A.
LOOP DAN
SPIRAL
Akomodasi informasi dalam suatu
komunikasi akan banyak ditentukan oleh kekuatan relatif skemata penerima informasi
dan bagaimana pesan tersebut disampaikan. Orang akan bersedia menerima suatu
informasi sampai batas tertentu dari besarnya perbedaan antara pesan dengan
kekuatan skemata antisipatorinya. Sebagaimana yang dikemukakan Salomon, bahwa
penentu utama dari pengetahuan yang dapat diperoleh seseorang, adalah justru
pengetahuan yang telah dimilikinya. Implikasinya adalah, bahwa komunikasi tidak
akan terjadi bila skemata seseorang tidak memberikan atribusi dari indikasi
makna simbolik dan maksud berkomunikasi dari si sumber informasi.
Dalam dunia pendidikan, hubungan
antara komunikasi dengan pendidikan adalah bersifat timbal balik (interaktif).
Komponen-komponen utamanya adalah bawaan personal (personal disposition),
atribusi maksud dan makna. perilaku-perilaku berkomunikasi, dan hasil
pendidikan. Sementara itu, pengaruh dari pesan-pesan dalam komunikasi. sangat
tergantung pada bagaimana orang menginterpretasikan pesan tersebut. Artinya,
komunikasi adalah satu konsekuensi dari atribusi, sementara atribusi adalah
konsekuensi dari komunikasi sebelumnya. Proses ini akan. selalu terjadi
berulang-ulang membentuk suatu siklus yang bersifat sirkuler (loops), baik
tertutup maupun spiral.
Sebahagian loop bersifat destruktif
/ lingkaran setan (vicious) dan sebahagiannya bersifat konstruktif (virtous).
Loop berbentuk lingkaran tertutup bersifat destruktif. Loop yang bersifat
vicious ini dicontohkan dengan anak-anak yang memiliki konsep diri rendah
memilih tempat duduk di sudut belakang ruang kelas yang memungkinkan mereka
tidak terlibat dalam kegiatan proses belajar mengajar tertentu. Pesan-pesan
relasional yang diarahkan kepada mereka ditafsirkan memiliki makna yang
bersifat merendahkan mereka; akibatnya adalah mereka tetap mempertahankan
konsep diri mereka dan terperangkap dalam proses self sustaining prophecy yang
bersifat destruktif. Sebaliknya loop berbentuk spiral bersifat konstruktif
(virtous) dicontohkan dengan adanya hubungan saling ketergantungan anak-anak
dalam kelas yang dapat menuju kepada keintiman; lalu hubungan yang lebih intim
ini mengakibatkan kontak yang lebih dekat lagi, dan seterusnya.
Pengalaman-pengalaman keberhasilan menggarap suatu tugas akan meningkatkan rasa
mampu diri, dan rasa mampu diri yang telah tertingkatkan ini akan lebih
meningkatkan AIME.
B.
LOOPS TERTUTUP
Loops dikatakan tertutup bila
rangkaian kejadian selalu berulang dan tidak akan mengalami perubahan jika
tidak dihentikan atau diputuskan. Sekali loop tersebut mulai bergerak, kejadian
yang memulai/mengawalinya dapat menjadi menjauh saat loop berjalan secara
otomatis (self-sustain). Dicontohkan, harapan kita bahwa seseorang akan
bersifat ekstravers, menyebabkan kita (orang yang berekspektasi) berusaha
mencari dan mendapatkan bukti-bukti yang membenarkan ekspektasi tersebut, dan
malah membentuk perilaku orang tersebut menjadi sesuai dengan ekspektasi kita.
Sebab-sebab semula dari adanya ekspektasi (misalnya pengalaman, streotip
bersama) secara berangsur-angsur menjadi tidak relevan lagi ketika loop
berjalan dengan kekuatan/mekanismenya sendiri (self- sustaining).
Ada dua jenis loop tertutup;
Pertama, loop perseptual, yaitu bila ekspektasi seseorang tehadap sesuatu,
membentuk atau mengarahkannya dalam menyampel ( mana yang akan diambil atau
diabaikan) dan menginterpretasikan informasi yang dihasilkan orang dalam
perilakunya. Di sini skemata tidak mudah berakomodasi terhadap pengalaman.
Kedua, loop reaktif, yaitu bila stimuli cenderung dapat merubah sifat dari loop
perseptual, lalu membuatnya lebih reaktif. Di sini ekspektasi seseorang
mempengaruhi orang lain untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi orang
tersebut.
Salomon dengan mengutip pernyataan
Mirton mengungkapkan dua kondisi yang harus dipenuhi yang membua ramalan
(prophecy) dipenuhi sendiri (self-fulfill), yaitu: Pertama adalah ekspektasi
yang salah (walaupun dalam kenyataan, ini bukan merupakan kondisi yang wajib).
Kedua adalah objek dari ekspektasi tersebut mulai bertingkah laku dengan cara
baru (wajib bagi self-fulfiling prophecy, tetapi tidak untuk self-sustaining
prophecy).
C.
LOOP BERESKALASI
Dalam kasus self-fulfilling
prophecy, ekspektasi seseorang atau perilaku orang lain, atau kedua-duanya
dapat berubah secara berangsur-angsur karena adanya hubungan timbal balik yang
bersifat spiral. Disini prilaku seseorang diperkuat oleh ekspektasi orang lain
atau sebaliknya ekspektasi orang lain dapat diubah dengan perubahan prilaku.
Dengan demikian, sifat loop tertutup relatif tidak stabil. Ketidakstabilan loop
ini menyebabkan mudah berubahnya loop kedalam loop bereskalasi. Dimana,
hubungan timbal balik antara ekspektasi orang lain dan prilaku si objek, tidak
berubah dalam esensinya tapi berubah dalam besarnya (magnitude).
Menurut Weick (1979), timbulnya loop
bereskalasi dapat dilihat dari set-set hubungan antar variabel yang bersifat
positif atau negatif. Dimana, loop dapat bereskalasi bila terdapat bilangan
genap dari hubungan-hubungan negatif dalam satu loop, atau bila semuanya
positif. Sebaliknya, loop tidak akan bereskalasi bila terdapat hubungan negatif
yang jumlahnya ganjil.
Relevansi mekanisme loop bereskalasi
dalam dunia pendidikan adalah amat besar karenana; Pertama, pendidikan
kenyataannya mudah sekali terperangkap ke dalam loop bereskalasi, baik berefek
destruktif maupun berefek konstruktif. Kedua, intervensi komunikasi pendidikan
dapat mengintensifkan eskalasi spiral, dimana komunikasi tersebut direncanakan
memberikan pengetahuan, mengatasi berbagai kesulitan, memperkuat atau
memperlemah kecenderungan prilaku tertentu, atau untuk membangun pola saling
hubungan. Disamping itu, komunikasi pendidikan dapat pula melemahkan loop,
malah dapat memutuskan gerakan spiral.
Dalam teori perubahan dan
kebertahanan Waltzlawick, dkk (1974) dikatakan bahwa solusi dari suatu
kesulitan seringkali mengubah kesulitan tersebut menjadi masalah yang lebih
besar. Sementara pemecahannya dipertahankan oleh masalah, masalahpun
dipertahankan oleh pemecahannya. masing-masing pihak melihat pihak lainnya
sebagai stimulus dan dirinya hanya sebagai respon.Masing-masing pihak tidak
mampu melihat bagaimana tindakannya mempertahankan tindakan pihak lain. Sebagai
contoh, orang-orang yang mengalami depresi memerlukan semakin banyak hiburan,
anak-anak yang bermasalah memerlukan usaha perbaikan lebih banyak, Artinya,
masalah dan solusi menjadi interdependen dan meningkat (bereskalasi).
Menurut Waltzlawick, ada tiga
kondisi yang menimbulkan solusi menjadi independen dengan masalah dan saling
mengeskalasikan satu sama lain, yaitu: Pertama, loop terujud pada saat suatu
tindakan diperlukan tapi tidak dilakukan sama sekali; misalnya pada saat suatu
kesulitan ditolak sementara tolakan itu sendiri ditolak pula. Ini terjadi bila
(1) pengakuan akan permasalahan dilihat sebagai manifestasi dari sesuatu yang
jelek, dan (2) permasalahan yang memerlukan perubahan menjadi bertambah besar
akibat permasalahan yang tercipta oleh kesalahan penanganannya. Kedua, tindakan
dilakukan sedangkan seharusnya tidak dilakukan; dalam hal ini kesulitan tidak
dapat ditiadakan, sementara perlakuan itu sendiri membuat permasalahan menjadi
masalah yang lebih serius. Misalnya, semakin hebat kampanye anti rokok di
sekolah semakin ingin tahu mereka terhadap rokok maka semakin besar ruang
tempat murid mendongkol terhadap guru mereka. Ketiga, tindakan diambil pada
level yang salah. Misalnya, dari yang seharusnya mencoba mengubah konteks
interpersonal, orang berusaha mengubah sikap orang lain, apalagi kalau yang
akan diubah itu adalah disposisi dan kepribadiannya.
Eskalasi dari loop menurut Weick
(1979) dapat berakhir bila hubungan-hubungan di dalam loop saling menghentikan
atau seimbang, dan saling mengoreksi satu sama lain (pada hubungan-hubungan negatif
yang berjumlah ganjil), loop mempunyai mekanisme pengereman yang “built-in”.
Misalnya, orang dapat menghentikan loop yang bereskalasi dengan jalan
mempreskripsikan kepada siswa yang suka mengganggu bentuk baru dari gangguan
(jadi bukan menghukum), dengan demikian menimbulkan kekuatan yang melawan
(reaktan) dan tingkah laku tidak mengganggu yang sifatnya menyaingi.
D.
PENGARUH MEKANISME KOMUNIKASI TERHADAP SPIRAL
Berpengaruh atau tidaknya suatu
komunikasi terhadap terbentuknya loop bereskalasi tergantung kepada
atribusi(terlihat indikasi) dari maksud komunikasi. Bila dalam komunikasi
terindikasi adanya maksud mengontrol, unjuk kekuatan (power assertiveness),
atau pun maksud untuk mengubah prilaku, akan berpotensi untuk menimbulkan
penolakan (reaktan). Kekuatan yang bersifat reaktif (reaktan) ini dialami oleh
individu-individu yang merasa prilaku- prilaku yang semula berkebebasan,
terancam oleh tuntutan perubahan, dan ini mendorong mereka untuk berusaha
memulihkan kontrol mereka (kebebasan berprilaku). Sebagai contoh dapat kita
lihat pada hasil perlakuan Prasad (1978) terhadap sejumlah ibu yang menemani
anak-anak mereka yang menonton acara komersial mainan anak-anak di Televisi. Si
ibu menyampaikan informasi pada anak yang bersifat menentang (tidak menyukai)
acara komersial mainan anak-anak tersebut. Penentangan ini dilakukan dengan
memberikan alas an yang logis dan dengan cara mengekspresikan bahwa sebagai ibu
mereka punya kuasa untuk menilai (power assertiveness). Hasil yang diperoleh
membuktikan bahwa anak-anak yang diberi alasan masuk akal, sedikit yang membeli
mainan tersebut, sementara anak-anak yang dilarang secara “kuasa” meningkatkan
jumlah pembelian. Efek yang berbeda atas dua perlakuan ini, oleh Salomon
diterangkan bahwa, kedua kelompok pada dasarnya berbeda dalam maksud
berkomunikasi yang teridentifikasi oleh masing-masingnya. Anak-anak yang dapat
perlakuan “penalaran yang masuk akal” melihat indikasi bahwa maksud si ibu
adalah memberi informasi, sementara anak-anak dengan perlakuan “unjuk kuasa”
melihat indikasi bahwa si ibu bermaksud untuk mengontrol mereka. Maksud
mengontrol yang terindikasi itulah yang menimbulkan kekuatan untuk menolaknya
(reaktan).
Dari contoh di atas, dapat kita tarik
suatu hipotesis bahwa si ibu yang tidak senang dengan usaha mencegah anak
membeli mainan, akan meningkatkan power-assertiveness mereka. Sementara itu,
apabila anak-anak diberi kebebasan berprilaku, akan membalasnya dengan jalan
memaksakan diri mereka sendiri untuk berbuat demikian Artinya “unjuk kekuatan”
ibu dan anak akan berinterdependen dalam bentuk spiral yang bereskalasi.
Sedangkan perlakuan si ibu dalam bentuk alasan yang masuk akal, memberikan
indikasi adanya maksud sekadar menyampaikan informasi dari pada adanya maksud
mengubah. Dengan demikian, tidak terjadi reaktan. Komunikasi di sini mengubah
tingkah laku tanpa terjadinya interdependen dalam ujud suatu loop yang
bereskalasi.
Timbulnya loop bereskalasi dari
komunikasi yang terindikasi mengubah, dicontohkan dengan anggota-anggota
organisasi yang jarang menghadiri pertemuan disebabkan harus menopang kehidupan
rumah tangga. Mereka menyalahkan anggota-angota yang lebih aktif karena
menjadwalkan pertemuan terlalu sering. Mereka melihat indikasi dari anggota-anggota
aktif dalam pertemuan bermaksud untuk membiarkan mereka berada di
luar(terpinggirkan) malah mengasingkan mereka, serta melihat di dalam caranya
pertemuan dijadwalkan adanya pesan yang dimaksudkan untuk memaksa mereka
berpartisipasi lebih sering atau menjadi anggota terpinggirkan. Sekali mereka
melihat indikasi demikian, mereka mengeskalasikan loop lebih cepat. Loop ini
akan tereskalasi lebih cepat lagi bila anggota-anggota yang aktif melihat pula
adanya pesan dalam keabsenan anggota-anggota yang terpinggirkan tersebut.
Terindikasinya maksud-maksud untuk mengubah dalam komunikasi mendorong loop
untuk bereskalasi lebih cepat lagi.
Komunikasi juga berpotensi
menciptakan loop bereskalasi bila penerima pesan mengidentifikasi adanya motif
untuk dilayani (self-serving motive) dari si sumber komunikasi. Contohnya
adalah seorang anak perempuan yang dalam keadaan depresi yang dihibur oleh
orang lain. Bila dalam cara-cara menghibur teridentifikasi motif self-serving
orang lain, dan mungkin dapat menemukan buktinya dari cara-cara orang lain
menghiburnya, akan terbentuk loop perseptual. Bila cara-cara menghibur tersebut
diperkeras lagi, maka ia akan merasa lebih depresi dan menimbulkan spiral
bereskalasi
Implikasi dari tinjauan interaksi
komunikasi di atas terhadap dunia pendidikan adalah bahwa perlu adanya
kewaspadaan dalam berbagai pemecahan masalah agar tidak memperburuk
permasalahan yang hendak ditanggulangi. Isu-isu penting dalam dunia pendidikan
yang perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar antara lain; Pertama, adanya
komunikasi pendidikan yang teridentifikasi oleh siswa untuk mengubah hal-hal
yang mereka tidak mau diubah; atau perubahan yang dirasa merefleksikan adanya
motif melayani diri si pendidik. Dalam kondisi ini, reaktan jadi berkembang dan
dendam atau kejengkelan dapat terjadi, dan semakin banyak perilaku
berkejengkelan terjadi, akan berkembang pula loop yang bersifat destruktif.
Kedua, kuatnya skema yang bersifat konsensus memandu aktifitas dalam sistem
pendidikan; skemata konsensus ini oleh berbagai alasan susah untuk berubah
karena sistem pendidikan lebih banyak bersifat “pasangan longgar” sementara
sistem begini tidak mungkin beroperasi tanpa skemata konsensus, susah untuk
dihindari di sekolah untuk tidak akan berkembangnya loop perseptual dan self
sustaining prophecy. Peristilahan-peristilahan umum yang disepakati bersama
dalam dunia pendidikan telah mendefinisikan berbagai hal, misalnya peran-peran,
ekspektasi-ekspektasi, dan perilaku-perilaku yang akan menimbulkan realita
baru. Dalam hal ini siswa menjadi menyimpang, keras kepala, bermusuhan
justruadalah fungsi (akibat) dari label-label dan perlakuan guru dan konselor
sendiri, yang diujudkan sebagai respo terhadap perilaku menyimpang mereka.
E.
USAHA MEMUTUSKAN LOOP
Cara-cara komunikasi dalam
pendidikan akan memberikan hasil pendidikan tertentu, yang selanjutnya akan
berperan sebagai fondasi yang diharapkan dapat menciptakan jenis-jenis
komunikasi baru; yaitu komunikasi yang lebih bersifat kooperatif dan kurangnya
interaksi-interaksi yang berisi jebakan konflik. Bila hal ini tidak terujud,
maka akan terjadi hal yang sebaliknya, yaitu perselisihan yang bereskalasi,
menurunnya perhatian di dalam kelas, dan lainnya. Oleh sebab itu, pendidikan
tidaklah harus hanya sebagai korban atau pemeroleh manfaat dari loop komunikasi,
tetapi juga harus dapat
embantu siswa untuk belajar
menghindari loop yang destruktif dan membangun loop yang konstruktif.
Ada dua hal yang harus diperhatikan
dalam usaha membantu siswa dalam menghindari loop yaitu; Pertama, guru dan
siswa tidak hanya memecahkan permasalahan atau menghindari sesuatu loop yang
spesifik, tapi juga berusaha menemukan suatu strategi untuk menghindari loop
semacam itu dimasa depan. Kedua, strategi tersebut bersifat eksternal terhadap
loop riil yang hendak dihindari yang mengarah pada suatu perubahan dalam
struktur secara keseluruhan dari loop. Artinya, perkembangan yang bersifat
spiral dari konflik dan pemecahan-pemecahan yang tidak tepat, ataupun
perkembangan yang bersifat spiral dari hubungan antara kurangnya perhatian
siswa dalam belajar dengan tindakan-tindakan guru yang bersifat hukuman,
tidaklah termasuk yang akan diubah; tetapi mengajak siswa untuk ikut serta atau
ambil bagian dalam memperkenalkan perilaku-perilaku yang sifatnya di luar atau
eksternal dari spiral konflik. Guru tidak lagi berada dalam mekanisme loop,
tapi mengubah keseluruhan hubungan yang bersifat spiral tersebut.
Ketika gerakan spiral atau loop
terhenti dengan dicirikan oleh diperkenalkan dan diberlakukannya baik prosedur-
prosedur skemata-skemata mental, atribusi, ataupun tingkah laku-tingkah laku
yang sama sekali datang dari luar spiral tersebut, maka dikatakan telah terjadi
perubahan tingkat kedua (second order) atau suatu perubahan dari perubahan itu
sendiri. Untuk keluar dari suatu kerangka acuan dan pindah ke acuan lain, atau
memutuskan loop konseptual atau interpersonal, atau untuk
mengkontekstualisasikan kembali sesuatu, diperlukan skemata mental yang
bersifat tingkat tinggi yang (1) memandu dan mengawasi perpindahan dari suatu
kerangka acuan ke kerangka acuan lainnya, dan (2) menyediakan perspektif dan
prosedur alternatif yang spesifik.
Skemata yang berfungsi untuk memandu
dan mengawasi perpindahan dari suatu kerangka acuan ke kerangka acuan lain
disebut skemata fulcrum yang bersifat super-ordinat dan umum. Skemata ini oleh
Flavel (1978) seperti dikemukakan Salomon disebut juga dengan metakognisi,
yaitu pengetahuan dan keyakinan mengenai berbagai faktor yang bertindak
terhadap saya dan yang terhadapnya saya bertindak. Metakognisi ini berlawanan
sama sekali dengan perilaku yang tanpa perhatian, otomatis, dan yang melibatkan
sedikit AIME. Penggunaan skemata fulcrum/metakognisi ini akan merupakan penjaga
terhadap timbulnya spiral yang destruktif (walaupun tidak menjamin).
Skemata yang berfungsi menyediakan
perspektif dan prosedur alternatif yang spesifik disebut skemata lever yang
bersifat lebih spesifik dan sub-ordinat. Skemata ini digunakan jika terjadi
siklus yang tidak diinginkan. Misalnya seorang guru yang semula kesal terhadap
murid yang tidak memperhatikan pesan-pesan edukatifnya. Setelah merenung, ia
sadar bahwa cara berinteraksi dari kedua belah pihak adalah saling
berketergantungan (artinya, perilaku ketidakpedulian siswa dapat sebagai akibat
dari cara guru berperilaku). Kesadaran ini adalah skemata fulcrum, karena
sifatnya meta, yaitu di atas dan di luar interaksi itu sendiri. Atas
kesadarannya tersebut, si guru kini memutuskan untuk lebih responsif; artinya
meningkatkan responnya terhadap perilaku siswa, meningkatkan proporsi dari
responnya yang berkenaan dengan aspek fisik dari perilaku siswa serta
memperlihatkan nada-nada yang lebih positif dan lebih bersifat menerima dalam
pesan-pesannya. Ini adalah skemata lever, karena ditegakkan di atas skemata
fulcrum. Akibatnya, loop yang semula bersifat destruktif dalam interaksi, kini
berangsur-angsur lenyap, dan yang bersifat konstruktif mulai berkembang.
Walaupun kita telah memiliki skemata
fulcrum terhadap suatu masalah, bukan berarti ia dapat dipergunakan dalam hidup
keseharian, karena situasi-situasi yang kita sudah terbiasa dengannya akan kita
hadapi secara otomatis dan tanpa banyak perhatian. Di samping itu, skemata
fulcrum menuntut banyak hal. Sekali kita menghadapi suatu kejadian dengan
serius dan menggunakannya sebagai fulcrum, kita harus mencari skemata-skemata
lever yang baru yang dapat memberikan pandangan alternatif yang bersifat
spesifik berikut cara-cara untuk bertindak. Hal ini disebabkan oleh karena
dalam skemata fulcrum terkandung makna bahwa setiap kejadian dapat
dikerangkakan kembali, bahwa setiap kejadian lebih banyak merupakan masalah
persepsi dan konstruksi, atau bahwa orang-orang dan kita semua terlibat dalam
hubungan timbal balik. Dan yang lebih menarik, konon orang-orang yang sedang
berada dalam spiral saling berketergantungan yang sifatnya destruktif, tidak
dapat keluar sendiri, dan memerlukan orang lain untuk mencabut mereka dari
dalamnya. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan kemampuan guna keluar dari situasi,
untuk mengkajinya dari perspektif lain, untuk memilih tindakan-tindakan lever
yang baru serta mampu menggunakannya, bukanlah urusan sekejap; ia adalah proses
yang panjang dan memerlukan stamina. Implikasinya dalam dunia pendidikan adalah
bagaimana di dalam proses pembelajaran, siswa mampu menggunakan skemata skemata
fulcrum dan lever secara selektif, dari pada terobsesi secara tidak terarah dan
dilumpuhkan sendiri oleh evaluasi kritis berkepanjangan terhadap
pertimbangan-pertimbangan dan keputusan-keputusan sendiri. Untuk itu, sasaran
pendidikan yang paling penting adalah melatih siswa dalam menemukan
strategi-strategi untuk keluar dari situasi nyata, dalam merumuskan dan
merumuskan kembali, dalam mengkerangkakan dan mengkerangkakan kembali, dan
dalam mengeksplorasi interpretasi-interpretasi alternatif dari situasi nyata
tersebut, dalam upaya untuk mempersiapkan mereka untuk berkomunikasi dalam
spiral yang tidak berkelanjutan.
F.
KESIMPULAN
Antara
pendidikan dengan komunikasi terdapat hubungan yang saling berinteraksi.
Pendidikan mempengaruhi cara-cara orang berkomunikasi, dan cara-cara
berkomunikasi juga akan mempengaruhi hasil pendidikan. Dalam proses komunikasi
pendidikan, terdapat suatu lingkaran (loop) tertutup yang sangat mempengaruhi
efektifitas dari penyampain dan penerimaan pesan-pesan edukasi oleh guru dan
siswa.Bila loop ini tidak dipecahkan, atau dengan penanganan yang salah, ia
akan meningkat menjadi loop yang bereskalasi yang dapat semakin menurunkan
kepercayaan diri dan harga diri siswa, akhirnya bermuara kepada semakin
memburuknya prestasi belajar dan makin meningkatnya prilaku-prilaku menyimpang.
Oleh sebab itu, tugas guru dan tenaga kependidikan adalah berusaha memutuskan
loop tersebut dan merubahnya dari yang bersifat destruktif menjadi konstruktif.
DAFTAR RUJUKAN
Abizar. 2008. Interaksi
Komunikasi dan Pendidikan. Padang:UNP
Press.
No comments:
Post a Comment