalam skemata kita. Namun, kesamaan
konsepsi tidaklah mempreskripsikan semua makna simbolik, dan kesamaan semua
makna ini juga tidak mempreskripsikan semua kemungkinan untuk pengatribusian
maksud berkomunikasi. Apakah jenis pena yang saya miliki dipersepsikan
mempunyai pesan yang punya maksud tertentu, apakah gaya bicara seseorang
merendahkan orang lain, atau apakah tindakan politik tertentu dipersepsikan
sebagai pengkomunikasian semangat pemerintahan yang baru, semuanya konsepsi yang dimiliki bersama secara
kultural. Ternyata dalam suatu konsisten kebudayaan tertentu, kita harus
mengambil keputusan atas sesuatu isu dengan cara sendiri melalui proses
epistemik. Yaitu, kita mencari informasi tentang diri sendiri, dan tentang
lingkungan kita sehingga kita dapat memilih di antara proposisi-proposisi yang
tidak saling berhubungan, pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, makna-makna, dan
kepercayaan-kepercayaan. Jadi pendidikan sebelumya belum lagi melengkapi kita
dengan antisipasi, atribusi, dan makna yang jelas, kita harus mengumpulkan
informasi baru untuk dapat melakukan pemilihan di antara alternatif-alternatif.
Sebagai sontoh, misalkan kita ingin memastikan apakah seseorang berada dalam
suasana bersahabat sehingga kita dapat mendekatinya dengan suatu isu yang
sensitif. Pada saat berada dalam situasi dimana aturan-aturan bertindak terlalu
sedikit yang dipreskripsikan secara kultural, kita harus melakukan proses
epistemik untuk memutuskan apakah orang mengkomunikasikan sesuatu, dan jika
demikian halnya, makna apa yang seharusnya terbaca di dalamnya.
Setiap berhadapan dengan dunia sekitar,
kita akan melibatkan kadar tertentu dari perilaku epistemik, namun mengumpulkan
informasi tidak haruslah berimplikasi bahwa pilihan-pilihan yang diambil akan
bersifat tidak bias. Akibatnya, pada saat informasi merupakan bagian dari yang
disebut realita sosial, tidak dapat dielakkan bahwa ia akan bias. Diistilahkan
pengetahuan inferensial, bila ia didasarkan pada seperangkat bukti-bukti yang
tidak lengkap, tanpa adanya basis objektif untuk merasaka kebenaran dari suatu
proposisi, demikian Kruglanski & Jaffe (dalam Salomon). Dengan demikian
misalnya, tidaklah ada kepastian objektif bahwa gambar seekor kucing di atas
sehelai tikar sesungguhnya adalah gambar seekor kucing, dan bukan seekor
mamalia, atau suatu lambang dari relaksasi atau gambar diri saya sebagai kucing
dalam suasana hati yang direfleksikan olehnya. Selanjutnya, pilihan yang
dilakukan adalah berupa suatu preferensi yang berbasis subjektif. Disini
pilihan tertentu akan dijatuhkan di antara berbagai kesimpulan aternatif yang
ada; dan ini tentu saja terjadi pada saat sejumlah bukti yang ada, cocok dengan
berbagai interpretasi, ataupun adanya konklusi alternatif yang tidak terbatas
jumlahnya.
Skemata antisipatori yang sebagian
didasarkan atas realita sosial, ia bersifat bias sejak awal proses epistemik,
demikian juga dalam pilihan-pilihan yang dilakukan. Skemata bias dalam
melakukan pilihan-pilihan terhadap berbagai alternatif. Ide-ide yang tersedia
dalam kepala dengan mudah, dan lebih siap hadirnya dalam fikiran, yang
diperoleh melalui pengalaman, pengajaran ataupun motivasi, sejak dari awalnya
telah bias alternatif-alternatif yang pertimbangkan untuk dipilih. Skemata juga
bias terhadap bobot, keterpercayaan, dan keterandalan dari informasi yang
dikumpulkan (dalam proses epistemik). Skematapun membawa, misalnya, pada
kekeliruan dalam melakukan/ proses atribusi yang cukup mendasar sifatnya, yang
memberikan bobot yang lebih besar pada bukti-bukti yang membantu menerangkan
perilaku lebih dari segi disposisi (karakteristik kepribadian), daripada dari
segi situasi. Suatu skemata superordinat berperan didalamnya, agar
konsistensi-kognitif terpertahankan.
Salomon
mengemukakan temuan Snyder mengenai bias dalam isu komunikasi, bahwa
orang cenderung menformulasi berbagai hipotesis mengenai sifat orang-orang
lain, dan sesudah itu men-tesnya dengan cara-cara yang bias. Secara lebih
spesifik, orang cenderung untuk mengumpulkan bukti-bukti yang membenarkan,
daripada mencari bukti-bukti yang menyangkal. Sebagai ilustrasi, apabila
dikatakan bahwa si A misalnya bersifat introvert,
maka orang-orangpun memformulasikan hipotesis, lalu menurunkan sejumlah
pertanyaan yang akan membenarkan hipotesis mereka. Mereka tidak menformulasikan
atau mencari bukti-bukti yang tidak membenarkan hipotesis tersebut.
Sesungguhnya, introvert, dan ekstovert adalah kategori-kategori yang
amat longgar, seperti halnya istilah-istilah normal, malas, mampu,dst.
Bagaimanapun longgarnya, tidak akan mengherankan jika orang dengan mudah untuk
berhasil mendapatkan bukti-bukti yang membenarkan hipotesis di atas bahwa si A
adalah introvert. Orang-orang melakukan hal seperti itu,
mengabaikan kredibilitas sumber, ataupun kemungkinan lain yang berbeda;
orang-orang malah tetap melakukan seperti itu walaupun diberi ciri lain yang
menyimpang dari hipotesis mereka. Ringkasnya, sepanjang mempunyai hipotesis
untuk diuji, orang-orang mengujinya dengan cara-cara yang bias.
Temuan Snyder yang amat penting dalam
hal ini adalah, sementara mencari bukti-bukti yang membenarkan, orang-orang
yang sedang menguji hipotesis membentuk perilaku orang lain demikian rupa
sehingga respon orang lain tersebut memperlihatkan perilaku nyata yang
membenarkan hipotesis yang sedang diuji. Dengan demikian, si penguji hipotesis
tidak hanya lebih suka (cenderung) mendapatkan dari orang-orang yang menjadi
sasaran hipotesisnya bukti-bukti yang membenarkan hipotesisnya, juga membentuk
perilaku orang-orang sasaran tersebut, demikian rupa sehingga si penilai yang
naif-pun akan dapat menghasilkan kesimpulan yang sama.
Disini terletak tempat utama, dan yang unik
dari perilaku yang dipandu oleh skemata dalam komunikasi. Seluruh perilaku
epistemik kita (yaitu yang dipandu oleh skemata bersama, baik itu perilaku yang
individual sifatnya maupun kelompok atau kultural) akan bersifat bias, tetapi
bias ini tidak perlu pula mempengaruhi dunia objek; yang pasti bias tersebut
mempengaruhi manusia dalam interaksi sosial. Ditegaskan lagi oleh Salomon
pernyataan Snyder bahwa, segala objek berikut nilai-nilai kebenaran dari
proposisi-proposisi mengenainya, hadir terbebas dari transaksi kita dengannya; sedangkan perilaku
dari orang-orang lain, amat banyak sebagai produk dari tindakan kita terhadap
mereka. Dengan kata lain, dipandu oleh skemata antisipatori kita dalam
bertransaksi dengan dunia luar, kita cenderung bias mengenai apa yang kita
cari, dan bagaimana kita menginterpretasikannya. Tetapi bias-bias ini juga
membentuk, dan mengubah dunia sekita kita, bila transaksi melibatkan komunikasi
sesama manusia. Inilah yang ditekankan Snyder yaitu sesuatu yang merupakan
sifat sosial dari realita sosial. Bias saya yang dipandu oleh skemata, dapat
membawa saya untuk menginterpretasikan suatu objek sebagai menyenangkan,
mengganggu, atau mudah pecah, dst. Tetapi dengan menginterpretasikan demikian,
saya tidak harus pula menjadikan objek tersebut benar-benar mempunyai sifat
demikian. Namun, disisi lain, bila saya menginterpretasikan perilaku seseorang
sebagai membawa pesan persahabatan, ini akan mengarahkan saya untuk berprilaku
demikian, dan ini akan memberi peluang untuk membentuk perilaku orang tersebut
menjadi lebih bersahabat terhadap saya.
Contoh lain dalam interaksi yang lebih
kompleks. Seorang guru mempunyai hipotesis tertentu mengenai siswa-siswanya.
Hipotesis ini sebagian dimiliki bersama (yaitu secara institusional, misalnya,
anak-anak pasir (istilah untuk penduduk asli yang tinggal di pantai dengan
pekerjaan nelayan, dan umumnya ber ekonomi lemah) kurang terurus sekolah mereka
oleh orang tua, relatif nakal, dan sering menimbulkan masalah, dan prestasi
belajar aktif rendah,dst. Kini guru berada dalam proses epistemik, tapi berlawanan
dengan persepsi umum (konsensual) ini, dijumpai seorang anak pasir yang
prestasi akademik nya amat baik, dan perilakunya sopan;, dan si guru
benar-benar tidak bisa mengabaikan ini. Akibatnya, epistemik si guru tadi jadi
berubah untuk mengakomodasikan yang tadinya tidak terantisipasi. Kini si guru
menginterpretasikan perilaku anak tersebut sebagai pintar, dan cerdas.
Dilengkapi dengan skemata sekarang yang telah termodifikasi itu, si guru kini
berkomunikasi dengan siswa tersebut dengan penampilan yang memperlihatkan
penerimaan, lembut, penuh dengan sokongan, dan penguatan, dst. Selanjutnya, hal
ini akan membentuk siswa tersebut sesuai dengan ekspektasi si guru yang telah
berubah tersebut (anak itu betul-betul memperlihatkan yang tidak ada sifat anak pasir nya lagi!).
Demikianlah mekanisme dari skemata dalam proses komunikasi.
B. Skemata
Dan Pendidikan Hubungannya Dalam Konteks Komunikasi Bermedia Dan Interpersonal
Kesimpulan
yang diperoleh adalah bahwa skemata antisipatori seseorang berkembang melalui kematangan,
belajar, dan pengalaman. Skemata ini, atau disebut juga struktur-struktur
kognitif, di dalam proses komunikasi mempengaruhi jenis informasi yang akan
dikumpulkan, bagaimana ia ditafsirkan serta reaksi terhadap informasi tersebut.
Skemata ini berakomodasi dengan informasi/kejadian yang ditemui; seterusnya,
dalam bentuknya yang telah berubah/berkembang ini pula informasi berikutnya
diseleksi, dimakna.
Khusus
untuk keperluan analisis komunikasi dalam proses pendidikan, akan ditinjau dua
kategori komunikasi, yaitu komunikasi bermedia, dan komunikasi interpersonal.
1.
Skemata dan Media
Ada
tiga teori yang secara berturut-turut akan ditinjau pandangannya tentang media,
dan pendidikan, yaitu teori situasional (lingkungan), teori sifat (trait), dan
teori skemata.
Teori
situasional memfokuskan pada bagaimana skemata berakomodasi dengan
masukan-masukan dari dunia luar (dalam hal ini, bagaimana persepsi manusia
dipengaruhi oleh media). Temuan Gross yang dikutip oleh Salomon berbunyi,
menekuni pertunjukan drama-drama kriminal di TV akan menimbulkan rasa takut,
dan ketidak percayaan jadi memuncak, dan ini termanifestasi dari respon mereka
terhadap pertanyaan-pertanyaan disekitar keselamatan diri, tentang kejahatan
dan penegakkan hukum, dan tentang kesaling percayaan diantara sesama manusia.
Menurut
teori kepribadian (Trait) seperti dilakukan Zillman. Zillman dalam hal ini
melihat bagaimana skemata mengasimilasi stimuli dari TV;sebagai contoh,
diinterpretasikan bahwa orang-orang dengan tingkat kecemasan yang tinggi dapat
mencari tontonan kriminal di TV pada ujung-ujung ceritanya sehingga dengan
demikian kecemasan mereka jadi hilang berikutnya, temuan Fenigtein dikemukakan
Salomon memperlihatkan bahwa ekspresi fantasi-fantasi agresif, dan perilaku
agresif akan meningkatkan kelebihsukaan orang pada kekerasan dalam film.
Akhirnya
teori skemata mendekati isu seperti di atas dengan cara berbeda sama sekali. Pertama,
kecemasan yang dirasakan manusia berasaldari berbagai sumber, termasuk di
dalamnya TV. Kedua, teori skemata, menekankan bahwa orang-orang yang
tingkat kecemasannya tinggi menyukai drama-drama kejahatan di TV untuk berbagai
alasan, sebagian untuk menurunkan sementara kecemasannya, sebagian lagi untuk
memperkuat, dan menegaskan pandangan/harapan mereka yang suram. Menurut temuan
Snyder, disini orang lari ke TV adalah dalam upaya untuk mendapatkan
bukti-bukti (informasi) yang membenarkan skemata mereka.
Pada
saat hendak memahami penggunaan teori skemata terhadap efek dari media, ada dua
isu yang akan tampil. Pertama, berkenaan dengan cara bagaimana skemata tertentu
mempengaruhi tentang apa-apa yang akan dipercayai dari media. Kedua, berkenaan
dengan cara bagaimana media mempengaruhi perkembangan skemata. Dikhususkan pada
pendidikan, maka pertama-tama yang ditanyakan adalah, bagaimana pendidikan
sebelumnya mempengaruhi cara merspon berikutnya terhadap media, dan kedua,
bagaimana respon terhadap media mempengaruhi belajar berikutnya.
Sesuai
dengan paradigma komunikasi pada umumnya, maka komunikasi punya efek terhadap
si penerima. Media secara berangsur-angsur meningkatkan pengetahuan, dan opini.
Bila meteri yang dipresentasikan oleh media cocok dengan skemata yang telah
ada, dan dapat dengan mudah diasimilasikan ke dalamnya.
Dari
berbagai penelitian, Salomon menyimpulkan perubahan skemata oleh media terjadi
dengan tiga cara. Pertama, media dapat mengubah skemata jika skemata
tersebut lemah, tidak/belum terintegrasi dengan baik, terisolasi, tidak
menonjol, tidak penting, ataupun belum berada dalam keadaan siap pakai (disebut
perubahan naif). Kedua, media dapat mengubah skemata meskipun skemata
itu bersifatesensial, menonjol, penting, serta terintegrasi dengan baik,
apabila skemata tersebut belum cukup berkembang untuk menggarap suatu kejadian
yang baru sehingga dengan demikian dilaksanakan yang disebut proses epistemik
(yaitu proses mencari informasi). Ketiga, media dapat mengubah skemata,
tidak peduli apakah skemata tersebut esensi, menonjol ataupun telah berkembang,
yaitu dengan jalan mengekspos media terhadap orang-orang secara sistematis,
terus-menerus, dan konsisten, sehingga memudahkan mereka mengasimilasi
pesan-pesannya (dinamakan perubahan sebagai efek berulang).
1)
Perubahan Naif
Perubahan
naif dibedakan menjadi dua istilah, yaitu :
a.
Eksplorasi
Proses
eksplorasi adalah khas untuk anak-anak kecil, dimana disini dipandu oleh
kemenonjolan stimuli (misalnya yang muncul secara tiba-tiba; perubahan program
TV misalnya dari hiburan ke komersial).
b.
Pencarian (search)
Pencarian
diarahkan oleh pengujian hipotesis yang terkontrol, serta dengan
pertimbangan-pertimbangan seperti relevansi serta keberinformasian.
Pemprosesan
disini lebih bertipe dari bawah ke atas (bottom-up) yang dimulai dengan
stimuli, berkembang maju melalui sejumlah level interpretasi, sampai si anak
puas dengan makna yang diperoleh.
Untuk
anak-anak yang lebih tua, proses lebih bersifat dari atas ke bawah (top-down),
dan lebih kuat dipandu oleh harapan-harapan mereka, hipotesis-hipotesis,
terkaan-terkaan, yang semuanya ini diistilahkan dengan pencarian. Salomon, yang
disimpulkannya dari coffe & Drum, menegaskan bahwa kedua proses ini
mempengaruhi proses membaca dalam sekuensi perkembangan, bermula. Dengan proses
bottom-up, dan berkembang ke yang lebih bersifat pencarian (top-down).
Perubahan
naif, ditegaskan oleh Salomon, tidak hanya terjadi pada skemata yang masih
miskin lalu dibombardir dengan presentasi media yang terakumulasi dengan baik
serta dengan isi yang baru bagi anak. Perubahan naif mempunyai Kans untuk
terjadi ( disamping kelemahan skemata), adalah apabila materi yang disampaikan
diperlakukan sebagai hanya bersifat informatif, dan bukan bersifat adanya
maksud-maksud tertentu, misalnya persuasi.
Bagaimana pun kenaifan anak, termanifestasi antara lain dari kesulitan
mereka dalam melihat tanda-tanda adanya maksud didalamnya, serta kesulitan
untuk membedakan mana yang fakta, dan mana yang fiksi dalam acara TV.
Hal
yang sama dapat juga terjadi pada orang dewasa. Pertama, perubahan skemata
dapat terjadi jika seorang dewasa berhadapan dengan peristiwa-peristiwa yang
berkaitan dengan media yang bagi mereka baru sama sekali, masih bisa dimengerti
tapi belum ada skemata yang berkembang baik untuk dapat dipakaikan terhadap
informasi tersebut. Kedua, perubahan naif dapat terjadi jika
peristiwa-peristiwa yang ditemui dalam media, dipersepsikan lebih bersifat
informatif daripada dipersensi untuk mempengaruhi audiens.
2)
Perubahan Epistemik
Perbedaannya
dengan perubahan naif adalah, perubahan epistemik terjadi jika skemata telah
relatif berkembang dengan baik, namun belum memadai untuk berhubungan dengan
kejadian-kejadian yang baru. Proses ini terjadi pada saat seseorang mengalami
ketidakcocokan diantara berbagai skemata, atau antara skemata yang masih belum
berkembang baik, dan bila pilihan tidak dapat dilakukan tanpa adanya informasi
baru.
Apabila
orang menghadapi ketidakpastian dalam bidang pengetahuan, orang akan mencari
pemecahannya melalui proses epistemik. Misalnya menurut pengetahuan umum Anda,
anak-anak kalau diajar oleh guru yang cerdas, dan berbakat orator, prestasi
akademik mereka tentu akan baik.
Berbeda
dengan perubahan naif, di sini pencarian dipandu oleh tujuan yang jelas (jadi
pencarian informasi yang berorientasi tujuan, bukan yang sekedar tergantung
pada stimuli). Ini biasanya diarahkan oleh setidaknya dua jenis skemata.
Pertama, adalah satu set yang spesifik dari skemata yang tidak berhasil
memberikan/mengadakan informasi yang diperlukan. Kedua, adalah suatu jenis
skemata yang bersifat/ bertipe super ordinat yang mengontrol pencarian, dan
pengambilan informasi, dan yang memberi/menetapkan bobot pada informasi yang
dikumpulkan, serta mempertahankan konsistensi antara informasi baru dengan yang
telah ada (tersimpan) sebelumnya.
Dengan
demikian dapat disimpulkan perubahan epistemik oleh karena, pencarian informasi
ditentukan lebih besar oleh adanya tujuan yang jelas/sengaja (suatu pencarian
diarahkan tujuan) daripada hanya disebabkan oleh kemiskinan skemata.
3)
Perubahan sebagai efek berulang
(Drip Effect)
Berbeda
dengan perubahan naif dan perubahan epistemik, pada perubahan efek berulang
ini, perubahan terjadi semata-mata akibat ekspose yang berulang dari
pesan-pesan yang relatif baru, namun yang secara umum dapat dipahami. Salomon
menegaskan, mungkin sekali informasi itu diasimilasi, dan akan menjadi bagian
dari skemata antisipasi (artinya orang tersebut menjadi familiar dengannya).
Ini berikutnya memandu orang tersebut untuk ekspose lebih lanjut dengan isi
yang sama, sehingga memberikan kesempatan untuk penyerapan bersambung dari
materi yang sama.
Secara
empiris pada dasarnya sulit memisahkan perubahan drip effect dari perubahan
naif, dan perubahan epistemik.
Salomon
menyimpulkan bahwa, sekedar ekspose terhadap presentasi media dapat
pertama-tama membawa seseorang menyukainya, lalu selanjutnya menyebabkan dia
paham (familiar) akan hal tersebut, dan akhirnya ini memfasilitasikan untuk
mendapatkan informasi baru.
Suatu
implikasi penting dari teori skemata terhadap isu seputar ekspose terhadap
media, adalah adanya pengaruh yang bersifat sirkuler. Belajar dari media
(memahami mendapatkan persepsi-persepsi baru tentang berbagai agenda sosial)
menjadi bagian dari skemata antisipatori seseorang, yang kemudian digunakan
untuk mengasimilasikan isi-sis lainnya dari media, dan juga kejadian-kejadian
lainnya yang bersifat non media.
Salomon
memberikan beberapa penekanan. Pertama, perubahan naif adalah yang paling kuat,
oleh karena itu cenderung untuk lebih menuai/menghadirkan skemata baru,
daripada hanya mengubah skemata yang telah ada, dan yang telah berkembang baik.
Di pihak lain, perubahan epistemik adalah yang paling lemah, oleh karena ia
mengubah skemata yang telah ada, dan terpakai untuk keperluan-keperluan
informasi khusus. Informasi epistemik yang diperoleh cenderung untuk ditimbang,
dan disanding dengan informasi yang telah ada. Tetapi kemudian efek dari media,
besarnya tergantung kepada apakah yang berubah itu pandangan yang bersifat
umum, opini, atau satu penggal yang spesifik dari pengetahuan atau
keterampilan.
Skemata
antisipatori mempengaruhi efek dari media (ini terlihat lebih besar pada
perubahan epistemik, dan kurang dalam perubahan naif, dan efek berulang),
tetapi pada saat yang sama skemata ini akan tunduk terhadap efek tersebut.
2.
Skemata dan Proses Pembelajaran
Satu
lagi paradoks dari skemata adalah pada saat ia dihubungkan dengan proses
belajar mengajar di sekolah. Belajar dari media massa berbeda dengan belajar
dalam kelas. Pada media massa, ada kebebasan dalam memilih,
menginterprestasikan, dan mengasimilasi informasi. Dalam kelas materi
pengetahuan sengaja dirancang dan dipilih sehingga para siswa mendapatkan
pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan yang digariskan oleh kurikulum.
Dari
sejumlah studi yang dilakukan berkenaan dengan skemata, dan pembelajaran,
Salomon menyimpulkan adanya dua isu penting. Pertama, adalah bahwa, perspektif
siswa, kemampuan, serta kecenderungan mereka, akan menentukan bagaimana mereka
memperlakukan informasi yang disampaikan kepada mereka serta bagaimana hal itu
disimpannya. Kedua, skemata siswa sangat rentan terhadap arahan yang dapat
menyebabkan suatu skemata tertentu lebih d sukai dari yang lain, lalu
dipergunakan/dipakai terhadap materi-materi dalam berbagai kejadian.
Satu
hal yang paling penting untuk memaksimalkan belajar, para pendidik harus
membantu siswa menaplikasikan skemata-skemata khusus mereka terhadap materi
pelajaran yang akan dipelajari. Ausebel, ditegaskan Salomon, dari hasil
studinya menemukan sesuatu yang diistilahkan “Advanced Organizer, (AO).
AO adalah materi pengenalan yang bersifat pantas, relevan, dan inklusif, di
perkenalkan kepada siswa sebelum proses belajar dilakukan, dan diberikan dlam
tingkat yang lebih tinggi dalam hal keabstrakannya, generalisasinya, dan
keinklusifannya. Fungsinya adalah untuk memberikan sangkutan ide/fikiran (ideational
scaffolding) untuk dapat terjadinya penyerapan materi pelajaran/pengetahuan
yang lebih rinci, dan terdiferensiasi. AO dapaat berbentuk judul buku,
headline, ataupun abstrak ringkas di bagian awal artikel-artikel jurnal. AO
dapat berfungsi sebagai skemata superordinat yang amat berharga, yaitu ia
mengasimilasi informasi baru yang bersifat hipotetik, seolah-olah informasi
tersebut bersifat faktual.
Ditegaskan
Salomon, isu yang berkenaan dengan persoalan mengajar, dan belajar adalah bahwa
impresi, pendapat dan pengetahuan yang telah dimiliki sebagai hasil dari proses
pembelajaran, dan yang berperana sebagai skemata antisipatori untuk suatu
materi baru, tidaklah mudah diganti dengan skemata alternatif (lainnya). Maka
skemata superordinat yang memahami bahwa orang lebih dikendalikan oleh
bawaannya daripada dipengaruhi oleh faktor yang bersifat situasional, skemata
yang tahu bahwa kejadian-kejadian ini selalu tersusun secara linear dalam
rantai sebab akibat, atau orang yang faham betul akan basis desimal dari
matematik tidak akan secara mudah memberi peluang pada guru untuk memberikan
skemata berbeda dengan itu (alternatif) kepada siswa.
Pemanfaatan
skemata koordinat pada taraf-taraf awal dapat memberikan hasil pendidikan yang
diinginkan, kemudiannya skemata tersebut dapat saja dipergunakan dengan cara
yang kurang diharapkan, sementara modifikasinya menjadi sulit. Yang paling
penting adalah meskipun skemata superordinat yang dipelajari dapat menggaet
banyak informasi baru secara mudah sehingga membantu proses pendidikan, skemata
demikian juga membatasi proses epistemik, dan kemungkinan menguji alternatif
lain untuk menggarap informasi. Disini munculah suatu paradoks : pendidikan
tidak mungkin dapat menghindari pemabfaatan skemata superordinat, namun skemata
ini juga dapat membatasi perkembangan pendidikan berikutnya. Cara untuk keluar
dari paradoks ini adalah mengikuti adanya perbedaan antara dua level perubahan,
yaitu level tingkat pertama, dan level tingkat kedua (firts order, dan
second order) seperti telah dikemukakan di depan. Cara pertama adalah
melakukan perubahan tingkat pertama, sehingga demikian terubahlah kekuatan
relatif atau keesensian suatu skema atau lainnya, tetapi tidak mengubah isi
ataupun hubungan-hubungannya dengan skema lain. Cara berikutnya adalah
memanfaatkan skema alternatif (lainnya), lalu melatih pengaplikasikannya secara
bergantian (saling dipertukarkan) terhadap materi yang sama. Ada cara berbeda
namun semuanya valid dalam memakai/ memahami berbagai hal.
3.
Skemata
dan Kontak Interpersonal
Telah dikemukakan bahwa, persepsi, dan komunikasi
interpersonal sangat kuat dipengaruhi olehisi dari skemata antisipatori dari
para partisipan. Dapat dikatakan bahwa, tidak pernah ada kontak interpersonal
yang terbebas dari skemata antisipatori, sebagaimana tidak akan pernah ada mata
telanjang. (naked eyes) maupun persepsi yang naif.
De Vito (1982) melihat komunikasi interpersonal
dengan pendekatan perkembangan, menegaskan bahwa komunikasi akan bergerak
secara kontinum dari yang bersifat impersonal di ujung sini, ke arah
interpersonal di ujung sana. Pada ujung impersonal, aturan-aturan berperilaku
dalam interaksi diturunkan dari norma-norma sosial. Pada saat hubungan semakin
dekat, dimana interaksi menjadi bersifat interpersonal, maka perilaku akan
dipandu oleh pengetahuan mengenai satu sama lain, yang biasa disebut
“explanatory knowledge”. Bagaimanapun, semenjak terjadinya kontak (dimana
interaksinya bersifat impersonal) sampai terbangunnya hubungan (interaksinya
bersifat interpersonal), perilaku para partisipan dipandu oleh skemata
antisipatori. Perbedaannya adalah, pada level impersonal skemata antisipatori
tersebut diturunkan dari norma sosial, pada level interpersonal skemata
antisipatori dibangun oleh pengetahuan mengenai keunikan masing-masing (yang
berkembang selama interaksi).
Skemata antisipatori yang mempengaruhi kontak
interpersonal dapat berbagai jenis. Satu skemata yang lebih dominan cendrung
mengarahkan kita untuk mengabaikan faktor-faktor situasional dalam mengatribusi
penyebab faktor-faktor situasional dalam mengatribusi penyebab dari tingkah
laku orang lain 9tapi tidak terhadap kita), dan melebih utamakan faktor
watak/disposisi sebagai penyebabnya. Skemata lain yang berperan dalam kontak
interpersonal adalah stereotype: jenis kelamin, prototip watak, label-label
konsensual, dan juga skemata yang berdasarkan pada pengalaman-pengalaman
khusus.
Ditegaskan Salomon (Abizar, 2008:78), hal yang umum
ada pada berbagai jenis skemata interpersonal adalah cara skema-skema itu
berperasi. Pertama, skemata ini menyampel, mengelompok-kelompokkan, atau
memberi tanda perilaku orang lain sesuai dengan kognisi awal. Sekali
perilaku-perilaku tersebut digolong-golongkan atau disampel, perilaku-perilaku
tersebut memasuki proses interpretasi ang oleh Weick (1979) disebut pemaknaan.
Interprestasi-interprestasi demikian mengindikasikan penyebab-penyebab
perilaku, lalu menentukan apa yang dapat
kita harapkan pada orang-orang, atas dasar indikasi-indikasi tersebut.
Dari sejumlah temuan, Salomon menggeneralisasikan
bahwa, harapan-harapan yang ditentukan oleh skemata (yaitu persesi-ipersepsi,
harapan-harapan yang bersifat kognitif), akan bertindak dalam bentuk tingkah
laku-tingkah laku khusus yang diarahkan pada orang lain. Misalnya, guru
cendrung untuk mengabaikan komentar-komentar dari siswa-siswa yang menurut
ekspektasinya adalah berkemampuan rendah, tetapi sangat aktif merespon
siswa-siswa yang menurut ekspektasinya berkemampuan tinggi. Dari banyak
penelitian mengenai hubungan antaraskemats antisipatori (guru) dengan efeknya
terhadap perilaku guru maupun siswa-siswa, ternyata hanya sebagian saja yang
hubungannya signifikan. Babad (dalam Salomon) menegasakan, perlu dibedakan dua
hal, yaitu faktor sugestabilitas (seberapa jauh orang mengizinkan informasi
baru yang diperolehnya mempengaruhi skematanya yang telah ada), dengan faktor
komunikabilitas (seberapa jauh orang mengkomunikasikan harapan-harapannya yang
telah terbentuk). Dalam hal ini, sugestabilitas adalah keharusan, namun belum
memadai dimana informasi baru membawa seseorang untuk berperilaku yang akan
mempengaruhi orang lain. Apabila kedua kondisi, sugestabilitas dan
komunikabilitas tersebut terabaikan, akan bisa menjadi penyebab kenapa efek
dari ekspektasi tidak kelihatan dalam banyak kajian.
Dari
kajian Babad, Salomon menyimpulkan:
1. Harapan-harapan
seseorang mengenai orang-orang lain, jarangyang berkembang hanya dalam satu
kali usaha, tetapi berkembang berangsur-angsur secara spiral, dan berubah
pelan-pelan sebagai hasil dari kontak interpersonal yang selanjutnya dibentuk
oleh ekspektasi-ekspektasi.
2. Harapan
jarang sekali dikomunikasikan secara eksplisit. Temuan Minor, seperti yang
dikemukakan oleh Salomon, bahwa siswa-siswa yang peduli dengan evaluasi yang
dilakukan oleh guru mereka, akan bertingkah laku sesuai dengan sebagaimana guru
mengharapkan mereka berperilaku.
Siswa-siswa yang tidak peduli dengan evaluasi guru,
tidaklah terpengaruh oleh harapan-harapan (guru) ini, artinya, siswa-siswa tipe
pertama (peduli dengan evaluasi) mendekteksi isyarat-isyarat harapan guru, dan
merespon sesuai dengan harapan tersebut, Tetapi siswa-siswa tipe kedua (tidak
peduli evaluasi) tidak berperilaku demikian.
Tingkah laku-tingkah laku spesifik, misalnya
tindakan-tindakan guru, tidak lebih dari data mentah yang harus dimaknai siswa
atas dasar skemata antisipatori mereka. Temuan Robouts, dan Machr, yang
disampaikan Salomon, siswa-siswa berkulit hitam ( di USA) yang berpredikat
cerdas (berbeda dengan siswa berkulit
putih berpredikat sama) mendapatkan manfaat yang kurang dari perilaku guru yang
berkulit putih, dibanding dengan yang diterima siswa berkulit hitam yang
normal/biasa-biasa ( hal yang berlawanan terjadi pada siswa berkulit putih).
Maka yang dapat diambil sarinya dari gejala-gejala
di atas adalah, harapan-harapan dapat saja terkomunikasikan lewat
tindakan-tindakan, tetapi bagaimana sifat serta maknanya diterima tergantung
pada harapan si penerima. Harapan-harapan siswa diterjemahkan kedalam tingkah
laku, dialamatkan kepada guru, dan mempengaruhi harapan-harapan, dan tingkah
laku guru. Dengan demikian, tingkah laku seluruh unsur dalam interaksi akan
bersifat diarahkan oleh skemata, dan akan mempengaruhi masing-masing secara
interdependen. Telah dikemukakan bahwa siswa-siswa bereaksi terhadap perilaku
guru sebagai fungsi (akibat) dari maksud, dan makna yang terindikasi dari
guru-guru mereka tersebut. Kedua persepsi pertama (bersifat komunikasional, dan
bermaksud untuk mengubah) dicurigai bersifat bias, dan bersifat memuaskan diri
(self serving) sehingga menimbulkan tolakan.
Kini kita mempunyai alasan untuk percaya, demikian
Salomon, bahwa tingkah laku terhadap orang lain yang dipandu oleh penilaian,
dan harapan-harapan negatif. Telah ditegaskan bahwa, semakin besar tingkah
laku-tingkah laku intervensi dipersepsikan berupa pesan-pesan bersifat personal
yang dimaksudkan merendahkan martabat, maka akan semakin kecil kemungkinan hal
tersebut akan menurunkan harga diri/konsep diri/rasa mampu diri seseorang.
Sebab orang cendrung menolak pesan-pesan yang bersifat personal, bagaimana
tindakan-tindakan yang dipersepsikan menyampaikan informasi yang bisa
dipercaya, dapat lebih mudah menjadi self
fulfilling prophecy daripada tindakan-tindakan yang dipersepsikan sebagai
bermaksud untuk mengubah.
Sifat sirkulasi akan terjadi jika tindakan-tindakan
untuk mengubah perilaku orang membuat mereka setuju dengan harapan tersebut.
Ini sepertinya cendrung untuk terjadi bila harapan-harapan negatif
dikomunikasikan, dan dipersepsi hanya untuk sekedar menyampaikan informasi, dan
bila harapan-harapan positif dipersepsi mempunyai maksud untuk mengubah.
Mempercayai adanya sirkularitas, kita perlu mempostulatkan satu dari kedua
kemungkinan tersebut. Satu adalah bahwa harapan-harapan, dan tingkah laku yang
diarahkan oleh skema, akan mengarahkan orang lain untuk bertingkah laku seperti
yang diharapkan, sehingga memperkuat harapan tersebut. Kedua kemungkinan
diatas, merefleksikan interaksi level-3. Kasus pertama adalah suatu lingkaran
tertutup (closed-loop), dimana harapan-harapan yang mungkin terbentuk oleh
pertemuan-pertemuan masa lalu dengan orang lain, sekarang mampir untuk
membentuk tingkah laku orang lain sesuai dengan harapan. Pada kasus kedua,
tingkahlaku-tingkah laku orang lain, daripada mengikuti harapan, malah mengubah
(harapan) mereka, sehingga terujudlah lingkaran yang bersifat spiral.
Skemata
yang membantu mengembangkan harapan-harapan di sekolah hanya sebagian saja yang
berasal dari pengalaman. Karakteristik dari seting pendidikan (dan seluruh
seting organisasi umumnya) yang dikembangkan, diolah, dan ditransfer serta
ditanamkan dalam skemata anggota-anggotanya disebut skrip atau peta sebab
(cause map). Tujuannya adalah untuk mengurangi ketidakpastian, untuk memberikan
interpretasi-interpretasi yang siap pakai, untuk menentukan apa yang cocok
dengan apa, dan apa yang membantu pada apa.
Karakteristik lainnya dari organisasi pendidikan
adalah bahwa, organisasi ini bersifat “berpasangan longgar”, (loosely coupled).
Misalnya, struktur sekolah tidaklah berhubungan dengan kegiatan yang dilakukan
di sana, juga kegiatan tidaklah berhubungan dengan hasil, dan efeknya. Cukup
menarik pula, kegiatan-kegiatan pendidikan dalam mana dijumpai
pasangan-pasangan yang erat kaitannya (tight-coupled) kenyataannya bersifat
marginal, misalnya sertifikasi dan pensekuensikan kurikulum secara umum.
Salomon mengemukakan temuan Mayer dkk.(1978)
mengenai peran yang amat besar dari konsensus institusional di antara guru,
dibanding dengan peran kontrol organisasi secara formal. Ditegaskan mereka
bahwa, proses yang mempersatukan organisasi-organisasi pendidikan, dan memberi
organisasi-organisasi tersebut makna, dan nilai, bukanlah sistem tapi adalah
konsensus struktural terhadap aturan-aturan institusional umum yang berlaku.
Satu fungsi dari konsensus-konsensus sekolah adalah untuk meningkatkan
kemungkinan keterampilan tingkah laku-tingkah laku oleh guru. Weick (1979) yang
dikutip Salomon menyatakan, aturan-aturan, dan prosedur-prosedur yang
diperkenalkan sebagai sarana untuk pencapaian tujuan, kini menjadi tujuan itu
sendiri. Sering terjadi, guru memberlakukan disiplin sebagai tujuan, bukanlah
(lebih dari) sebagai sarana untuk meningkatkan prestasi belajar anak. Ada
alasan untuk mempercayai bahwa sebagian melalui kontrol organisasi, dan
sebagian besarnya melalui konsensus, guru-guru secara berangsur-angsur menjadi
tersosialisasi untuk menggunakan skemata yang esensi terhadap berfungsinya
sekolah dan siswa-siswapun demikian.
Skemata yang disebutkan adalah amat esensi bagi
suatu organisasi, terutama sekali pada organisasi yang bersifat pasangan
longgar seperti lembaga pendidikan sekolah, skemata tersebut memberikan ruang
gerak yang cukup besar bagi validasi diri.. Ternyata, semakin esensi skemata
tersebut bagi organisasi, skemata tersebut akan semakin kecil kemungkinannya
untuk diabaikan, ia betul-betul menjadi “benda nyata”. Dengan demikian, tegas
Salomon, akan sangat besar kemungkinan bahwa harapan guru, terutama bila hal
tersebut berasal dari skemata konsesus yang esensi, akan mendominasi interaksi
guru dan siswa, akan mengubah skemata mengenai diri dari siswa beserta tingkah
laku mereka, dan akhirnya akan menjadi self fulfilling prophecy.
Dalam dunia pendidikan, misalnya di USA, dikenal
istilah ketidak beruntungan sosial (culturally disadvantaged= C.D). Label C.D
menjadi skema konsensus inklusif yang menyeluruh mudah dipahami ternyata
membuang banyak ketidakpastian, dan mempunyai kekuatan prediktif yang luas.
Yang amat penting adalah label/predikat C.D ini menempatkan siswa-siswa kedalam
peran yang bersifat inferior, yang dapat melahirkan/membentuk ketidakberdayaan
yang justru digerakkan oleh diri sendiri, walaupun siswa-siswa tersebut belum
pernah berpengalaman yang bersifat negatif.
Persoalannya adalah, apakah predikat C.D mengarah
pada self fulfilling propecy? Salomon menegaskan, bahwa jawabannya adalah
positif (ya), bila kita mengasumsikan bahwa skemata konsensus, tidak
berhubungan dengan kejadian-kejadian yang bersifat eksternal, sementara justru
faktoreksternal inilah yang membentuknya/menciptakannya. Dengan demikian, lebih
dari hanya sebagai suatu self fulfilling propechy, predikat/label C.D menjadi
self-sustaining prophecy.
Kesimpulan
yang dapat diambil adalah, seluruh skemata, baik personal maupun konsensus,
akan menjadi self-fulfilling prophecy atau setidaknya menjadi self sustaining
prophecy. Sehubungan dengan itu, Salomon mengemukakan temuan Luce dan Hoge
(1978) bahwa, dalam konteks kelas, intelegensi siswa berperan setidaknya
sebesar peran dari harapan guru dalam memprediksi prestasi siswa. Lalu,
kesimpulan lebih lanjut adalah, semakin besar suatu sistem, akan semakin besar
pula terjadinya kejadian-kejadian yang akan dipersepsikan sebagai pesan yang
bersifat informatif netral daripada pesan yang bertujuan komunikasional
(bermaksud mengubah).
Skemata yang bersifat berskala sistem punya
kesempatan yang lebih besar untuk dianggap rill atas dasar hubungannya yang
lebih longgar dengan peristiwa-peristiwa harian, bersifat faktual, keterpakaian
yang luas, serta mempunyai posisi yang bersifat super ordinat, dan esensi dalam
hirarki konsensual dari skemata. Mengubah skemata demikian (yaitu yang berskala sistem) dapat membawa perubahan
dalam keseluruhan peta sebab (cause map) organisasi. proposisi selanjutnya
adalah, semakin bersifat interpersonal suatu kontak, akan semakin dapat
diharapkan perubahan dari skemata yang bersifat spesifik. Kesimpulannya adalah
bahwa, harapan-harapan yang berdasarkan atas skemata, mengambil bagian dalam
interaksi timbal balik. Ada dua hal faktor yang berkontribusi terhadap
lingkaran tertutup (closed loop) ini dalam seting pendidikan: pertama,
keesensian konsensus dalam organisasi pendidikan yang bersifat pasangan
longgar, dan hubungan yang bersifat komplementer (tidak simetris) dalam seting
seperti itu. dipihak lain, lebih banyak harapan-harapan yangdidasarkan atas
pengalaman yang berkembang dalam kontan harian dengan orang lain (yang juga
punya harapan-harapan sendiri) lebih mudah/cendrung merespon terhadap informasi
yang tidak memperkuatnya, karena hubungan personal yang menyebabkan skemata
mereka lebih banyak berakomodasi satu sama lain.
Menyimpulkan kedua jenis komunikasi (bermedia dan
interpersonal) dalam kerangka hubungan antara skemata dan pendidikan, akan
dikemukakan beberapa hal berikut. Terdapat kesamaan besar antara cara bagaimana
skemata beroperasi dalam seting interpersonal dengan cara bagaimana ia
beroperasi terhadap ekspose media, dan terhadap belajar. Pada masing-masingnya
skemata yang lebih tinggi secara hierarki dan juga lebih esensi, bersifat
rentan terhadap pengaruh luar, sementara kejadian-kejadian eksternal yang
dipersepsi bersifat informatif, dan bukan bersifat komunikasional, mempunyai
kesempatan yang lebih besar untuk mengubah skemata. Tetapi, skemata mempunyai
peran khusus dalam domain interpersonal, sepanjang skemata tersebut memandu
tingkah laku yang secara nyata membentuk tingkah laku orang-orang lain untuk
menyesuaikan diri pada harapan-harapan kita.
BAB III
PENUTUP
Skemata dapat
lebih spesifik, atau lebih umum (Skemata lebih luas dan lebih umum memuat
didalamnya skemata-skemata yang lebih kecil dan dangkal, di dalam suatu
struktur yang bersifat hierarkis.
Komunikasi
terjadi ketika kejadian diberi makna simbolik, dan ketika maksud berkomunikasi
dari si sumber, terlihat indikasinya.
Implikasi
penting dari teori skemata terhadap isu seputar ekspose terhadap media, adalah
adanya pengaruh yang bersifat sirkuler. Belajar dari media menjadi bagian dari
skemata antisipatori seseorang, yang kemudian digunakan untuk mengasimilasikan
isi-isi lainnya dari media, dan juga kejadian-kejadian lainnya yang bersifat
non media.
Hal yang paling
penting untuk memaksimalkan belajar, para pendidik harus membantu siswa
menaplikasikan skemata-skemata khusus mereka terhadap materi pelajaran yang
akan dipelajari.
Terdapat
kesamaan besar antara cara bagaimana skemata beroperasi dalam seting
interpersonal dengan cara bagaimana ia beroperasi terhadap ekspose media, dan
terhadap belajar.
DAFTAR
PUSTAKA
Abizar. 2008.
Interaksi Komunikasi dan Pendidikan. Padang: UNP Press.
Effendy, Onong
Uchjana. 2005. Komunikasi – Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy.
2002. Komunikasi-Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suparno. 1967.
Filsafat Konstruktivisme dalam pendidikan. Jakarta: Kanisius.
Yusuf, PM. 2009.
Ilmu Informasi, Komunikasi, dan Kepustakaan. Jakarta: Bumi Aksara.
No comments:
Post a Comment