Friday, December 7, 2018

SKEMATA DAN PERANNYA DALAM KOMUNIKASI


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah.
Suatu paradigma yang menampung proses komunikasi ini, yang tertua adalah paradigma. S – R (stimulus-response). Oleh karena paradigma pikiran manusia berkembang terus maka paradigma ini kemudian disempurnakan menjadi S-O-R. Dalam hal ini, O menyatakan suatu proses mediasi, berupa
aktivitas kognitif pada setiap individu, ataupun aktivitas sosial dalam kelompok atau organisasi. Aktifitas kognitif tersebut, di antaranya adalah persepsi, memproses informasi, menyimpannya, (berlatih) mengulang-ulang, mengeluarkan-nya (mengingat), dst. Hal ini digambarkan dalam Pigura 6 (Salomon, 1981).
Figura 6 : Model Komunikasi Menurut Paradigma SOR
S
O
R
Stimulus, pesan atau seting dengan muatan tertentu
Persepsi, memproses, menyimpan, rehearsal
Respon yang bersifat tertutup atau terbuka
Paradigma ini, baik untuk keperluan penelitian maupun argumentasi, pada dasarnya memfokuskan pada kesesuaian muatan dari stimulus dengan muatan dari O, serta muatan O dengan muatan R. Sebagai contoh, Brophy (dalam Salomon, 1981) telah coba mengkaji proses belajar mengajar yang memediai antara pembelajaran dan belajar. Ia memperlihatkan bahwa penghargaan dari guru terhadap murid berkorelasi secara positif dengan prestasi belajar mengajar yang inisiasinya adalah oleh guru; bila inisiasi interaksi belajar mengajar itu adalah oleh siswa, maka korelasinya negatif.
Salomon menegaskan bahwa ada dua asumsi yang mendasari paradigma ini. Pertama, hasil atau R hampir tidak pernah dianggap mempengaruhi mediatornya yaitu O walaupun cukup nyata misalnya, ketiga hal tersebut, yaitu interaksi yang diinisiasi siswa, penghargaan guru, dan prestasi belajar, saling berpengaruh satu sama lain secara timbal balik. Kedua, paradigma S-O-R memberikan posisi utama pada S, sementara O hanya dianggap sebagai respon belaka. Istilah mediator disini kira-kira tidak dianggap sebagai respon mencari stimuli, menstrukturnya, ataupun memberinya makna yang bersifat a priori. Sementara sesungguhnya kognisi tidaklah hanya merespon pada pesan; kognisi juga mempengaruhi sifat dari pesan seperti yang dipersepsi orang sejak dari mulanya.
Kedua asumsi dari model S-O-R ini sangat mengganggu: pertama, secara filosofisnya, asumsi tersebut memberikan hanya peran yang bersifat reaktif pada orang: kedua, paradigma yang didasarkan atas asumsi-asumsi tersebut, gagal memperhitungkan  kenyataan yang terobservasi sehari-hari serta temuan-temuan penelitian. Masalahnya adalah, bagaimanakah paradigma tersebut melihat kenyataan bahwa di dalam konteks tertentu, orang-orang berbeda mengantisipasi dan mengobservasi kejadian-kejadian berbeda. Berbeda dalam hal yang dianggap mereka sebagai komunikasi, memberikan makna berbeda pada kejadian yang sama, dan mendistorsi informasi yang tersedia, serta mengasimilasinya ke dalam khasanah pengetahuan yang telah ada. Gombrich (dalam Salomon, 1981) menemukan sejumlah contoh dari bagaimana pengetahuan yang telah dimiliki yang disebut skemata mempengaruhi bagaimana sesuatu itu dipersepsikan serta bagaimana hal itu dimaknai dan ditafsirkan.
Bagaimanapun, tidaklah semua proses komunikasi berjalan seperti yang dikemukakan diatas. Di samping itu, orang-orang juga dipengaruhi oleh muatan stimuli yang mereka tidak siap sejak semula untuk itu. Mereka juga sering merespons pesan-pesan dengan cara yang relatif sama yang secara mudah diarahkan oleh muatan stimuli, daripada oleh antisipasi mental. Selanjutnya, orang mendapatkan pengetahuan baru, mengubah opini mereka, dan umumnya mempertimbangkan kejadian-kejadian yag tersaji secara eksternal.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas,terdapat hal menarik yang perlu kita kaji lebih mendalam, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Skemata dan Perannya dalam Komunikasi.
2.      Skemata & Pendidikan Hubungannya dalam Konteks Komunikasi Bermedia dan Interpersonal.
C. Tujuan Penulisan
1.  Mengetahui dengan jelas Skemata dan Perannya dalam Komunikasi.
2.  Mengetahui Skemata & Pendidikan Hubungannya dalam Konteks Komunikasi Bermedia dan Interpersonal.
3. Memenuhi tugas yang di berikan oleh dosen mata kuliah Sistem Komunikasi dalam Pembelajaran.
D. Sistematika Penulisan
BAB I :  Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah,   tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II: Pembahasan, yang terdiri dari Skemata dan Perannya dalam Komunikasi serta Skemata & Pendidikan Hubungannya dalam Konteks Komunikasi Bermedia dan Interpersonal.
BAB  III  :    Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
Daftar Pustaka
BAB II
PEMBAHASAN
A.   Skemata dan Perannya dalam Komunikasi
1.    Model Skemata dan dilemanya
Neisser (1976) mencoba memecahkan dilema yang dikemukakan di atas di dalam konteks persepsi manusia. Ia mengusulkan suatu teori yang didasarkan atas premis bahwa skema-antisipasi mental berperan sebagai medium melalui mana informasi yang telah ada (diperoleh), menentukan apa yang akan diambil berikutnya, dan informasi ini sebaiknya mengubah skemata semula.
Suatu skema mental secara lebih spesifik, lebih kurang adalah seperangkat pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya plus operasinya yang memerlukan kecakapan tertentu untuk memrosesnya. Suatu skema adalah laksana gudang simpanan dari suatu kategori pengetahuan, dan juga laksana satu koleksi prosedur komputer. Skemata dapat lebih spesifik (misalnya, coba pikirkan apa-apa saja yang anda ketahui tentang dan yang berhubungan dengan “uap”), atau lebih umum (misalnya, coba anda pikirkan seluruh rencana dan pengetahuan anda mengenai cara mencapai tujuan-tujuan dalam hidup) Skemata lebih luas dan lebih umum memuat didalamnya skemata-skemata yang lebih kecil dan dangkal, di dalam suatu struktur yang bersifat hierarkis. Tambahan lagi skemata terhubung dengan skemata-skemata lainnya dengan cara yang rumit. Misalnya, kita dapat menghubungkan pikiran berbeda dengan konsep uap, dan hal tersebut dapat  membawa kita mengasosiasikan kedua skemata (yaitu suatu pikiran/ konsep lain dengan uap) atau mengkombinasikannya secara langsung, atau dapat melalui semacam skemata super ordinat lain.
Ide tentang kelengkapan mental seperti dikemukakan di atas, terutama dalam peristilahan, ternyata dempet (overlap) dengan peristilahan lain yang dikemukakan ahli-ahli sebelumnya seperti metakognitif (oleh Downs A Stea, 1973), rencana mental (Miller Sos, 1960), dan setting terorganisasi (Bartlett, 1932), ataupun skema (oleh Sottand Cannon, 1972). Canon mengemukakan bahwa orang-orang m menemukan aturan-aturan yang relatif abstrak dan digeneralisasikan mengenai adanya keteraturan-keteraturan tertentu dalam hubungan antar kejadian-kejadian yang disebut skema.Sekali  ia telah terujud, iapun berfungsi  suatu kerangka kerja yang mempengaruhi cara dalam mana informasi baru yang relevan akan diasimilasikan. Pada prinsipnya, skemata mental seseorang beroperasi dalam suatu kapasitas memandu atau mengantisipasi. Ia mengarahkan pengeksplorasian dan pengambilan informasi; maksudnya, skemata mempersiapkan orang (yaitu si perceiver) untuk menerima jenis tertentu  dari informasi dan tidak informasi lainnya (Neisser, 1976). Skemata juga mempengaruhi bagaimana informasi itu disampel, distruktur, serta ditafsirkan secara bermakna. Ringkasnya, dengan diarahkan oleh skemata, orang menjadi sensitif terhadap suatu kejadian tertentu, dan menyampelnya, menstrukturnya dan memberinya makna di dalam (sesuai) garis antisipasinya.
Andaikata proses persepsi tersebut seluruhnya demikian, yaitu skemata memandu apa saja yang akan mendapatkan perhatian, menyampelnya menstrukturnya, lalu memaknainya sesuai arah antisipasinya, akan dihadapi suatu paradoks yang dinyatakan oleh ungkapan: “ Saya melihat sesuatu jika saya mempercayainya”. Atau seperti yang dikemukakan Neisser yang dikutip langsung oleh Salomon:
Persepsi tidak hanya bekerja membenarkan asumsi  sebelumnya, tapi memberi organisme dengan informasi baru. Meskipun ini benar, juga benar bahwa tanpa adanya struktur sebelumnya tidak satu informasipun dapat diperoleh. Terdapat kontradiksi dialektis antara kedua syarat ini: kita tidak akan mempersepsi sesuatu tanpa kita mengantisipasinya, tetapi kita harus tidak hanya melihat apa yang kita antisipasi.
Dengan kata lain hasil dari eksplorasi yang diarahkan oleh skema, yaitu informasi yang diserap (diperoleh), akan mengubah skema semula. Setelah perubahan, skema tersebut mengarahkan eksplorasi selanjutnya, dan menjadi siap untuk lebih banyak informasi. Di dalam istilah Piagaet, skemata mengasimilasi informasi seperti yang diantisipasi oleh skemata tersebut, tapi sementara berproses demikian, skemata juga berakomodasi  terhadap informasi yang dijumpai (didapat)nya. Dengan demikian, persepsi atau komunikasi umumnya seperti yang dikemukakan Neisser, adalah suatu proses yang bersifat siklus. Salomon dengan mengadopsinya dari Neisser, melakukan sedikit modifikasi, menggambarkan siklus komunikasi sebagai berikut (lihat figura).
Adakalanya dilema seperti dikemukakan sebelumnya, kelihatannya akan lenyap dengan model ini. Disini orang secara terseleksi memperhatikan berbagai kejadian, menyimpulkan adanya maksud didalamnya (attribute intentions), lalu menafsirkan makna di dalamnya sesuai dengan skemata antisipatorinya. Tetapi skemata ini juga berakomodasi terhadap kejadian beserta apa-apa yang dibawa (muatan)nya. Ringkasnya, kedua proses tersebut terjadi secara siklus.
Tetapi model ini malah melahirkan dilema baru yang tidak mungkin dijawab dengan jawaban sederhana dan tunggal. Pertanyaannya adalah, manakah di antara kedua determinan dari proses tersebut yang memainkan peran lebih besar; skemata antisipatori atau peristiwa-peristiwa eksternal? Artinya, dalam kondisi apakah skema seseorang lebih berpengaruh dalam menentukan pemilihan kejadian-kejadian serta memberikan/menyimpulkan makna daripadanya, dan kapankah kejadian-kejadian lebih unggul? Kapankah orang mempersepsikan kejadian sebagaimana orang tersebut berkeinginan untuk melihatnya, mendistorsikan pesan-pesan, memproyeksikan perasaannya pada orang lain dan seterusnya, dan kapan ia menerima apa-apa yang benar-benar disampaikan oleh pesan? Pertanyaan-pertanyaan ini sesungguhnya berkenaan dengan keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi atau antara siklus yang bersifat sirkuit tertutup dengan siklus yang bersifat spiral terbuka.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dimulai dengan suatu asumsi, bahwa apapun yang kita persepsikan, kita pilih dan dimaknai, dan yang kemudian kita dipengaruhinya, dilakukan oleh ataupun diambil oleh skemata. Efek dari stimuli terjadi sesudah pengaruh skemata. Pengetahuan yang telah ada, kepercayaan-kepercayaan dan harapan-harapan, menentukan apakah kita menginterpretasikan suatu kejadian tersebut adalah sebagai pesan, dan apakah kita melihatnya sebagai sesuatu yang jelas, rancu, paradoks, suatu perintah, suatu ekspresi perasaan, suatu ancaman, ataupun sesuatu yang berbeda dengan semuanya itu. Akomodasi skemata terhadap kejadian-kejadian tersebut terjadi sesudah itu.
 Pada umumnya orang akan menghindar, mengubah atau mengabaikan informasi yang sangat berbeda, mendeskreditkan sumber ataupun membentuk skema tersendiri (baru) untuk itu. Sejumlah penelitian menemukan, pada saat orang merasa perbedaan antara pesan dengan skemata meningkat, skemata mengakomodasikannya sampai pada titik tertentu. Apabila perbedaan itu melampaui titik tersebut, akomodasi berhenti, dan terjadilah penolakan, penghindaran, dan sebagainya. Dalam situasi ini, asimilasi mengambil alih situasi. Pada prinsipnya, pada saat stimuli terlalu asing, rancu, membingungkan, atau tidak jelas dari segi skemata seseorang, maka makna diberikan oleh skemata dengan hanya sedikit pengaruh oleh stimuli; dalam hal ini asimilasi mendominasi situasi. Anderson dkk (dalam Salomon) menyimpulkan dari sejumlah kajian bahwa dari perspektif teori skema, penentu utama dari pengetahuan yang dapat diperoleh seseorang, adalah justru pengetahuan yang telah dimilikinya.
Sekarang menjadi lebih jelas bahwa, suatu kondisi penting untuk besar kecilnya terjadinya asimilasi adalah besarnya ketidaksamaan, ketidakcocokan, atau konflik, seperti yang dipersepsikan seseorang antara skemata, dan stimuli. Bila ketidaksamaan yang dipersepsikan tersebut besar, hal itu tidak memungkinkan bahwa stimulus akan mengubah skemata. Dalam hal ini, orang berkemungkinan besar untuk menyukai ide semula. Ini berkemungkinan besar adalah untuk meningkatkan sikap negatifnya terhadap hal tersebut jika ia telah sejak semula menantangnya; atau berkemungkinan besar menghindarinya sama sekali.
Variabel berikutnya yang mempengaruhi keseimbangan antara asimilasi, dan akomodasi adalah tingkat penting atau esensinya skemata bersangkutan. Besarnya ketidakpastian untuk membeli baju kaos atau kemeja akan sama kalau tingkat pentingnya untuk keperluannya tidak dipertimbangkan. Petty, dan Casoppo (dalam Salomon) mengemukakan bahwa tolakan terhadap usaha persuasi akan lebih besar jika orang-orang tersebut terlibat besar dalam isu tersebut, dan tolakan akan lebih kecil jika mereka hanya terlibat sedikit. Dalam kondisi terlibat besar (penuh) orang menjadi menyukai isu jika dipresentasikan dengan pesan-pesan yang mendukung hal (isu) tersebut. Jika skemata adalah penting/ esensi bagi seseorang, harga kognitif dibiarkan untuk diubah oleh pesan-pesan berbeda (tidak cocok) menjadi terlalu  besar. Dengan demikian kombinasi ketidakcocokan dengan keesensian dari skemata bersangkutan akan mengurangi kemungkinan/ kesempatan untuk akomodasi.
Faktor ketiga yang menentukan keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi adalah kekuatan kekuatan relatif dari skema. Suatu skema yang kuat akan lebih menonjol, sehingga mudah terpakai pada stimuli, berada lebih dekat pada bagian depan tempat tersimpan (berada)-nya skemata terpakai dan akan lebih siap sedia bereaksi. Faktor keempat yang dapat mempengaruhi keseimbangan antara asimilasi, dan akomodasi adalah melihat adanya indikasi maksud mengkomunikasikan suatu pesan, untuk hiburan, atau untuk menyampaikan informasi yang netral. Telah dikemukakan bahwa jika seseorang melihat suatu kejadian sebagai suatu pesan yang dimaksudkan untuk mengubah perilaku, orang cenderung untuk menolaknya. Akhirnya orang berkemungkinan akan mengasimilasi pesan ke dalam skemata mental yang telah ada, daripada mengakomodasi sesuatu terhadap informasi baru yang ada dalam pesan. Tolakan berkemungkinan akan kurang kuat bila orang mempersepsikan suatu kejadian yang dimaksudkan hanya untuk menyampaikan informasi atau untuk hiburan. Dengan demikian, diharapkan skemata berakomodasi lebih besar terhadap informasi bila informasi tersebut dilihat sebagai direncanakan, bias, atau adanya maksud untuk mempersuasi. Yang terakhir (untuk mempersuasi) berkemungkinan untuk lebih tidak dipercayai, dihindari, ataupun diubah agar sesuai dengan pengetahuan, dan keyakinan yang tnelah ada.
Keempat faktor yang dikemukakan diatas  (perbedaan yang dipersepsikan, keesensian relatif dari skemata, kekuatan skemata, dan terlihatnya ada maksud), yang mendasarinya adalah prinsip konsisten-kognitif (dimana ketidakcocokan adalah salah satu daripadanya). Terjadinya akomodasi yang besar dari skemata yang penting, dan menonjol, dapat mengganggu/mengacaukan struktur kognitif seseorang. Bagaimanapun, memiliki skemata yang terhubung dengan baik, yang tersusun secara hierarki, dan konsisten, adalah merupakan struktur kognitif yang penting, dan malah mutlak. Tanpa itu semua, kita akan susah mengelola urusan kita dengan dunia ini. Mengacaukan struktur dapat menyebabkan pusing luar biasa.
Lalu kapankah akomodasi skemata terhadap stimuli terjadi? Jawabannya adalah, ketika penyesuaian yang diperlukan dari skemata terhadap stimuli yang sama sekali baru, adalah relatif kecil, bila hal itu berkenaan dengan skema yang tidak begitu esensi, jika suatu skema dalam keadaan lemah, dan jika kejadian dipersepsikan sebagai informasi yang netral, (bukan untuk melakukan perubahan), maka dalam keadaan demikian, perubahan lebih besar dari skema akan terjadi.
Kini, dua batasan perlu diperkenalkan agar seseorang tidak mendapatkan kesan bahwa perubahan skemata lebih sulit terjadi daripada biasanya. Pertama, sebagaimana dikemukakan Ros (dalam Salomon), bukti-bukti baru yang sangat kuat, dan secara konsisten berlawanan dengan kesan seseorang atau dengan teori, dapat, dan sering menghasilkan perubahan walau dalam gerak yang lebih lambat, dibanding dengan sebagai akibat dari bukti-bukti yang tidak bias, dan tidak memihak. Dengan kata lain, skemata yang penting, dan menonjol sekalipun dapat berubah dalam berhadapan dengan informasi yang tidak cocok, jika informasi yang tidak cocok ini dipresentasikan cukup sering dengan cara yang mengizinkan terjadinya asimilasi secara berangsur-angsur/ gradual. Istilah gradual berimplikasi perjumpaan skemata dengan informasi, dimana skemata ini telah mengalami sedikit perubahan oleh perjumpaan sebelumnya dengan informasi relevan. Bila dalam hal ini dituntut perubahan yang bersifat segera (dari skema esensi, dan penting tersebut) maka, usaha tersebut akan gagal.
Kedua, dan yang amat menarik perhatian adalah perubahan yang dramatis, dan hampir menyeluruh yang terjadi ketika orang mengalami konversi/ perubahan agama atau ideologi. Disini ditekankan Salomon dari pernyataan Ross bahwa, konversi seperti ini bukanlah hasil dari data baru ataupun serangan terhadap kepercayaan lama, lebih dari itu adalah, serangan terhadap sistem kepercayaan secara keseluruhan. Ini adalah perubahan tingkat tinggi, yang bukan mengenai satu skema ataupun isi beberapa skemata; ini menyinggung seluruh bagian dari sistem kognitif, dengan mana informasi berhadapan. Dalam hal ini serangan ditingkatkan ke level tertinggi dari hierarki skemata, dan si subjek diberi jalan/ cara untuk meninjau keseluruhan bagian dari sistem kepercayaannya dalam hubungan dengan pengalamannya ini dari luar, yaitu dari tingkat-meta. Disini informasi berbeda (tidak cocok) tersebut tidak diberikan didalam sistem yang sama, yang diistilahkan Watzlawick sebagai percobaan tingkat pertama; tetapi dikemukakan istilah yang seluruhnya berbeda untuk memahami pengalaman, dan memberikan kesempatan kepada si subjek untuk melangkah keluar batas-batas yang diset oleh skemata semula, dan merekonsiliasikan masalah yang dirahasiakan, diantara skemata, dan bukti-bukti empirik (hasil pengalaman), yaitu suatu perubahan yang bersifat tingkat dua (second order). Ini sangat banyak kesamaannya dengan perbedaan antara usaha untuk mempersuasi orang bahwa mereka itu adalah salah, di satu pihak, dengan jalan memberikan tekanan yang makin kuat mengenai bagaimana benarnya kita, dan di pihak lain, dengan mengkerangkakan kembali ketidak sefahaman di dalam peristilahan yang baru sama sekali, yang memperlihatkan bagaimana seluruh pihak menjadi terlindungi (tidak bersinggungan).
Salomon memberikan satu ilustrasi berikut. Banyak peneliti yang telah menemukan bahwa mengajar dengan mempergunakan TV rata-rata lebih unggul dibandingkan dengan pengajaran tatap muka. Sementara itu lebih banyak lagi temuan bahwa TV samasekali tidak memberikan perbedaan yang berarti dari hasil belajar, namun belum juga lagi mengubah keyakinan orang bahwa TV mestilah lebih unggul. Informasi yang berbeda/ menyimpang dalam sistem yang sama, ditolak; serta perbaikan dari metodologi penelitian maupun kenyataan pencapaian hasil belajar yang lebih baik (perubahan tingkat pertama) tidaklah mampu mengubah kepercayaan orang. Ternyata yang mengubahnya kemudian adalah ide interaksi antara pelakuan, dan kecerdasan (aptitude-treatment interaction = ATI); ini mengkerangkai kembali pertanyaan semula yaitu “apa yang secara rata-rata lebih unggul dari apa”, menjadi “siapa yang memperoleh lebih besar/ banyak manfaat”. Ini adalah perubahan skemata yang bersifat “second order”/ tingkat kedua, dimana tidak menyerang kepercayaan semula dengan jalan memberikan lebih banyak bukti namun tetap jenis yang sama (first order), tapi memperkenalkan suatu skema superordinat baru (yaitu interaksi perlakuan dengan kemampuan/kecerdasan). Skema baru ini membuat keyakinan akan keunggulan TV secara mutlak serta (dengan) ketidak-konsisten bukti-bukti empirik, berekonsiliasi secara sempurna pada saat semuanya dilihat dari perspektif yang baru, yaitu perspektif “meta” (lebih tinggi), yaitu ATI tersebut. Kesimpulannya adalah, terdapat kemungkinan bahwa perubahan berskala besar dari skemata tidak mungkin terjadi bila skemata spesifik diserang secara langsung dengan informasi baru yang berbeda (tidak cocok) yang sifatnya mengancam, dalam rangka memperkenalkan ketidakcocokan antara skema-skema spesifik tersebut dengan skema lainnya. Perubahan berskala besar dapat terjadi, jika hubungan antar skema-skema didefenisikan kembali, dan dikerangkakan kembali dengan menggunakan skema super ordinat.

2.    Skemata, dan Komunikasi
Semula, model skemata yang dikemukakan di atas adalah dikembangkan untuk menerangkan proses persepsi, tetapi ternyata dapat menerangkan perjumpaan manusia dengan berbagai objek, kejadian, dan perilaku. Persoalnnya, apakah ia membawa arti yang spesifik, dan unik untuk komunikasi?
Di depan telah diterangkan Salomon, bahwa komunikasi terjadi ketika kejadian diberi makna simbolik, dan ketika maksud berkomunikasi dari si sumber, terlihat indikasinya. Ini berimplikasi bahwa komunikasi dari si sumber, terlihat indikasinya. Ini berimplikasi bahwa komunikasi tidak akan terjadi bila skemata seseorang tidak memberikan/ membangun kedua atribusi (terlihat indikasi) diatas. Kita mungkin bertanya, kenapa orang sangat terbiasa untuk melihat adanya maksud berkomunikasi, dan adanya makna dalam pembicaraan lisan, serta tayangan TV, namun tidak demikian pada bersin, tersedak, dan lainnya.
Dalam batas-batas tertentu, keputusan kita mengenai kapan menyimpulkan adanya maksud-maksud berkomunikasi, didasarkan pada adanya persamaan atribusi yang melekat dalam skemata kita. Namun, kesamaan konsepsi tidaklah mempreskripsikan semua makna simbolik, dan kesamaan semua makna ini juga tidak mempreskripsikan semua kemungkinan untuk pengatribusian maksud berkomunikasi. Apakah jenis pena yang saya miliki dipersepsikan mempunyai pesan yang punya maksud tertentu, apakah gaya bicara seseorang merendahkan orang lain, atau apakah tindakan politik tertentu dipersepsikan sebagai pengkomunikasian semangat pemerintahan yang baru, semuanya   konsepsi yang dimiliki bersama secara kultural. Ternyata dalam suatu konsisten kebudayaan tertentu, kita harus mengambil keputusan atas sesuatu isu dengan cara sendiri melalui proses epistemik. Yaitu, kita mencari informasi tentang diri sendiri, dan tentang lingkungan kita sehingga kita dapat memilih di antara proposisi-proposisi yang tidak saling berhubungan, pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, makna-makna, dan kepercayaan-kepercayaan. Jadi pendidikan sebelumya belum lagi melengkapi kita dengan antisipasi, atribusi, dan makna yang jelas, kita harus mengumpulkan informasi baru untuk dapat melakukan pemilihan di antara alternatif-alternatif. Sebagai sontoh, misalkan kita ingin memastikan apakah seseorang berada dalam suasana bersahabat sehingga kita dapat mendekatinya dengan suatu isu yang sensitif. Pada saat berada dalam situasi dimana aturan-aturan bertindak terlalu sedikit yang dipreskripsikan secara kultural, kita harus melakukan proses epistemik untuk memutuskan apakah orang mengkomunikasikan sesuatu, dan jika demikian halnya, makna apa yang seharusnya terbaca di dalamnya.
Setiap berhadapan dengan dunia sekitar, kita akan melibatkan kadar tertentu dari perilaku epistemik, namun mengumpulkan informasi tidak haruslah berimplikasi bahwa pilihan-pilihan yang diambil akan bersifat tidak bias. Akibatnya, pada saat informasi merupakan bagian dari yang disebut realita sosial, tidak dapat dielakkan bahwa ia akan bias. Diistilahkan pengetahuan inferensial, bila ia didasarkan pada seperangkat bukti-bukti yang tidak lengkap, tanpa adanya basis objektif untuk merasaka kebenaran dari suatu proposisi, demikian Kruglanski & Jaffe (dalam Salomon). Dengan demikian misalnya, tidaklah ada kepastian objektif bahwa gambar seekor kucing di atas sehelai tikar sesungguhnya adalah gambar seekor kucing, dan bukan seekor mamalia, atau suatu lambang dari relaksasi atau gambar diri saya sebagai kucing dalam suasana hati yang direfleksikan olehnya. Selanjutnya, pilihan yang dilakukan adalah berupa suatu preferensi yang berbasis subjektif. Disini pilihan tertentu akan dijatuhkan di antara berbagai kesimpulan aternatif yang ada; dan ini tentu saja terjadi pada saat sejumlah bukti yang ada, cocok dengan berbagai interpretasi, ataupun adanya konklusi alternatif yang tidak terbatas jumlahnya.
Skemata antisipatori yang sebagian didasarkan atas realita sosial, ia bersifat bias sejak awal proses epistemik, demikian juga dalam pilihan-pilihan yang dilakukan. Skemata bias dalam melakukan pilihan-pilihan terhadap berbagai alternatif. Ide-ide yang tersedia dalam kepala dengan mudah, dan lebih siap hadirnya dalam fikiran, yang diperoleh melalui pengalaman, pengajaran ataupun motivasi, sejak dari awalnya telah bias alternatif-alternatif yang pertimbangkan untuk dipilih. Skemata juga bias terhadap bobot, keterpercayaan, dan keterandalan dari informasi yang dikumpulkan (dalam proses epistemik). Skematapun membawa, misalnya, pada kekeliruan dalam melakukan/ proses atribusi yang cukup mendasar sifatnya, yang memberikan bobot yang lebih besar pada bukti-bukti yang membantu menerangkan perilaku lebih dari segi disposisi (karakteristik kepribadian), daripada dari segi situasi. Suatu skemata superordinat berperan didalamnya, agar konsistensi-kognitif terpertahankan.
Salomon  mengemukakan temuan Snyder mengenai bias dalam isu komunikasi, bahwa orang cenderung menformulasi berbagai hipotesis mengenai sifat orang-orang lain, dan sesudah itu men-tesnya dengan cara-cara yang bias. Secara lebih spesifik, orang cenderung untuk mengumpulkan bukti-bukti yang membenarkan, daripada mencari bukti-bukti yang menyangkal. Sebagai ilustrasi, apabila dikatakan bahwa si A misalnya bersifat introvert, maka orang-orangpun memformulasikan hipotesis, lalu menurunkan sejumlah pertanyaan yang akan membenarkan hipotesis mereka. Mereka tidak menformulasikan atau mencari bukti-bukti yang tidak membenarkan hipotesis tersebut. Sesungguhnya, introvert, dan ekstovert adalah kategori-kategori yang amat longgar, seperti halnya istilah-istilah normal, malas, mampu,dst. Bagaimanapun longgarnya, tidak akan mengherankan jika orang dengan mudah untuk berhasil mendapatkan bukti-bukti yang membenarkan hipotesis di atas bahwa si A adalah introvert.  Orang-orang melakukan hal seperti itu, mengabaikan kredibilitas sumber, ataupun kemungkinan lain yang berbeda; orang-orang malah tetap melakukan seperti itu walaupun diberi ciri lain yang menyimpang dari hipotesis mereka. Ringkasnya, sepanjang mempunyai hipotesis untuk diuji, orang-orang mengujinya dengan cara-cara yang bias.
Temuan Snyder yang amat penting dalam hal ini adalah, sementara mencari bukti-bukti yang membenarkan, orang-orang yang sedang menguji hipotesis membentuk perilaku orang lain demikian rupa sehingga respon orang lain tersebut memperlihatkan perilaku nyata yang membenarkan hipotesis yang sedang diuji. Dengan demikian, si penguji hipotesis tidak hanya lebih suka (cenderung) mendapatkan dari orang-orang yang menjadi sasaran hipotesisnya bukti-bukti yang membenarkan hipotesisnya, juga membentuk perilaku orang-orang sasaran tersebut, demikian rupa sehingga si penilai yang naif-pun akan dapat menghasilkan kesimpulan yang sama.
 Disini terletak tempat utama, dan yang unik dari perilaku yang dipandu oleh skemata dalam komunikasi. Seluruh perilaku epistemik kita (yaitu yang dipandu oleh skemata bersama, baik itu perilaku yang individual sifatnya maupun kelompok atau kultural) akan bersifat bias, tetapi bias ini tidak perlu pula mempengaruhi dunia objek; yang pasti bias tersebut mempengaruhi manusia dalam interaksi sosial. Ditegaskan lagi oleh Salomon pernyataan Snyder bahwa, segala objek berikut nilai-nilai kebenaran dari proposisi-proposisi mengenainya, hadir terbebas dari  transaksi kita dengannya; sedangkan perilaku dari orang-orang lain, amat banyak sebagai produk dari tindakan kita terhadap mereka. Dengan kata lain, dipandu oleh skemata antisipatori kita dalam bertransaksi dengan dunia luar, kita cenderung bias mengenai apa yang kita cari, dan bagaimana kita menginterpretasikannya. Tetapi bias-bias ini juga membentuk, dan mengubah dunia sekita kita, bila transaksi melibatkan komunikasi sesama manusia. Inilah yang ditekankan Snyder yaitu sesuatu yang merupakan sifat sosial dari realita sosial. Bias saya yang dipandu oleh skemata, dapat membawa saya untuk menginterpretasikan suatu objek sebagai menyenangkan, mengganggu, atau mudah pecah, dst. Tetapi dengan menginterpretasikan demikian, saya tidak harus pula menjadikan objek tersebut benar-benar mempunyai sifat demikian. Namun, disisi lain, bila saya menginterpretasikan perilaku seseorang sebagai membawa pesan persahabatan, ini akan mengarahkan saya untuk berprilaku demikian, dan ini akan memberi peluang untuk membentuk perilaku orang tersebut menjadi lebih bersahabat terhadap saya.
Contoh lain dalam interaksi yang lebih kompleks. Seorang guru mempunyai hipotesis tertentu mengenai siswa-siswanya. Hipotesis ini sebagian dimiliki bersama (yaitu secara institusional, misalnya, anak-anak pasir (istilah untuk penduduk asli yang tinggal di pantai dengan pekerjaan nelayan, dan umumnya ber ekonomi lemah) kurang terurus sekolah mereka oleh orang tua, relatif nakal, dan sering menimbulkan masalah, dan prestasi belajar aktif rendah,dst. Kini guru berada dalam proses epistemik, tapi berlawanan dengan persepsi umum (konsensual) ini, dijumpai seorang anak pasir yang prestasi akademik nya amat baik, dan perilakunya sopan;, dan si guru benar-benar tidak bisa mengabaikan ini. Akibatnya, epistemik si guru tadi jadi berubah untuk mengakomodasikan yang tadinya tidak terantisipasi. Kini si guru menginterpretasikan perilaku anak tersebut sebagai pintar, dan cerdas. Dilengkapi dengan skemata sekarang yang telah termodifikasi itu, si guru kini berkomunikasi dengan siswa tersebut dengan penampilan yang memperlihatkan penerimaan, lembut, penuh dengan sokongan, dan penguatan, dst. Selanjutnya, hal ini akan membentuk siswa tersebut sesuai dengan ekspektasi si guru yang telah berubah tersebut (anak itu betul-betul memperlihatkan  yang tidak ada sifat anak pasir nya lagi!). Demikianlah mekanisme dari skemata dalam proses komunikasi.

B.    Skemata Dan Pendidikan Hubungannya Dalam Konteks Komunikasi Bermedia Dan Interpersonal
Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa skemata antisipatori seseorang berkembang melalui kematangan, belajar, dan pengalaman. Skemata ini, atau disebut juga struktur-struktur kognitif, di dalam proses komunikasi mempengaruhi jenis informasi yang akan dikumpulkan, bagaimana ia ditafsirkan serta reaksi terhadap informasi tersebut. Skemata ini berakomodasi dengan informasi/kejadian yang ditemui; seterusnya, dalam bentuknya yang telah berubah/berkembang ini pula informasi berikutnya diseleksi, dimakna.
Khusus untuk keperluan analisis komunikasi dalam proses pendidikan, akan ditinjau dua kategori komunikasi, yaitu komunikasi bermedia, dan komunikasi interpersonal.

1.    Skemata dan Media
Ada tiga teori yang secara berturut-turut akan ditinjau pandangannya tentang media, dan pendidikan, yaitu teori situasional (lingkungan), teori sifat (trait), dan teori skemata.
Teori situasional memfokuskan pada bagaimana skemata berakomodasi dengan masukan-masukan dari dunia luar (dalam hal ini, bagaimana persepsi manusia dipengaruhi oleh media). Temuan Gross yang dikutip oleh Salomon berbunyi, menekuni pertunjukan drama-drama kriminal di TV akan menimbulkan rasa takut, dan ketidak percayaan jadi memuncak, dan ini termanifestasi dari respon mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan disekitar keselamatan diri, tentang kejahatan dan penegakkan hukum, dan tentang kesaling percayaan diantara sesama manusia.
Menurut teori kepribadian (Trait) seperti dilakukan Zillman. Zillman dalam hal ini melihat bagaimana skemata mengasimilasi stimuli dari TV;sebagai contoh, diinterpretasikan bahwa orang-orang dengan tingkat kecemasan yang tinggi dapat mencari tontonan kriminal di TV pada ujung-ujung ceritanya sehingga dengan demikian kecemasan mereka jadi hilang berikutnya, temuan Fenigtein dikemukakan Salomon memperlihatkan bahwa ekspresi fantasi-fantasi agresif, dan perilaku agresif akan meningkatkan kelebihsukaan orang pada kekerasan dalam film.
Akhirnya teori skemata mendekati isu seperti di atas dengan cara berbeda sama sekali. Pertama, kecemasan yang dirasakan manusia berasaldari berbagai sumber, termasuk di dalamnya TV. Kedua, teori skemata, menekankan bahwa orang-orang yang tingkat kecemasannya tinggi menyukai drama-drama kejahatan di TV untuk berbagai alasan, sebagian untuk menurunkan sementara kecemasannya, sebagian lagi untuk memperkuat, dan menegaskan pandangan/harapan mereka yang suram. Menurut temuan Snyder, disini orang lari ke TV adalah dalam upaya untuk mendapatkan bukti-bukti (informasi) yang membenarkan skemata mereka.
Pada saat hendak memahami penggunaan teori skemata terhadap efek dari media, ada dua isu yang akan tampil. Pertama, berkenaan dengan cara bagaimana skemata tertentu mempengaruhi tentang apa-apa yang akan dipercayai dari media. Kedua, berkenaan dengan cara bagaimana media mempengaruhi perkembangan skemata. Dikhususkan pada pendidikan, maka pertama-tama yang ditanyakan adalah, bagaimana pendidikan sebelumnya mempengaruhi cara merspon berikutnya terhadap media, dan kedua, bagaimana respon terhadap media mempengaruhi belajar berikutnya. 
Sesuai dengan paradigma komunikasi pada umumnya, maka komunikasi punya efek terhadap si penerima. Media secara berangsur-angsur meningkatkan pengetahuan, dan opini. Bila meteri yang dipresentasikan oleh media cocok dengan skemata yang telah ada, dan dapat dengan mudah diasimilasikan ke dalamnya.
Dari berbagai penelitian, Salomon menyimpulkan perubahan skemata oleh media terjadi dengan tiga cara. Pertama, media dapat mengubah skemata jika skemata tersebut lemah, tidak/belum terintegrasi dengan baik, terisolasi, tidak menonjol, tidak penting, ataupun belum berada dalam keadaan siap pakai (disebut perubahan naif). Kedua, media dapat mengubah skemata meskipun skemata itu bersifatesensial, menonjol, penting, serta terintegrasi dengan baik, apabila skemata tersebut belum cukup berkembang untuk menggarap suatu kejadian yang baru sehingga dengan demikian dilaksanakan yang disebut proses epistemik (yaitu proses mencari informasi). Ketiga, media dapat mengubah skemata, tidak peduli apakah skemata tersebut esensi, menonjol ataupun telah berkembang, yaitu dengan jalan mengekspos media terhadap orang-orang secara sistematis, terus-menerus, dan konsisten, sehingga memudahkan mereka mengasimilasi pesan-pesannya (dinamakan perubahan sebagai efek berulang).

1)   Perubahan Naif
Perubahan naif dibedakan menjadi dua istilah, yaitu :
a.    Eksplorasi
Proses eksplorasi adalah khas untuk anak-anak kecil, dimana disini dipandu oleh kemenonjolan stimuli (misalnya yang muncul secara tiba-tiba; perubahan program TV misalnya dari hiburan ke komersial).
b.    Pencarian (search)
Pencarian diarahkan oleh pengujian hipotesis yang terkontrol, serta dengan pertimbangan-pertimbangan seperti relevansi serta keberinformasian.
Pemprosesan disini lebih bertipe dari bawah ke atas (bottom-up) yang dimulai dengan stimuli, berkembang maju melalui sejumlah level interpretasi, sampai si anak puas dengan makna yang diperoleh.

Untuk anak-anak yang lebih tua, proses lebih bersifat dari atas ke bawah (top-down), dan lebih kuat dipandu oleh harapan-harapan mereka, hipotesis-hipotesis, terkaan-terkaan, yang semuanya ini diistilahkan dengan pencarian. Salomon, yang disimpulkannya dari coffe & Drum, menegaskan bahwa kedua proses ini mempengaruhi proses membaca dalam sekuensi perkembangan, bermula. Dengan proses bottom-up, dan berkembang ke yang lebih bersifat pencarian (top-down).
Perubahan naif, ditegaskan oleh Salomon, tidak hanya terjadi pada skemata yang masih miskin lalu dibombardir dengan presentasi media yang terakumulasi dengan baik serta dengan isi yang baru bagi anak. Perubahan naif mempunyai Kans untuk terjadi ( disamping kelemahan skemata), adalah apabila materi yang disampaikan diperlakukan sebagai hanya bersifat informatif, dan bukan bersifat adanya maksud-maksud tertentu, misalnya persuasi.   Bagaimana pun kenaifan anak, termanifestasi antara lain dari kesulitan mereka dalam melihat tanda-tanda adanya maksud didalamnya, serta kesulitan untuk membedakan mana yang fakta, dan mana yang fiksi dalam acara TV.
Hal yang sama dapat juga terjadi pada orang dewasa. Pertama, perubahan skemata dapat terjadi jika seorang dewasa berhadapan dengan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan media yang bagi mereka baru sama sekali, masih bisa dimengerti tapi belum ada skemata yang berkembang baik untuk dapat dipakaikan terhadap informasi tersebut. Kedua, perubahan naif dapat terjadi jika peristiwa-peristiwa yang ditemui dalam media, dipersepsikan lebih bersifat informatif daripada dipersensi untuk mempengaruhi audiens.

2)      Perubahan Epistemik
Perbedaannya dengan perubahan naif adalah, perubahan epistemik terjadi jika skemata telah relatif berkembang dengan baik, namun belum memadai untuk berhubungan dengan kejadian-kejadian yang baru. Proses ini terjadi pada saat seseorang mengalami ketidakcocokan diantara berbagai skemata, atau antara skemata yang masih belum berkembang baik, dan bila pilihan tidak dapat dilakukan tanpa adanya informasi baru.
Apabila orang menghadapi ketidakpastian dalam bidang pengetahuan, orang akan mencari pemecahannya melalui proses epistemik. Misalnya menurut pengetahuan umum Anda, anak-anak kalau diajar oleh guru yang cerdas, dan berbakat orator, prestasi akademik mereka tentu akan baik.
Berbeda dengan perubahan naif, di sini pencarian dipandu oleh tujuan yang jelas (jadi pencarian informasi yang berorientasi tujuan, bukan yang sekedar tergantung pada stimuli). Ini biasanya diarahkan oleh setidaknya dua jenis skemata. Pertama, adalah satu set yang spesifik dari skemata yang tidak berhasil memberikan/mengadakan informasi yang diperlukan. Kedua, adalah suatu jenis skemata yang bersifat/ bertipe super ordinat yang mengontrol pencarian, dan pengambilan informasi, dan yang memberi/menetapkan bobot pada informasi yang dikumpulkan, serta mempertahankan konsistensi antara informasi baru dengan yang telah ada (tersimpan) sebelumnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan perubahan epistemik oleh karena, pencarian informasi ditentukan lebih besar oleh adanya tujuan yang jelas/sengaja (suatu pencarian diarahkan tujuan) daripada hanya disebabkan oleh kemiskinan skemata.

3)      Perubahan sebagai efek berulang (Drip Effect)
Berbeda dengan perubahan naif dan perubahan epistemik, pada perubahan efek berulang ini, perubahan terjadi semata-mata akibat ekspose yang berulang dari pesan-pesan yang relatif baru, namun yang secara umum dapat dipahami. Salomon menegaskan, mungkin sekali informasi itu diasimilasi, dan akan menjadi bagian dari skemata antisipasi (artinya orang tersebut menjadi familiar dengannya). Ini berikutnya memandu orang tersebut untuk ekspose lebih lanjut dengan isi yang sama, sehingga memberikan kesempatan untuk penyerapan bersambung dari materi yang sama.
Secara empiris pada dasarnya sulit memisahkan perubahan drip effect dari perubahan naif, dan perubahan epistemik.
Salomon menyimpulkan bahwa, sekedar ekspose terhadap presentasi media dapat pertama-tama membawa seseorang menyukainya, lalu selanjutnya menyebabkan dia paham (familiar) akan hal tersebut, dan akhirnya ini memfasilitasikan untuk mendapatkan informasi baru.
Suatu implikasi penting dari teori skemata terhadap isu seputar ekspose terhadap media, adalah adanya pengaruh yang bersifat sirkuler. Belajar dari media (memahami mendapatkan persepsi-persepsi baru tentang berbagai agenda sosial) menjadi bagian dari skemata antisipatori seseorang, yang kemudian digunakan untuk mengasimilasikan isi-sis lainnya dari media, dan juga kejadian-kejadian lainnya yang bersifat non media.
Salomon memberikan beberapa penekanan. Pertama, perubahan naif adalah yang paling kuat, oleh karena itu cenderung untuk lebih menuai/menghadirkan skemata baru, daripada hanya mengubah skemata yang telah ada, dan yang telah berkembang baik. Di pihak lain, perubahan epistemik adalah yang paling lemah, oleh karena ia mengubah skemata yang telah ada, dan terpakai untuk keperluan-keperluan informasi khusus. Informasi epistemik yang diperoleh cenderung untuk ditimbang, dan disanding dengan informasi yang telah ada. Tetapi kemudian efek dari media, besarnya tergantung kepada apakah yang berubah itu pandangan yang bersifat umum, opini, atau satu penggal yang spesifik dari pengetahuan atau keterampilan.
Skemata antisipatori mempengaruhi efek dari media (ini terlihat lebih besar pada perubahan epistemik, dan kurang dalam perubahan naif, dan efek berulang), tetapi pada saat yang sama skemata ini akan tunduk terhadap efek tersebut.

2.    Skemata dan Proses Pembelajaran
Satu lagi paradoks dari skemata adalah pada saat ia dihubungkan dengan proses belajar mengajar di sekolah. Belajar dari media massa berbeda dengan belajar dalam kelas. Pada media massa, ada kebebasan dalam memilih, menginterprestasikan, dan mengasimilasi informasi. Dalam kelas materi pengetahuan sengaja dirancang dan dipilih sehingga para siswa mendapatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan yang digariskan oleh kurikulum.
Dari sejumlah studi yang dilakukan berkenaan dengan skemata, dan pembelajaran, Salomon menyimpulkan adanya dua isu penting. Pertama, adalah bahwa, perspektif siswa, kemampuan, serta kecenderungan mereka, akan menentukan bagaimana mereka memperlakukan informasi yang disampaikan kepada mereka serta bagaimana hal itu disimpannya. Kedua, skemata siswa sangat rentan terhadap arahan yang dapat menyebabkan suatu skemata tertentu lebih d sukai dari yang lain, lalu dipergunakan/dipakai terhadap materi-materi dalam berbagai kejadian.
Satu hal yang paling penting untuk memaksimalkan belajar, para pendidik harus membantu siswa menaplikasikan skemata-skemata khusus mereka terhadap materi pelajaran yang akan dipelajari. Ausebel, ditegaskan Salomon, dari hasil studinya menemukan sesuatu yang diistilahkan “Advanced Organizer, (AO). AO adalah materi pengenalan yang bersifat pantas, relevan, dan inklusif, di perkenalkan kepada siswa sebelum proses belajar dilakukan, dan diberikan dlam tingkat yang lebih tinggi dalam hal keabstrakannya, generalisasinya, dan keinklusifannya. Fungsinya adalah untuk memberikan sangkutan ide/fikiran (ideational scaffolding) untuk dapat terjadinya penyerapan materi pelajaran/pengetahuan yang lebih rinci, dan terdiferensiasi. AO dapaat berbentuk judul buku, headline, ataupun abstrak ringkas di bagian awal artikel-artikel jurnal. AO dapat berfungsi sebagai skemata superordinat yang amat berharga, yaitu ia mengasimilasi informasi baru yang bersifat hipotetik, seolah-olah informasi tersebut bersifat faktual.
Ditegaskan Salomon, isu yang berkenaan dengan persoalan mengajar, dan belajar adalah bahwa impresi, pendapat dan pengetahuan yang telah dimiliki sebagai hasil dari proses pembelajaran, dan yang berperana sebagai skemata antisipatori untuk suatu materi baru, tidaklah mudah diganti dengan skemata alternatif (lainnya). Maka skemata superordinat yang memahami bahwa orang lebih dikendalikan oleh bawaannya daripada dipengaruhi oleh faktor yang bersifat situasional, skemata yang tahu bahwa kejadian-kejadian ini selalu tersusun secara linear dalam rantai sebab akibat, atau orang yang faham betul akan basis desimal dari matematik tidak akan secara mudah memberi peluang pada guru untuk memberikan skemata berbeda dengan itu (alternatif) kepada siswa.
Pemanfaatan skemata koordinat pada taraf-taraf awal dapat memberikan hasil pendidikan yang diinginkan, kemudiannya skemata tersebut dapat saja dipergunakan dengan cara yang kurang diharapkan, sementara modifikasinya menjadi sulit. Yang paling penting adalah meskipun skemata superordinat yang dipelajari dapat menggaet banyak informasi baru secara mudah sehingga membantu proses pendidikan, skemata demikian juga membatasi proses epistemik, dan kemungkinan menguji alternatif lain untuk menggarap informasi. Disini munculah suatu paradoks : pendidikan tidak mungkin dapat menghindari pemabfaatan skemata superordinat, namun skemata ini juga dapat membatasi perkembangan pendidikan berikutnya. Cara untuk keluar dari paradoks ini adalah mengikuti adanya perbedaan antara dua level perubahan, yaitu level tingkat pertama, dan level tingkat kedua (firts order, dan second order) seperti telah dikemukakan di depan. Cara pertama adalah melakukan perubahan tingkat pertama, sehingga demikian terubahlah kekuatan relatif atau keesensian suatu skema atau lainnya, tetapi tidak mengubah isi ataupun hubungan-hubungannya dengan skema lain. Cara berikutnya adalah memanfaatkan skema alternatif (lainnya), lalu melatih pengaplikasikannya secara bergantian (saling dipertukarkan) terhadap materi yang sama. Ada cara berbeda namun semuanya valid dalam memakai/ memahami berbagai hal.



3.    Skemata dan Kontak Interpersonal
Telah dikemukakan bahwa, persepsi, dan komunikasi interpersonal sangat kuat dipengaruhi olehisi dari skemata antisipatori dari para partisipan. Dapat dikatakan bahwa, tidak pernah ada kontak interpersonal yang terbebas dari skemata antisipatori, sebagaimana tidak akan pernah ada mata telanjang. (naked eyes) maupun persepsi yang naif.
De Vito (1982) melihat komunikasi interpersonal dengan pendekatan perkembangan, menegaskan bahwa komunikasi akan bergerak secara kontinum dari yang bersifat impersonal di ujung sini, ke arah interpersonal di ujung sana. Pada ujung impersonal, aturan-aturan berperilaku dalam interaksi diturunkan dari norma-norma sosial. Pada saat hubungan semakin dekat, dimana interaksi menjadi bersifat interpersonal, maka perilaku akan dipandu oleh pengetahuan mengenai satu sama lain, yang biasa disebut “explanatory knowledge”. Bagaimanapun, semenjak terjadinya kontak (dimana interaksinya bersifat impersonal) sampai terbangunnya hubungan (interaksinya bersifat interpersonal), perilaku para partisipan dipandu oleh skemata antisipatori. Perbedaannya adalah, pada level impersonal skemata antisipatori tersebut diturunkan dari norma sosial, pada level interpersonal skemata antisipatori dibangun oleh pengetahuan mengenai keunikan masing-masing (yang berkembang selama interaksi).
Skemata antisipatori yang mempengaruhi kontak interpersonal dapat berbagai jenis. Satu skemata yang lebih dominan cendrung mengarahkan kita untuk mengabaikan faktor-faktor situasional dalam mengatribusi penyebab faktor-faktor situasional dalam mengatribusi penyebab dari tingkah laku orang lain 9tapi tidak terhadap kita), dan melebih utamakan faktor watak/disposisi sebagai penyebabnya. Skemata lain yang berperan dalam kontak interpersonal adalah stereotype: jenis kelamin, prototip watak, label-label konsensual, dan juga skemata yang berdasarkan pada pengalaman-pengalaman khusus.
Ditegaskan Salomon (Abizar, 2008:78), hal yang umum ada pada berbagai jenis skemata interpersonal adalah cara skema-skema itu berperasi. Pertama, skemata ini menyampel, mengelompok-kelompokkan, atau memberi tanda perilaku orang lain sesuai dengan kognisi awal. Sekali perilaku-perilaku tersebut digolong-golongkan atau disampel, perilaku-perilaku tersebut memasuki proses interpretasi ang oleh Weick (1979) disebut pemaknaan. Interprestasi-interprestasi demikian mengindikasikan penyebab-penyebab perilaku, lalu menentukan apa  yang dapat kita harapkan pada orang-orang, atas dasar indikasi-indikasi tersebut.
Dari sejumlah temuan, Salomon menggeneralisasikan bahwa, harapan-harapan yang ditentukan oleh skemata (yaitu persesi-ipersepsi, harapan-harapan yang bersifat kognitif), akan bertindak dalam bentuk tingkah laku-tingkah laku khusus yang diarahkan pada orang lain. Misalnya, guru cendrung untuk mengabaikan komentar-komentar dari siswa-siswa yang menurut ekspektasinya adalah berkemampuan rendah, tetapi sangat aktif merespon siswa-siswa yang menurut ekspektasinya berkemampuan tinggi. Dari banyak penelitian mengenai hubungan antaraskemats antisipatori (guru) dengan efeknya terhadap perilaku guru maupun siswa-siswa, ternyata hanya sebagian saja yang hubungannya signifikan. Babad (dalam Salomon) menegasakan, perlu dibedakan dua hal, yaitu faktor sugestabilitas (seberapa jauh orang mengizinkan informasi baru yang diperolehnya mempengaruhi skematanya yang telah ada), dengan faktor komunikabilitas (seberapa jauh orang mengkomunikasikan harapan-harapannya yang telah terbentuk). Dalam hal ini, sugestabilitas adalah keharusan, namun belum memadai dimana informasi baru membawa seseorang untuk berperilaku yang akan mempengaruhi orang lain. Apabila kedua kondisi, sugestabilitas dan komunikabilitas tersebut terabaikan, akan bisa menjadi penyebab kenapa efek dari ekspektasi tidak kelihatan dalam banyak kajian.

Dari kajian Babad, Salomon menyimpulkan:
1.    Harapan-harapan seseorang mengenai orang-orang lain, jarangyang berkembang hanya dalam satu kali usaha, tetapi berkembang berangsur-angsur secara spiral, dan berubah pelan-pelan sebagai hasil dari kontak interpersonal yang selanjutnya dibentuk oleh ekspektasi-ekspektasi.
2.    Harapan jarang sekali dikomunikasikan secara eksplisit. Temuan Minor, seperti yang dikemukakan oleh Salomon, bahwa siswa-siswa yang peduli dengan evaluasi yang dilakukan oleh guru mereka, akan bertingkah laku sesuai dengan sebagaimana guru mengharapkan mereka berperilaku.
Siswa-siswa yang tidak peduli dengan evaluasi guru, tidaklah terpengaruh oleh harapan-harapan (guru) ini, artinya, siswa-siswa tipe pertama (peduli dengan evaluasi) mendekteksi isyarat-isyarat harapan guru, dan merespon sesuai dengan harapan tersebut, Tetapi siswa-siswa tipe kedua (tidak peduli evaluasi) tidak berperilaku demikian.
Tingkah laku-tingkah laku spesifik, misalnya tindakan-tindakan guru, tidak lebih dari data mentah yang harus dimaknai siswa atas dasar skemata antisipatori mereka. Temuan Robouts, dan Machr, yang disampaikan Salomon, siswa-siswa berkulit hitam ( di USA) yang berpredikat cerdas (berbeda  dengan siswa berkulit putih berpredikat sama) mendapatkan manfaat yang kurang dari perilaku guru yang berkulit putih, dibanding dengan yang diterima siswa berkulit hitam yang normal/biasa-biasa ( hal yang berlawanan terjadi pada  siswa berkulit putih).
Maka yang dapat diambil sarinya dari gejala-gejala di atas adalah, harapan-harapan dapat saja terkomunikasikan lewat tindakan-tindakan, tetapi bagaimana sifat serta maknanya diterima tergantung pada harapan si penerima. Harapan-harapan siswa diterjemahkan kedalam tingkah laku, dialamatkan kepada guru, dan mempengaruhi harapan-harapan, dan tingkah laku guru. Dengan demikian, tingkah laku seluruh unsur dalam interaksi akan bersifat diarahkan oleh skemata, dan akan mempengaruhi masing-masing secara interdependen. Telah dikemukakan bahwa siswa-siswa bereaksi terhadap perilaku guru sebagai fungsi (akibat) dari maksud, dan makna yang terindikasi dari guru-guru mereka tersebut. Kedua persepsi pertama (bersifat komunikasional, dan bermaksud untuk mengubah) dicurigai bersifat bias, dan bersifat memuaskan diri (self serving) sehingga menimbulkan tolakan.
Kini kita mempunyai alasan untuk percaya, demikian Salomon, bahwa tingkah laku terhadap orang lain yang dipandu oleh penilaian, dan harapan-harapan negatif. Telah ditegaskan bahwa, semakin besar tingkah laku-tingkah laku intervensi dipersepsikan berupa pesan-pesan bersifat personal yang dimaksudkan merendahkan martabat, maka akan semakin kecil kemungkinan hal tersebut akan menurunkan harga diri/konsep diri/rasa mampu diri seseorang. Sebab orang cendrung menolak pesan-pesan yang bersifat personal, bagaimana tindakan-tindakan yang dipersepsikan menyampaikan informasi yang bisa dipercaya, dapat lebih mudah menjadi self fulfilling prophecy daripada tindakan-tindakan yang dipersepsikan sebagai bermaksud untuk mengubah.
Sifat sirkulasi akan terjadi jika tindakan-tindakan untuk mengubah perilaku orang membuat mereka setuju dengan harapan tersebut. Ini sepertinya cendrung untuk terjadi bila harapan-harapan negatif dikomunikasikan, dan dipersepsi hanya untuk sekedar menyampaikan informasi, dan bila harapan-harapan positif dipersepsi mempunyai maksud untuk mengubah. Mempercayai adanya sirkularitas, kita perlu mempostulatkan satu dari kedua kemungkinan tersebut. Satu adalah bahwa harapan-harapan, dan tingkah laku yang diarahkan oleh skema, akan mengarahkan orang lain untuk bertingkah laku seperti yang diharapkan, sehingga memperkuat harapan tersebut. Kedua kemungkinan diatas, merefleksikan interaksi level-3. Kasus pertama adalah suatu lingkaran tertutup (closed-loop), dimana harapan-harapan yang mungkin terbentuk oleh pertemuan-pertemuan masa lalu dengan orang lain, sekarang mampir untuk membentuk tingkah laku orang lain sesuai dengan harapan. Pada kasus kedua, tingkahlaku-tingkah laku orang lain, daripada mengikuti harapan, malah mengubah (harapan) mereka, sehingga terujudlah lingkaran yang bersifat spiral.
Skemata yang membantu mengembangkan harapan-harapan di sekolah hanya sebagian saja yang berasal dari pengalaman. Karakteristik dari seting pendidikan (dan seluruh seting organisasi umumnya) yang dikembangkan, diolah, dan ditransfer serta ditanamkan dalam skemata anggota-anggotanya disebut skrip atau peta sebab (cause map). Tujuannya adalah untuk mengurangi ketidakpastian, untuk memberikan interpretasi-interpretasi yang siap pakai, untuk menentukan apa yang cocok dengan apa, dan apa yang membantu pada apa.
Karakteristik lainnya dari organisasi pendidikan adalah bahwa, organisasi ini bersifat “berpasangan longgar”, (loosely coupled). Misalnya, struktur sekolah tidaklah berhubungan dengan kegiatan yang dilakukan di sana, juga kegiatan tidaklah berhubungan dengan hasil, dan efeknya. Cukup menarik pula, kegiatan-kegiatan pendidikan dalam mana dijumpai pasangan-pasangan yang erat kaitannya (tight-coupled) kenyataannya bersifat marginal, misalnya sertifikasi dan pensekuensikan kurikulum secara umum.
Salomon mengemukakan temuan Mayer dkk.(1978) mengenai peran yang amat besar dari konsensus institusional di antara guru, dibanding dengan peran kontrol organisasi secara formal. Ditegaskan mereka bahwa, proses yang mempersatukan organisasi-organisasi pendidikan, dan memberi organisasi-organisasi tersebut makna, dan nilai, bukanlah sistem tapi adalah konsensus struktural terhadap aturan-aturan institusional umum yang berlaku. Satu fungsi dari konsensus-konsensus sekolah adalah untuk meningkatkan kemungkinan keterampilan tingkah laku-tingkah laku oleh guru. Weick (1979) yang dikutip Salomon menyatakan, aturan-aturan, dan prosedur-prosedur yang diperkenalkan sebagai sarana untuk pencapaian tujuan, kini menjadi tujuan itu sendiri. Sering terjadi, guru memberlakukan disiplin sebagai tujuan, bukanlah (lebih dari) sebagai sarana untuk meningkatkan prestasi belajar anak. Ada alasan untuk mempercayai bahwa sebagian melalui kontrol organisasi, dan sebagian besarnya melalui konsensus, guru-guru secara berangsur-angsur menjadi tersosialisasi untuk menggunakan skemata yang esensi terhadap berfungsinya sekolah dan siswa-siswapun demikian.
Skemata yang disebutkan adalah amat esensi bagi suatu organisasi, terutama sekali pada organisasi yang bersifat pasangan longgar seperti lembaga pendidikan sekolah, skemata tersebut memberikan ruang gerak yang cukup besar bagi validasi diri.. Ternyata, semakin esensi skemata tersebut bagi organisasi, skemata tersebut akan semakin kecil kemungkinannya untuk diabaikan, ia betul-betul menjadi “benda nyata”. Dengan demikian, tegas Salomon, akan sangat besar kemungkinan bahwa harapan guru, terutama bila hal tersebut berasal dari skemata konsesus yang esensi, akan mendominasi interaksi guru dan siswa, akan mengubah skemata mengenai diri dari siswa beserta tingkah laku mereka, dan akhirnya akan menjadi self fulfilling prophecy.
Dalam dunia pendidikan, misalnya di USA, dikenal istilah ketidak beruntungan sosial (culturally disadvantaged= C.D). Label C.D menjadi skema konsensus inklusif yang menyeluruh mudah dipahami ternyata membuang banyak ketidakpastian, dan mempunyai kekuatan prediktif yang luas. Yang amat penting adalah label/predikat C.D ini menempatkan siswa-siswa kedalam peran yang bersifat inferior, yang dapat melahirkan/membentuk ketidakberdayaan yang justru digerakkan oleh diri sendiri, walaupun siswa-siswa tersebut belum pernah berpengalaman yang bersifat negatif.
Persoalannya adalah, apakah predikat C.D mengarah pada self fulfilling propecy? Salomon menegaskan, bahwa jawabannya adalah positif (ya), bila kita mengasumsikan bahwa skemata konsensus, tidak berhubungan dengan kejadian-kejadian yang bersifat eksternal, sementara justru faktoreksternal inilah yang membentuknya/menciptakannya. Dengan demikian, lebih dari hanya sebagai suatu self fulfilling propechy, predikat/label C.D menjadi self-sustaining prophecy.
 Kesimpulan yang dapat diambil adalah, seluruh skemata, baik personal maupun konsensus, akan menjadi self-fulfilling prophecy atau setidaknya menjadi self sustaining prophecy. Sehubungan dengan itu, Salomon mengemukakan temuan Luce dan Hoge (1978) bahwa, dalam konteks kelas, intelegensi siswa berperan setidaknya sebesar peran dari harapan guru dalam memprediksi prestasi siswa. Lalu, kesimpulan lebih lanjut adalah, semakin besar suatu sistem, akan semakin besar pula terjadinya kejadian-kejadian yang akan dipersepsikan sebagai pesan yang bersifat informatif netral daripada pesan yang bertujuan komunikasional (bermaksud mengubah).
Skemata yang bersifat berskala sistem punya kesempatan yang lebih besar untuk dianggap rill atas dasar hubungannya yang lebih longgar dengan peristiwa-peristiwa harian, bersifat faktual, keterpakaian yang luas, serta mempunyai posisi yang bersifat super ordinat, dan esensi dalam hirarki konsensual dari skemata. Mengubah skemata demikian (yaitu yang  berskala sistem) dapat membawa perubahan dalam keseluruhan peta sebab (cause map) organisasi. proposisi selanjutnya adalah, semakin bersifat interpersonal suatu kontak, akan semakin dapat diharapkan perubahan dari skemata yang bersifat spesifik. Kesimpulannya adalah bahwa, harapan-harapan yang berdasarkan atas skemata, mengambil bagian dalam interaksi timbal balik. Ada dua hal faktor yang berkontribusi terhadap lingkaran tertutup (closed loop) ini dalam seting pendidikan: pertama, keesensian konsensus dalam organisasi pendidikan yang bersifat pasangan longgar, dan hubungan yang bersifat komplementer (tidak simetris) dalam seting seperti itu. dipihak lain, lebih banyak harapan-harapan yangdidasarkan atas pengalaman yang berkembang dalam kontan harian dengan orang lain (yang juga punya harapan-harapan sendiri) lebih mudah/cendrung merespon terhadap informasi yang tidak memperkuatnya, karena hubungan personal yang menyebabkan skemata mereka lebih banyak berakomodasi satu sama lain.
Menyimpulkan kedua jenis komunikasi (bermedia dan interpersonal) dalam kerangka hubungan antara skemata dan pendidikan, akan dikemukakan beberapa hal berikut. Terdapat kesamaan besar antara cara bagaimana skemata beroperasi dalam seting interpersonal dengan cara bagaimana ia beroperasi terhadap ekspose media, dan terhadap belajar. Pada masing-masingnya skemata yang lebih tinggi secara hierarki dan juga lebih esensi, bersifat rentan terhadap pengaruh luar, sementara kejadian-kejadian eksternal yang dipersepsi bersifat informatif, dan bukan bersifat komunikasional, mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mengubah skemata. Tetapi, skemata mempunyai peran khusus dalam domain interpersonal, sepanjang skemata tersebut memandu tingkah laku yang secara nyata membentuk tingkah laku orang-orang lain untuk menyesuaikan diri pada harapan-harapan kita.














BAB III
PENUTUP
Skemata dapat lebih spesifik, atau lebih umum (Skemata lebih luas dan lebih umum memuat didalamnya skemata-skemata yang lebih kecil dan dangkal, di dalam suatu struktur yang bersifat hierarkis.
Komunikasi terjadi ketika kejadian diberi makna simbolik, dan ketika maksud berkomunikasi dari si sumber, terlihat indikasinya.
Implikasi penting dari teori skemata terhadap isu seputar ekspose terhadap media, adalah adanya pengaruh yang bersifat sirkuler. Belajar dari media menjadi bagian dari skemata antisipatori seseorang, yang kemudian digunakan untuk mengasimilasikan isi-isi lainnya dari media, dan juga kejadian-kejadian lainnya yang bersifat non media.
Hal yang paling penting untuk memaksimalkan belajar, para pendidik harus membantu siswa menaplikasikan skemata-skemata khusus mereka terhadap materi pelajaran yang akan dipelajari.
Terdapat kesamaan besar antara cara bagaimana skemata beroperasi dalam seting interpersonal dengan cara bagaimana ia beroperasi terhadap ekspose media, dan terhadap belajar.





DAFTAR PUSTAKA

Abizar. 2008. Interaksi Komunikasi dan Pendidikan. Padang: UNP Press.
Effendy, Onong Uchjana. 2005. Komunikasi – Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2002. Komunikasi-Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suparno. 1967. Filsafat Konstruktivisme dalam pendidikan. Jakarta: Kanisius.
Yusuf, PM. 2009. Ilmu Informasi, Komunikasi, dan Kepustakaan. Jakarta: Bumi Aksara.





                                                                                     








No comments:

Post a Comment