Friday, December 7, 2018

LOOP DAN SPIRAL DALAM PROSES KOMUNIKASI DALAM PENDIDIKAN




A.    LOOP DAN SPIRAL
Akomodasi informasi dalam suatu komunikasi akan banyak ditentukan oleh kekuatan relatif skemata penerima informasi dan bagaimana pesan tersebut disampaikan. Orang akan bersedia menerima suatu informasi sampai batas tertentu dari besarnya perbedaan antara pesan dengan kekuatan skemata antisipatorinya. Sebagaimana yang dikemukakan Salomon, bahwa penentu utama dari pengetahuan yang dapat diperoleh seseorang, adalah justru pengetahuan yang telah dimilikinya. Implikasinya adalah, bahwa komunikasi tidak akan terjadi bila skemata seseorang tidak memberikan atribusi dari indikasi makna simbolik dan maksud berkomunikasi dari si sumber informasi.
Dalam dunia pendidikan, hubungan antara komunikasi dengan pendidikan adalah bersifat timbal balik (interaktif). Komponen-komponen utamanya adalah bawaan personal (personal disposition), atribusi maksud dan makna. perilaku-perilaku berkomunikasi, dan hasil pendidikan. Sementara itu, pengaruh dari pesan-pesan dalam komunikasi. sangat tergantung pada bagaimana orang menginterpretasikan pesan tersebut. Artinya, komunikasi adalah satu konsekuensi dari atribusi, sementara atribusi adalah konsekuensi dari komunikasi sebelumnya. Proses ini akan. selalu terjadi berulang-ulang membentuk suatu siklus yang bersifat sirkuler (loops), baik tertutup maupun spiral.
Sebahagian loop bersifat destruktif / lingkaran setan (vicious) dan sebahagiannya bersifat konstruktif (virtous). Loop berbentuk lingkaran tertutup bersifat destruktif. Loop yang bersifat vicious ini dicontohkan dengan anak-anak yang memiliki konsep diri rendah memilih tempat duduk di sudut belakang ruang kelas yang memungkinkan mereka tidak terlibat dalam kegiatan proses belajar mengajar tertentu. Pesan-pesan relasional yang diarahkan kepada mereka ditafsirkan memiliki makna yang bersifat merendahkan mereka; akibatnya adalah mereka tetap mempertahankan konsep diri mereka dan terperangkap dalam proses self sustaining prophecy yang bersifat destruktif. Sebaliknya loop berbentuk spiral bersifat konstruktif (virtous) dicontohkan dengan adanya hubungan saling ketergantungan anak-anak dalam kelas yang dapat menuju kepada keintiman; lalu hubungan yang lebih intim ini mengakibatkan kontak yang lebih dekat lagi, dan seterusnya. Pengalaman-pengalaman keberhasilan menggarap suatu tugas akan meningkatkan rasa mampu diri, dan rasa mampu diri yang telah tertingkatkan ini akan lebih meningkatkan AIME.
B.     LOOPS TERTUTUP
Loops dikatakan tertutup bila rangkaian kejadian selalu berulang dan tidak akan mengalami perubahan jika tidak dihentikan atau diputuskan. Sekali loop tersebut mulai bergerak, kejadian yang memulai/mengawalinya dapat menjadi menjauh saat loop berjalan secara otomatis (self-sustain). Dicontohkan, harapan kita bahwa seseorang akan bersifat ekstravers, menyebabkan kita (orang yang berekspektasi) berusaha mencari dan mendapatkan bukti-bukti yang membenarkan ekspektasi tersebut, dan malah membentuk perilaku orang tersebut menjadi sesuai dengan ekspektasi kita. Sebab-sebab semula dari adanya ekspektasi (misalnya pengalaman, streotip bersama) secara berangsur-angsur menjadi tidak relevan lagi ketika loop berjalan dengan kekuatan/mekanismenya sendiri (self- sustaining).
Ada dua jenis loop tertutup; Pertama, loop perseptual, yaitu bila ekspektasi seseorang tehadap sesuatu, membentuk atau mengarahkannya dalam menyampel ( mana yang akan diambil atau diabaikan) dan menginterpretasikan informasi yang dihasilkan orang dalam perilakunya. Di sini skemata tidak mudah berakomodasi terhadap pengalaman. Kedua, loop reaktif, yaitu bila stimuli cenderung dapat merubah sifat dari loop perseptual, lalu membuatnya lebih reaktif. Di sini ekspektasi seseorang mempengaruhi orang lain untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi orang tersebut.
Salomon dengan mengutip pernyataan Mirton mengungkapkan dua kondisi yang harus dipenuhi yang membua ramalan (prophecy) dipenuhi sendiri (self-fulfill), yaitu: Pertama adalah ekspektasi yang salah (walaupun dalam kenyataan, ini bukan merupakan kondisi yang wajib). Kedua adalah objek dari ekspektasi tersebut mulai bertingkah laku dengan cara baru (wajib bagi self-fulfiling prophecy, tetapi tidak untuk self-sustaining prophecy).
C.    LOOP BERESKALASI
Dalam kasus self-fulfilling prophecy, ekspektasi seseorang atau perilaku orang lain, atau kedua-duanya dapat berubah secara berangsur-angsur karena adanya hubungan timbal balik yang bersifat spiral. Disini prilaku seseorang diperkuat oleh ekspektasi orang lain atau sebaliknya ekspektasi orang lain dapat diubah dengan perubahan prilaku. Dengan demikian, sifat loop tertutup relatif tidak stabil. Ketidakstabilan loop ini menyebabkan mudah berubahnya loop kedalam loop bereskalasi. Dimana, hubungan timbal balik antara ekspektasi orang lain dan prilaku si objek, tidak berubah dalam esensinya tapi berubah dalam besarnya (magnitude).
Menurut Weick (1979), timbulnya loop bereskalasi dapat dilihat dari set-set hubungan antar variabel yang bersifat positif atau negatif. Dimana, loop dapat bereskalasi bila terdapat bilangan genap dari hubungan-hubungan negatif dalam satu loop, atau bila semuanya positif. Sebaliknya, loop tidak akan bereskalasi bila terdapat hubungan negatif yang jumlahnya ganjil.
Relevansi mekanisme loop bereskalasi dalam dunia pendidikan adalah amat besar karenana; Pertama, pendidikan kenyataannya mudah sekali terperangkap ke dalam loop bereskalasi, baik berefek destruktif maupun berefek konstruktif. Kedua, intervensi komunikasi pendidikan dapat mengintensifkan eskalasi spiral, dimana komunikasi tersebut direncanakan memberikan pengetahuan, mengatasi berbagai kesulitan, memperkuat atau memperlemah kecenderungan prilaku tertentu, atau untuk membangun pola saling hubungan. Disamping itu, komunikasi pendidikan dapat pula melemahkan loop, malah dapat memutuskan gerakan spiral.
Dalam teori perubahan dan kebertahanan Waltzlawick, dkk (1974) dikatakan bahwa solusi dari suatu kesulitan seringkali mengubah kesulitan tersebut menjadi masalah yang lebih besar. Sementara pemecahannya dipertahankan oleh masalah, masalahpun dipertahankan oleh pemecahannya. masing-masing pihak melihat pihak lainnya sebagai stimulus dan dirinya hanya sebagai respon.Masing-masing pihak tidak mampu melihat bagaimana tindakannya mempertahankan tindakan pihak lain. Sebagai contoh, orang-orang yang mengalami depresi memerlukan semakin banyak hiburan, anak-anak yang bermasalah memerlukan usaha perbaikan lebih banyak, Artinya, masalah dan solusi menjadi interdependen dan meningkat (bereskalasi).
Menurut Waltzlawick, ada tiga kondisi yang menimbulkan solusi menjadi independen dengan masalah dan saling mengeskalasikan satu sama lain, yaitu: Pertama, loop terujud pada saat suatu tindakan diperlukan tapi tidak dilakukan sama sekali; misalnya pada saat suatu kesulitan ditolak sementara tolakan itu sendiri ditolak pula. Ini terjadi bila (1) pengakuan akan permasalahan dilihat sebagai manifestasi dari sesuatu yang jelek, dan (2) permasalahan yang memerlukan perubahan menjadi bertambah besar akibat permasalahan yang tercipta oleh kesalahan penanganannya. Kedua, tindakan dilakukan sedangkan seharusnya tidak dilakukan; dalam hal ini kesulitan tidak dapat ditiadakan, sementara perlakuan itu sendiri membuat permasalahan menjadi masalah yang lebih serius. Misalnya, semakin hebat kampanye anti rokok di sekolah semakin ingin tahu mereka terhadap rokok maka semakin besar ruang tempat murid mendongkol terhadap guru mereka. Ketiga, tindakan diambil pada level yang salah. Misalnya, dari yang seharusnya mencoba mengubah konteks interpersonal, orang berusaha mengubah sikap orang lain, apalagi kalau yang akan diubah itu adalah disposisi dan kepribadiannya.
Eskalasi dari loop menurut Weick (1979) dapat berakhir bila hubungan-hubungan di dalam loop saling menghentikan atau seimbang, dan saling mengoreksi satu sama lain (pada hubungan-hubungan negatif yang berjumlah ganjil), loop mempunyai mekanisme pengereman yang “built-in”. Misalnya, orang dapat menghentikan loop yang bereskalasi dengan jalan mempreskripsikan kepada siswa yang suka mengganggu bentuk baru dari gangguan (jadi bukan menghukum), dengan demikian menimbulkan kekuatan yang melawan (reaktan) dan tingkah laku tidak mengganggu yang sifatnya menyaingi.
D.    PENGARUH MEKANISME KOMUNIKASI TERHADAP SPIRAL
Berpengaruh atau tidaknya suatu komunikasi terhadap terbentuknya loop bereskalasi tergantung kepada atribusi(terlihat indikasi) dari maksud komunikasi. Bila dalam komunikasi terindikasi adanya maksud mengontrol, unjuk kekuatan (power assertiveness), atau pun maksud untuk mengubah prilaku, akan berpotensi untuk menimbulkan penolakan (reaktan). Kekuatan yang bersifat reaktif (reaktan) ini dialami oleh individu-individu yang merasa prilaku- prilaku yang semula berkebebasan, terancam oleh tuntutan perubahan, dan ini mendorong mereka untuk berusaha memulihkan kontrol mereka (kebebasan berprilaku). Sebagai contoh dapat kita lihat pada hasil perlakuan Prasad (1978) terhadap sejumlah ibu yang menemani anak-anak mereka yang menonton acara komersial mainan anak-anak di Televisi. Si ibu menyampaikan informasi pada anak yang bersifat menentang (tidak menyukai) acara komersial mainan anak-anak tersebut. Penentangan ini dilakukan dengan memberikan alas an yang logis dan dengan cara mengekspresikan bahwa sebagai ibu mereka punya kuasa untuk menilai (power assertiveness). Hasil yang diperoleh membuktikan bahwa anak-anak yang diberi alasan masuk akal, sedikit yang membeli mainan tersebut, sementara anak-anak yang dilarang secara “kuasa” meningkatkan jumlah pembelian. Efek yang berbeda atas dua perlakuan ini, oleh Salomon diterangkan bahwa, kedua kelompok pada dasarnya berbeda dalam maksud berkomunikasi yang teridentifikasi oleh masing-masingnya. Anak-anak yang dapat perlakuan “penalaran yang masuk akal” melihat indikasi bahwa maksud si ibu adalah memberi informasi, sementara anak-anak dengan perlakuan “unjuk kuasa” melihat indikasi bahwa si ibu bermaksud untuk mengontrol mereka. Maksud mengontrol yang terindikasi itulah yang menimbulkan kekuatan untuk menolaknya (reaktan).
Dari contoh di atas, dapat kita tarik suatu hipotesis bahwa si ibu yang tidak senang dengan usaha mencegah anak membeli mainan, akan meningkatkan power-assertiveness mereka. Sementara itu, apabila anak-anak diberi kebebasan berprilaku, akan membalasnya dengan jalan memaksakan diri mereka sendiri untuk berbuat demikian Artinya “unjuk kekuatan” ibu dan anak akan berinterdependen dalam bentuk spiral yang bereskalasi. Sedangkan perlakuan si ibu dalam bentuk alasan yang masuk akal, memberikan indikasi adanya maksud sekadar menyampaikan informasi dari pada adanya maksud mengubah. Dengan demikian, tidak terjadi reaktan. Komunikasi di sini mengubah tingkah laku tanpa terjadinya interdependen dalam ujud suatu loop yang bereskalasi.
Timbulnya loop bereskalasi dari komunikasi yang terindikasi mengubah, dicontohkan dengan anggota-anggota organisasi yang jarang menghadiri pertemuan disebabkan harus menopang kehidupan rumah tangga. Mereka menyalahkan anggota-angota yang lebih aktif karena menjadwalkan pertemuan terlalu sering. Mereka melihat indikasi dari anggota-anggota aktif dalam pertemuan bermaksud untuk membiarkan mereka berada di luar(terpinggirkan) malah mengasingkan mereka, serta melihat di dalam caranya pertemuan dijadwalkan adanya pesan yang dimaksudkan untuk memaksa mereka berpartisipasi lebih sering atau menjadi anggota terpinggirkan. Sekali mereka melihat indikasi demikian, mereka mengeskalasikan loop lebih cepat. Loop ini akan tereskalasi lebih cepat lagi bila anggota-anggota yang aktif melihat pula adanya pesan dalam keabsenan anggota-anggota yang terpinggirkan tersebut. Terindikasinya maksud-maksud untuk mengubah dalam komunikasi mendorong loop untuk bereskalasi lebih cepat lagi.
Komunikasi juga berpotensi menciptakan loop bereskalasi bila penerima pesan mengidentifikasi adanya motif untuk dilayani (self-serving motive) dari si sumber komunikasi. Contohnya adalah seorang anak perempuan yang dalam keadaan depresi yang dihibur oleh orang lain. Bila dalam cara-cara menghibur teridentifikasi motif self-serving orang lain, dan mungkin dapat menemukan buktinya dari cara-cara orang lain menghiburnya, akan terbentuk loop perseptual. Bila cara-cara menghibur tersebut diperkeras lagi, maka ia akan merasa lebih depresi dan menimbulkan spiral bereskalasi
Implikasi dari tinjauan interaksi komunikasi di atas terhadap dunia pendidikan adalah bahwa perlu adanya kewaspadaan dalam berbagai pemecahan masalah agar tidak memperburuk permasalahan yang hendak ditanggulangi. Isu-isu penting dalam dunia pendidikan yang perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar antara lain; Pertama, adanya komunikasi pendidikan yang teridentifikasi oleh siswa untuk mengubah hal-hal yang mereka tidak mau diubah; atau perubahan yang dirasa merefleksikan adanya motif melayani diri si pendidik. Dalam kondisi ini, reaktan jadi berkembang dan dendam atau kejengkelan dapat terjadi, dan semakin banyak perilaku berkejengkelan terjadi, akan berkembang pula loop yang bersifat destruktif. Kedua, kuatnya skema yang bersifat konsensus memandu aktifitas dalam sistem pendidikan; skemata konsensus ini oleh berbagai alasan susah untuk berubah karena sistem pendidikan lebih banyak bersifat “pasangan longgar” sementara sistem begini tidak mungkin beroperasi tanpa skemata konsensus, susah untuk dihindari di sekolah untuk tidak akan berkembangnya loop perseptual dan self sustaining prophecy. Peristilahan-peristilahan umum yang disepakati bersama dalam dunia pendidikan telah mendefinisikan berbagai hal, misalnya peran-peran, ekspektasi-ekspektasi, dan perilaku-perilaku yang akan menimbulkan realita baru. Dalam hal ini siswa menjadi menyimpang, keras kepala, bermusuhan justruadalah fungsi (akibat) dari label-label dan perlakuan guru dan konselor sendiri, yang diujudkan sebagai respo terhadap perilaku menyimpang mereka.
E.     USAHA MEMUTUSKAN LOOP
Cara-cara komunikasi dalam pendidikan akan memberikan hasil pendidikan tertentu, yang selanjutnya akan berperan sebagai fondasi yang diharapkan dapat menciptakan jenis-jenis komunikasi baru; yaitu komunikasi yang lebih bersifat kooperatif dan kurangnya interaksi-interaksi yang berisi jebakan konflik. Bila hal ini tidak terujud, maka akan terjadi hal yang sebaliknya, yaitu perselisihan yang bereskalasi, menurunnya perhatian di dalam kelas, dan lainnya. Oleh sebab itu, pendidikan tidaklah harus hanya sebagai korban atau pemeroleh manfaat dari loop komunikasi, tetapi juga harus dapat
embantu siswa untuk belajar menghindari loop yang destruktif dan membangun loop yang konstruktif.
Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam usaha membantu siswa dalam menghindari loop yaitu; Pertama, guru dan siswa tidak hanya memecahkan permasalahan atau menghindari sesuatu loop yang spesifik, tapi juga berusaha menemukan suatu strategi untuk menghindari loop semacam itu dimasa depan. Kedua, strategi tersebut bersifat eksternal terhadap loop riil yang hendak dihindari yang mengarah pada suatu perubahan dalam struktur secara keseluruhan dari loop. Artinya, perkembangan yang bersifat spiral dari konflik dan pemecahan-pemecahan yang tidak tepat, ataupun perkembangan yang bersifat spiral dari hubungan antara kurangnya perhatian siswa dalam belajar dengan tindakan-tindakan guru yang bersifat hukuman, tidaklah termasuk yang akan diubah; tetapi mengajak siswa untuk ikut serta atau ambil bagian dalam memperkenalkan perilaku-perilaku yang sifatnya di luar atau eksternal dari spiral konflik. Guru tidak lagi berada dalam mekanisme loop, tapi mengubah keseluruhan hubungan yang bersifat spiral tersebut.
Ketika gerakan spiral atau loop terhenti dengan dicirikan oleh diperkenalkan dan diberlakukannya baik prosedur- prosedur skemata-skemata mental, atribusi, ataupun tingkah laku-tingkah laku yang sama sekali datang dari luar spiral tersebut, maka dikatakan telah terjadi perubahan tingkat kedua (second order) atau suatu perubahan dari perubahan itu sendiri. Untuk keluar dari suatu kerangka acuan dan pindah ke acuan lain, atau memutuskan loop konseptual atau interpersonal, atau untuk mengkontekstualisasikan kembali sesuatu, diperlukan skemata mental yang bersifat tingkat tinggi yang (1) memandu dan mengawasi perpindahan dari suatu kerangka acuan ke kerangka acuan lainnya, dan (2) menyediakan perspektif dan prosedur alternatif yang spesifik.
Skemata yang berfungsi untuk memandu dan mengawasi perpindahan dari suatu kerangka acuan ke kerangka acuan lain disebut skemata fulcrum yang bersifat super-ordinat dan umum. Skemata ini oleh Flavel (1978) seperti dikemukakan Salomon disebut juga dengan metakognisi, yaitu pengetahuan dan keyakinan mengenai berbagai faktor yang bertindak terhadap saya dan yang terhadapnya saya bertindak. Metakognisi ini berlawanan sama sekali dengan perilaku yang tanpa perhatian, otomatis, dan yang melibatkan sedikit AIME. Penggunaan skemata fulcrum/metakognisi ini akan merupakan penjaga terhadap timbulnya spiral yang destruktif (walaupun tidak menjamin).
Skemata yang berfungsi menyediakan perspektif dan prosedur alternatif yang spesifik disebut skemata lever yang bersifat lebih spesifik dan sub-ordinat. Skemata ini digunakan jika terjadi siklus yang tidak diinginkan. Misalnya seorang guru yang semula kesal terhadap murid yang tidak memperhatikan pesan-pesan edukatifnya. Setelah merenung, ia sadar bahwa cara berinteraksi dari kedua belah pihak adalah saling berketergantungan (artinya, perilaku ketidakpedulian siswa dapat sebagai akibat dari cara guru berperilaku). Kesadaran ini adalah skemata fulcrum, karena sifatnya meta, yaitu di atas dan di luar interaksi itu sendiri. Atas kesadarannya tersebut, si guru kini memutuskan untuk lebih responsif; artinya meningkatkan responnya terhadap perilaku siswa, meningkatkan proporsi dari responnya yang berkenaan dengan aspek fisik dari perilaku siswa serta memperlihatkan nada-nada yang lebih positif dan lebih bersifat menerima dalam pesan-pesannya. Ini adalah skemata lever, karena ditegakkan di atas skemata fulcrum. Akibatnya, loop yang semula bersifat destruktif dalam interaksi, kini berangsur-angsur lenyap, dan yang bersifat konstruktif mulai berkembang.
Walaupun kita telah memiliki skemata fulcrum terhadap suatu masalah, bukan berarti ia dapat dipergunakan dalam hidup keseharian, karena situasi-situasi yang kita sudah terbiasa dengannya akan kita hadapi secara otomatis dan tanpa banyak perhatian. Di samping itu, skemata fulcrum menuntut banyak hal. Sekali kita menghadapi suatu kejadian dengan serius dan menggunakannya sebagai fulcrum, kita harus mencari skemata-skemata lever yang baru yang dapat memberikan pandangan alternatif yang bersifat spesifik berikut cara-cara untuk bertindak. Hal ini disebabkan oleh karena dalam skemata fulcrum terkandung makna bahwa setiap kejadian dapat dikerangkakan kembali, bahwa setiap kejadian lebih banyak merupakan masalah persepsi dan konstruksi, atau bahwa orang-orang dan kita semua terlibat dalam hubungan timbal balik. Dan yang lebih menarik, konon orang-orang yang sedang berada dalam spiral saling berketergantungan yang sifatnya destruktif, tidak dapat keluar sendiri, dan memerlukan orang lain untuk mencabut mereka dari dalamnya. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan kemampuan guna keluar dari situasi, untuk mengkajinya dari perspektif lain, untuk memilih tindakan-tindakan lever yang baru serta mampu menggunakannya, bukanlah urusan sekejap; ia adalah proses yang panjang dan memerlukan stamina. Implikasinya dalam dunia pendidikan adalah bagaimana di dalam proses pembelajaran, siswa mampu menggunakan skemata skemata fulcrum dan lever secara selektif, dari pada terobsesi secara tidak terarah dan dilumpuhkan sendiri oleh evaluasi kritis berkepanjangan terhadap pertimbangan-pertimbangan dan keputusan-keputusan sendiri. Untuk itu, sasaran pendidikan yang paling penting adalah melatih siswa dalam menemukan strategi-strategi untuk keluar dari situasi nyata, dalam merumuskan dan merumuskan kembali, dalam mengkerangkakan dan mengkerangkakan kembali, dan dalam mengeksplorasi interpretasi-interpretasi alternatif dari situasi nyata tersebut, dalam upaya untuk mempersiapkan mereka untuk berkomunikasi dalam spiral yang tidak berkelanjutan.
F.     KESIMPULAN
Antara pendidikan dengan komunikasi terdapat hubungan yang saling berinteraksi. Pendidikan mempengaruhi cara-cara orang berkomunikasi, dan cara-cara berkomunikasi juga akan mempengaruhi hasil pendidikan. Dalam proses komunikasi pendidikan, terdapat suatu lingkaran (loop) tertutup yang sangat mempengaruhi efektifitas dari penyampain dan penerimaan pesan-pesan edukasi oleh guru dan siswa.Bila loop ini tidak dipecahkan, atau dengan penanganan yang salah, ia akan meningkat menjadi loop yang bereskalasi yang dapat semakin menurunkan kepercayaan diri dan harga diri siswa, akhirnya bermuara kepada semakin memburuknya prestasi belajar dan makin meningkatnya prilaku-prilaku menyimpang. Oleh sebab itu, tugas guru dan tenaga kependidikan adalah berusaha memutuskan loop tersebut dan merubahnya dari yang bersifat destruktif menjadi konstruktif.

DAFTAR RUJUKAN
Abizar. 2008.  Interaksi Komunikasi dan Pendidikan. Padang:UNP Press.

No comments:

Post a Comment