KONTEKS DAN PESAN : HUBUNGAN YANG
BERSIFAT
TIMBAL BALIK
Konteks
telah dikemukakan dalam bagian-bagian awal, dalam rangka membicarakan
klasifikasi komunikasi. Konteks disini dimaksud sebagai suatu latar belakang
yang unik dalam mana kejadian dan proses mendapatkan bentuknya. Sudah pasti,
komunikasi tidak pernah terjadi dalam situasi vakum, demikian Mortensen (dalam
Trenholm, 1986). Istilah konteks disini khusus dipergunakan untuk
mengklasifikasikan komunikasi. Ada setidaknya empat pendekatan terhadap konteks dengan mana nanti mempunyai klasifikasi komunikasi tersendiri. Pertama, pendekatan situasional membedakan komunikasi atas interpersonal, kelompok, organisasi, publik dan massa; kedua, pendekatan fungsional membedakan komunikasi atas, pengembangan dan pemeliharaan hubungan, pertukaran informasi, persuasi, terapi, pembangunan solidaritas sosial, dan estetika; ketiga, pendekatan kognitif membedakan komunikasi atas intrapersonal, interpesonal, dan orang ke orang; dan keempat, pendekatan gaya, untuk menekankan adanya komunikasi retorika, dan atas dasar itu ditemuilah konsep-konsep keterbukaan, keterpercayaan, pembukaan diri, dan seterusnya (Trenholm,1986). Pada bagian berikut ini konteks dibicarakan dalam pengertian dan perannya yang paling dalam, dan tujuannya pun untuk lebih memahami bagaimana pesan beradaptasi dalam suatu konteks ataupun sebaliknya.
mengklasifikasikan komunikasi. Ada setidaknya empat pendekatan terhadap konteks dengan mana nanti mempunyai klasifikasi komunikasi tersendiri. Pertama, pendekatan situasional membedakan komunikasi atas interpersonal, kelompok, organisasi, publik dan massa; kedua, pendekatan fungsional membedakan komunikasi atas, pengembangan dan pemeliharaan hubungan, pertukaran informasi, persuasi, terapi, pembangunan solidaritas sosial, dan estetika; ketiga, pendekatan kognitif membedakan komunikasi atas intrapersonal, interpesonal, dan orang ke orang; dan keempat, pendekatan gaya, untuk menekankan adanya komunikasi retorika, dan atas dasar itu ditemuilah konsep-konsep keterbukaan, keterpercayaan, pembukaan diri, dan seterusnya (Trenholm,1986). Pada bagian berikut ini konteks dibicarakan dalam pengertian dan perannya yang paling dalam, dan tujuannya pun untuk lebih memahami bagaimana pesan beradaptasi dalam suatu konteks ataupun sebaliknya.
Kemudian,
Salomon mendefinisikan konteks sebagai sesuatu yang memberikan makna terhadap
sesuatu lainnya dan dipersepsikan berada dalam level generalitas yang lebih
tinggi dari pada yang lain. Disini tingkah laku, tempat, waktu, lambang,
organisasi, peran, pengaturan ruang, ekspresi mengenai hubungan ataupun lainnya
yang sejalan dengan itu, berperan sebagai konteks. Disini terlihat adanya dua
kondisi, yaitu pertama, sesuatu yang memberi makna terhadap sesuatu lainnya,
dan kedua, sesuatu tersebut berada pada tingkat generalitas yang lebih tinggi.
Bertalian
dengan defenisi tersebut, konteks, tersusun secara hirarkis, dimana konteks
super ordinat akan meliputi beberapa dibawahnya lagi, dan seterusnya. Sebagai
ilustrasi, jam istirahat di antata dua sesi perkuliahan misalnya, memberi
kesempatan kepada mahasiswa dan pengajar untuk bertingkah laku atau berbuat
(misalnya bersorak) yang hal begini tidaklah di izinkan selama sesi
perkuliahan, dan ini memberi makna khusus. Satu kelas konteks yang lebih khusus
adalah setting tingkah laku, di antaranya, kelas perkuliahan,rumah ibadah,
lapangan voli, pos kelompok remaja, kafetaria, dan seterusnya.konteks setting
tingkah laku ini merupakan kesatuan dari tiga komponen, yaitu komponen fisik,
komponen orang, dan komponen kejadian yang sedang berlangsung. Jadi seting
tingkah laku adalah komponen dari sistem sosial yang lebih besar dan lebih
kompleks seperti komunitas dan institusi.sebagai ciri umum dari segala sesuatu
yang berfungsi sebagai konteks adalah bahwa, ia tidaklah berada di luar dari
yang diberikannya konteks.jadi mungkin hadir sebagai tempat, sebagai waktu,
sebagai lambang, sebagai peran, dan lain nya.
Sebagai
ciri umum dari segala sesuatu yang berfungsi sebagai konteks, adalah bahwa, ia
tidaklah berada di luar dari yang diberinya konteks. Jadi mungkin hadirnya
sebagai tempat, sebagai waktu, sebagai sistem lambang, sebagai peran, dan
lainnya.
Dalam
memahami komunikasi, ada tiga kesamaan utama antara konteks dan skemata,
seperti yang dikemukakan berikut :
Pertama, pesan tidak
dapat dipersepsikan di luar konteks. Konteks seperti halnya skemata memberi
tahu pada kita apa-apa yang akan diantisipasi dan akan dan bagaimana untuk
mengertinya. Ia juga memberi tahu jenis pesan yang legitimet dan apa-apa yang
boleh dikatakan atau dilakukan atas dasar tempat, waktu, orang-orang, peran-peran,
dan lainnya yang sedang kita hadapi.
Kedua, konteks
seperti halnya skemata, tersusun secara hirarkis. Pada dasarnya skemata
tersusun secara hirarkis dalam arti generalitas (misalnya komunikasi lebih
tinggi posisi hirarkisnya dari media); dan dalam tiap tipikalitasnya (khusus
yang lebih tipikal mengkontekstualisasikan suatu varian). Generalitas merupakan
apa-apa yang termasuk di dalamnya. Sebagai contoh, konsep waktu lebih umum dari
konsep pagi, dan konsep pagi termasuk dalam konsep waktu.
Ketiga, pesan dan
konteks kadang-kadang dapat bertukar peran, itu berarti persepsi mengenai
apakah itu konteks dan apakah itu pesan, adakalanya tergantung pada pilihan
perspektif seseorang. Apakah respon saya yang berupa kemarahan akan dimaafkan
dalam konteks iklim yang Anda ciptakan oleh nada suara Anda, atau apakah nada
suara Anda akan dimengerti dalam konteks kemarahan saya yang terekspresikan.
Jawabannya tidak hanya satu yang benar, keduanya berhubungan secara sirkuler.
Iklim kelas adalah konteks bagi praktek pemberian nilai oleh guru, dan juga
bagi absensi siswa. Bila iklim positif, akan terjadilah belajar siswa yang
lebih baik, lebih banyak perkuatan/penguatan diberikan, dan absensi siswa akan
menurun. Sebaliknya, prkatek pemberian nilai yang lebih liberal dapat menjadi
konteks; sementara iklim yang suportif sebagai kejadian. Kita dapat
menggeneralisasikan kasus-kasus di atas, bahwa, semakin dekat pesan dan konteks
satu sama lainnya dalam hirarki, keduanya akan semakin interdependan dan
“meminjamkan” makna kepada satu sama lainnya.
A.
Konteks
Dan Belajar: Peran-Peran yang Dapat Saling Di Pertukarkan.
Satu konteks umum untuk belajar adalah
“persekolahan”(schooling), yaitu keseluruhan kebudayaan yang meliputi
institusionalisasi pendidikan, pembagian pekerjaan di dalam nya, aturan-aturan
yang di tegakkan, kehadiran yang di wajibkan dan lainnya.konteks sistem
persekolahan kurang bersifat umum, misalnya tingkat sentralisasi
organisasinya.sistem-sistem yang kurang tersentralisasi, misalnya
sekolah-sekolah di USA, dilukiskan dalam istilah pasangan longgar.
Sekolah-sekolah biasanya lebih adaptif pada tuntutan lokal, tetapi rentan
terhadap manipulasi, tidak berdaya dalam segalanya kecuali klaisfikasi yang
sifatnya rutual, dan relatif masih tidak mengalami perubahan oleh segala seatu
yang terjadi di dalam sekolah. Berbeda dengan itu, adalah sekolah-sekolah di
Inggris yang lebih terkoordinasi secara internal. Evaluasi dan kontrol
dilaksanakan di bawah otritas kepala sekolah yang perannya (yaitu kepala
sekoah) amat besar di sekolah maupun dimasyarakat umumnya, dan ini berakar dari
tradisi yang mapan. Perbedaan antara sistem dan pasangan longgar dengan sistem
yang bersifat pasangan yang lebih erat, mempengaruhi otonomi kepala sekolah dan
guru, juga mempengaruhi kemampuan dari sistem untuk beradaptasi terhadap
kondisi sosial yang selalu berubah.
Sekolah
berada pada suatu level yang bersifat pada kurang umum. Sekolah berbeda satu
sama lain didalam batas-batas sistem yang lebih ketat atau lebih tidak
berpasangan dalam segi luasnya, kekompakan atau keterisolasian dalam fisiknya,
iklim sosialnya dalam keseluruhan, dan ideologi kontrol secara keseluruhan.
Berkenaan denga kontek yang dikemukan terakhir (ideologi kontrol), dari studi
mereka secara besar-besaran mengenai guru-guru dan administrator, Rafalides dan
Hoy (1971) menemukan bahwa, keterasingan siswa sepertinya terjadi akibat sistem
kontrol yang bersifat otoriter, dimana siswa-siswa diharapkan menerima
keputusan-keputusan dari guru tanpa dapat dipertanyakan. Duke dan Perry (1978)
menemukan yang sebaliknya, bahwa sikap dan keyakinan guru cukup berbeda pada
sekolah-sekolah yang lebih terbuka, dimana disana hanya ditemukan sedikit
masalah disiplin para siswanya, mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam
mengelola diri sendiri.
Konteks
kontrol mempengaruhi konteks lebih bawahnya seperti pengelolaan dan iklim
kelas. Sehubungan dengan ini, dari temun para peneliti, Salomon mengemukanan
bahwa, dampak dari sikap pimpinan sekolah terhadap perilaku guru ternyata lebih
kecil bila yang diajar adalah siswa-siswa yang bermotivasi tinggi (sebaliknya
mengajar siswa-siswa yang mempunyai motivasi rendah, dengan lebih mengarahkan,
kurangnya reword, hasil belajar lebih rendah, dan kurang bersifat suportif
terhadap siswa). Ini memberikan indikasi bahwa guru yang mengajar dibawah
tekanan (kepala sekolah) agar lebih mengontrol siswa, dapat berakibat rendahnya
nilai (hasil belajar) siswa, dan terbentuk opini negatif dari guru, yang
keduanya ini dapat menurunkan/merusak kemungkinan/kesempatan masa depan
siswa-siswa yang mempunyai motivasi rendah.
Konteks
penting lainya ialah kontek sosial kelas. Sejumlah kajian disimpulkan Salomon,
ternyata strategi pengelolaan kelas dari guru dan iklim kelas punya saling
keterkaitan dan dapat dilihat saling mengkontekstualisaikan satu sam lain.
Saling ketergantungan demikian juga terlihat antara konteks soaila kelas dengan
hasil belajar siswa. Dalam hal ini, ternyata kelas dengan pola persahabatan
yang bersifat suportif, memperkuat belajar (akademis), sementara kelas dengan
hubungan yang bersifat tekanan-tekanan yang menghalangi belajar.
Konteks-konteks
khusus lainnya yang mempengaruhi belajar ialah: ketaatan atau penyimpangan
(ketidak taatan) guru terhadap aturannya sendiri mengenai jawaban yang didapat
dianggap benar atau tidak benar, penataan tempat duduk dan perabot,
diberikannya “atvencet organizer” dalam pengajarannya, perspektif dan
tujuan-tujuan yang bersifat priori dan lainnya.
Satu
hal penting lainnya yang menurut Salomon perlu dikemukakan (belum banyak
mendapat perhatian) adalah hubungan antara konteks dan belajar. Dipercaya bahwa
konteks dan belajar berpengaruh timbal balik, dimana hasil belajar itu sendiri
mempunyai efek terhadap persahabatan dalam kelompok peer, serta konsep diri
siswa. Kedua cara ini bukanlah bersifat “mutually-exclusive”. Iklim kelas,
konsep diri, dan hasil belajar, sesungguhnya satu sama lain berpengaruh secara
timbal balik. Sambil memberi siswa-siswanya aturan-aturan yang secara relatif
bersifat eksplisit, guru amat sering menyesuaikannya dengan kejadian-kejadian
yang berjalan terus selama proses belajar mengajar aktual. Artinya,
aturan-aturan dalam situasi sosial, bersifat interpretif. Kebenaran dari suatu
aturan harus diinterpretasikan terhadap latar belakang karakteristik dari
setingan yang selalu berubah, yang mungkin meliputi perilaku-perilaku siswa, harapan-harapan
si guru, struktur pernyataan dan lainnya.
Ringkasnya,
konteks kelas riil, pesan intruksional, dan hasil belajar cukup dekat satu sama
lain, sehingga memungkinkan punya pengaruh timbal balik. Namun, kedekatan tidak
dapat menerangkan kenapa pengaruh timbal balik itu terjadi. Proses ini
terjadinya karena (tidak seperti halnya konteks yang berjarak jauh yang
mengisyaratkan norma-norma umum tingkah laku) konteks yang lebih dekat
mengisyaratkan makna spesifik, sementara makna itu sensitif terhadap segala
sesuatu yang terjadi dalam suatu situasi.
B.
Konteks
Dalam Komunikasi Interpersonal
Pada
umumnya orang berusaha untuk menyesuaikan tingkah laku mereka terhadap tuntutan
dari konteks seperti yang dikonsepsikan mereka, sehingga dengan demikian mereka
tidak akan dipersepsikan orang sebagai pembuat bencana, menyimpang, gila,
jelek, ataupun bodoh.
Orang
juga memberikan makna terhadap perilaku orang lain atas dasar konteks tempat
terjadinya tingkah laku tersebut. Misalnya, sesuai dengan teori atribusi tingkah
laku, orang memberi makna terhadap kegagalan di sekolah, dapat saja orang
melihatnya dari konteks rendahnya kemampuan, kurangnya usaha, atau memang nasib
jelek. Pada umumnya konteks interpersonal mempengaruhi jenis pertukaran pesan
yang terjadi. Pada langkah selanjutnya, pertukaran informasi ini mempengaruhi
pula konteks.
Ditegaskan
Salomon, susah untuk membangun katalog satu taksonomi dari konteks
interpersonal. Yang pasti adalah, orang dan situasi tidaklah bisa dianggap
sebagai dua unit yang otonom, yang kebetulan berinteraksi satu sama lain pada
saat-saat tertentu. Yang lebih benar adalah, keduanya (orang dan situasi)
berfungsi dan hadir sebagai dua kutub yang saling berketergantungan dalam
proses prilaku yang satu. Maka,pada saat mengkaji bagian pola-pola komunikasi
berkembang dalam konteks hubungan yang simestris atau komplementer, kita harus
ingat bahwa konteks itu adanya di dalam kepala atau pikiran orang, dan bahwa
pertukaran yang berlangsung terus menerus itu secara berangsur-ansur pula
mengubah konteks. Pernyataan Mischel (1977) yang dikutip Salomon, bahwa amat
penting untuk dihindari melihat hal di atas hanya menggunakan psikologi
karakter (natisme) terhadap situasi, dimana kejadian-kejadian dan seting-seting
hanyalah diberi label berbeda, sementara unsur manusianya diabaikan. Tugas
untuk memberikan label-label pada situasi tidaklah bisa menggantikan kewajiban
untuk menganalisis bagaimana situasi dan lingkungan berinteraksi dengan
orang-orang yang ada di dalamnya.
Interaksi
demikian biasanya diabaikan bila tingkahlaku dilihat dalam suatu konteks yang
menekankan hanya situasi atau bawaan yang didefinisikan secara ketat. Sejumlah
penelitian memperlihatkan bahwa, orang umumnya lupa/mengabaikan konteks
situasional (yaitu situasi sebagai konteks) serta kemampuan manusia untuk
beradaptasi dengan lingkungan. Ini menyebabkan terjadinya kekeliruan dalam
meletakkan “penyebab”, sehingga dipersepsikan orang-orang sebagai malas, tidak
beruntung, patuh, atau tidak terlibat, yang seolah-olah label tersebut bersifat
permanen, hadir dimana-mana, dan sebagai perilaku yang tidak terpaut konteks.
Terbukti juga bahwa, kita sangat suka mengabaikan konteks dan melihat segala
sesuatu (dari orang) sebagai ujud dari watak/bawaan negatif seseorang yang
hanya kita tahu sebagian/sedikit.
Disini
kita menghadapi suatu paradok. Dari satu segi, orang adalah amat fleksibel
dalam mengadaptasikan perilaku mereka terhadap tuntutan-tuntutan situasi sesuai
persepsi mereka. Di segi lain, orang satu sama lain menempatkan tingkahlaku
masing-masing kedalam konteks bawaan. Kelebih-sukaan untuk menempatkan
bawaan/kepribadian sebagai pengendali tingkahlaku pada orang lain, sebagaimana
disebabkan oleh karena skema mengenai kepribadian ini telah dipelajari secara
dalam, difahami bersama secara lebih luas, serta mudah diingat, sementara
tuntutan-tuntutan yang selalu berubah dari konteks situasional, mudah sekali
untuk terabaikan. Epstein (1997) menegaskan, (1) secara emosional amat
menyenangkan bahwa perilaku itu dapat diramalkan, terutama sekali jika hal
tersebut adalah perilaku orang lain, (2) perilaku lebih muda diklasifikasikan
dari orang-nya daripada dari segi situasi, dan (3) orang rupanya memiliki
semacam teori kepribadian terpendam yang mengasumsikan adanya stabilitas dalam
kepribadian, dan teori ini memberikan bias terhadap persepsi mereka.
Kesulitan
lebih besar mempersepsi konteks situasional daripada konteks kepribadian,
adalah karena orang yang mepersepsi tersebut merupakan bagian dari konteks
orang lain, sehingga memberi pengaruh nyata pada orang lain tersebut. Bila
perilaku orang lain harus dipersepsi sebagai aneh, tidak diharapkan, ataupun
tidak diinginkan, maka akan lebih selamat jika itu diatribusikan pada
kepribadian, daripada kepada hasil “masukan dari dirinya sendiri”.
Banyak
macamnya intervensi yang bersifat hukuman serta korektif telah dilakukan namun
tidak begitu berhasil, karena intervensi-intervensi demikian tidak mengubah
kontaks situasional yang berlangsung secara nyata, dimana konteks situasional
nyata ini mempertahankan hadirnya prilaku yang tidak didinginkan jauh lebih
kuat dari konteks lain seperti kepribadian/watak. Apabila tindakan yang diambil
semakin keras/kasar, lebih dalam, atau lebih ekstensif (misalnya pembicaraan lebih
srius, hukuman lebih berat, bantuan interpersonal lebih besar), semuanya ini
bukanlah mengubah konteks; tidakankan-tindakan demikian hanya menjadi lebih
interdependen dengan perilaku yang ingin diubah. Di USA seperti dikemukakan
Salomon, dulu orang beranggapan dan percaya bahwa anak-anak yang tergolong
tidak beruntung secara kultural, misalnya kulit hitam yang belum bersekolah
akan rendah skor tes IQ mereka disebabkan motivasi yang rendah. IQ rendah juga
dianggap disebabakan oleh pengasuhan yang tidak beres, dari pada tersebab oleh
kondisi testing sendiri yang ternyata mempunyai efek motivasi yang merugikan
anak. Semakin anak-anak tidak beruntung secara kultural ini diberi label
demikian, lalu dipisahkan untuk mendapatkan perlakuan khusus, maka semakin
label dan perlakuan tersebut malah menyebabkan terpertahankannya kemampuan
mereka yang rendah tersebut.
Ditegaskan
Salomon, ini tidaklah berarti bahwa bakat, preferensi-preferensi awal, lemahnya
keterampilan dan lainnya tidak mempengaruhi interaksi. Semua itu memang
mempengaruhi interaksi. Namun demikian, sekali interaksi terjadi, ia akan
berfungsi sebagai konteks nyata yang kuat, yang sering mengenyampingkan
disposisi-disposisi sebelumnya. Setiap orang akan membawa kedalam kejadian
kejadian yang dimasuki, disposisi-siposisi (yaitu konteks personal atau skemata)
dengan mana ia akan mendekati, menginterpretasi serta bereaksi terhadap
orang-orang lainnya. Bagaimanapun, pada saat hubungan semakin membaik atau
akrab dari waktu ke waktu, maka interdependensi antara persepsi dengan perilaku
menjadi lebih berkembang, dan pada saat itu pula strategi dan taktik yang lebih
bersifat rutin terwujud. Dengan demikian, suatu pola interaksi cenderung untuk
terjadi secara berulang dengan sedikit variasi dari suatu sekuensi-sekuensi berikutnya. Kini hubungan
menjadi konteks yang menonjol, seperti yang dikemukakan Peterson (1979) bahwa,
pada setiap tingkatan dan proses pembentukan hubungan, pola interaksi yang
terjadi secara berulang diantara partisipan, adalah hubungan tersebut. Dan
pengaruh konteks ini terhadap perilaku si partisipan dalam memelihara atau
mempertahankan perilaku-perilaku yang hadir saat itu adalah lebih kuat
dibanding dengan pengaruh bakat atau disposisi awal dari partisipan.
Pola-pola
kontak interpersonal berkembang dalam cara berbeda tergantung pada apakah perilaku
orang lain dilihat sebagai ditentukan oleh (dikontekstualisasikan dari segi)
sifat-sifat kepribadian atau oleh interaksi. Bila sebab dari perilaku orang
lain diatribusikan pada sifat-sifat kepribadian, orang yang mempersepsi
demikian, cenderung berusaha mengubah sifat kepribadian yang tidak diinginkan
atau memperkuat sifat kepribadian yang diinginkan. Inilah terutama yang
dilakukan para pendidik yang sering merasa untuk merubah siswa. Dengan demikian
bila si pendidik melihat siswa sebagai “bandel”, ada kecenderungan untuk
menggunakan tindakan yang lebih keras untuk mengatasi kebandelan tersebut;
dalam hal ini berusaha mengubah sifat-sifat kepribadian itu sendiri (misalnya
selalu diperingatkan, “jangan bandel”).
Butir
penting yang perlu dicatat adalah, apakah usahya untuk memperbaiki sifat-sifat kepribadian
seseorang tersebut dipersepsinya sebagai bersifat kebajikan atau jahat, yang
pasti adalah orang tersebut akan berbuat untuk membalasnya. Dalam keadaan bila
dipersepsi sebagai bersifat berkebajikan, konteks tersebut diterima, dengan
demikian membawa pada selffulfilling atau self-sustaining prorhecy; disini si
siswa menjadi percaya bahwa ia bisa, lalu berprilaku sesuai dengan itu. Bila
dipersepsi sebagai jahat, konteks demikian ditolak, maka lingkaran setah
jadinya dipertahankan, malah menjadi lebih terperkuat; disini si siswa menjadi
tidak kooperatif, sehingga menyebabkan dilakukan tindakan represif yang lebih
kuat/keras lagi oleh guru.
Kini
ceriteranya akan berbeda sama sekali bila si pendidik melihat perilaku siswa
dalam konteks interaksional. Pertama, si guru akan cenderung memperhatikan
masukan-masukan yang bersifat personal dan konteks yang bersifat interaksi, dan
tidak berusaha mengubah secara langsung tingkahlaku yang mendasari
kepribadiannya. Perbedaan kedua, siswa kurang suka melihat tindakan guru berupa
pesan yang dimaksudkan ingin merubah kebodohan atau kejelekan, atau kenakalan,
dan lebih suka melihat tindakan yang dimaksud untuk mengubah konteks.
Kesimpulan
uraian di atas, diperoleh bahwa kontak interpersonal dipengaruhi oleh konteks,
namun seperti halnya dengan skemata, sukar-untuk merumuskan suatu taksonomi
dari konteks, terlepas dari cara, bagaimana konteks dipersepsikan. Dua cara
yang ekstrim mengkontekstualisasikan perilaku orang lain adalah (1) menempatkan
perilaku ke dalam konteks watak atau disposisi atau kepribadian, dan (2)
menempatkannya ke dalam konteks interaksi.
C.
Konteks
Dalam Komunikasi Bermedia
Sebagaimana
halnya belajar di sekolah dan dengan hubungan interpersonal, konteks tempat
terjadinya kontak dengan media, mempengaruhi cara dalam mana media memberikan
pengaruhnya. Media itu sendiri juga berperan sebagai konteks. Ternyata suatu
film yang ditayangkan dalam TV yang lebih serius penayangannya (misalnya saja
Panasonic Cinema dalam metro TV) akan ditonton dengan AIME yang lebih besar
dibandingkan dengan jika ditayangkan sebagai selingan dalam TV komersial.
Salomon
mengemukakan bahwa, bukanlah isi ataupun modus penggunaannya yang membuat
perbedaan esensi antar media. Suatu cerita dapat dibaca dalam buku,
didengarkan, atau didramatisasikan dalam TV; demikian juga eksperimen ilmiah
dapat dibaca dalam naskah, dilihat di laboratorium, atau dipertunjukkan di
layar.
Maka
yang membuat perbedaan esensi antar media adalah sistem lambangnya. Misalnya,
kombinasi-kombinasi yang menarik antar gambar, bunyi, program dan komersial
pada TV; bahasa tulis formal pada buku; kartografi pada peta, dan seterusnya.
Modus-modus presentasi yang berbeda ini berperan sebagai konteks pemaknaan,
setidaknya dalam dua cara, (1) kita punya alasan untuk percaya bahwa
sistem-sistem lambang berbeda dan komponen-komponen lambang berbeda di
dalamnya, diproses oleh keterampilan mental yang berbeda jenisnya, (2) isi yang
sama yang dipresentasikan melalui sistem lambang berbeda, ternyata menghasilkan
informasi yang berbeda.
Lambang
tidak ada artinya sama sekali, kecuali kalau dilihat sebagai bagian dari suatu
sistem. Menempatkan suatu lambang, karakter, atau sein kedalam konteks dari
suatu sistem tertentu menentukan statusnya sebagai lambang atau sein, serta
makna spesifiknya. Demikian juga halnya suatu sub-sistem. Huruf E memberikan
bunyi berbeda di dalam konteks Bahasa Inggris dan dalam konteks Bahasa
Indonesia. Demikian juga, dalam suatu bahasa bunyi dipengaruhi oleh konteks
kata-katanya (minsalnya bagaimana kata-kata ini dibunyikan: use dan utterance).
Dapat
dikatakan, demikian Salomon, masing-masing sistem lambang mempunyai muatan
intrinsik masing-masing yang terhadapnya kita memakaikan secara berbeda
keterampilan-keterampilan mental untuk memprosesnya. Kita juga telah belajar
mencari informasi berbeda, tergantung pada sistem lambang tempat kita
mengkontekstualisasikan tempat. Demikianlah, kita tahu bahwa gambar bersifat
analog maka dicarilah kesamaan antara gambar tersebut dengan referensinya; juga
kita tahu bahwa kata-kata adalah sein-sein yang bersifat bebas (arbitrer)
sehingga kita tidak mencari kesamaan antara kata-kata tersebut dengan
referensinya.
Disinilah
persisnya perbedaan antara sistem lambang sebagai konteks dengan skemata
sebagai konteks. Orang menempatkan pesan-pesan yang dikenalnya sebagai gambar
ke dalam konteks piktoral; lalu ini memberikan petunjuk baginya bahwa dalam hal
ini yang akan dilakukannya adalah melihat kesamaanatau realismenya.
Selanjutnya
sistem lambang dalam komunikasi dapat lebih dekat tetapi dapat pula lebih jauh
dari sistim lambang kognitif yang kita gunakan pada suatu waktu untuk satu
tujuan, dan untuk isi spesifik tertentu. Beralasan untuk menduga bahwa kita
umumnya berfikir tentang hubungan spatial adalah dalam ujud imej-imej, sehingga
dengan demikian lukisan akan lebih dedat pada representasi mental dibandingkan
dengan jarak dari kata-kata ke representasi mental tersebut.
Kesimpulannya
adalah, sistem lambang berperan sebagai konteks di dalam dua cara. Pertama,
orang me-recode pesan ke dalam modus representasi internal, sementara banyaknya
langkah-langkah recording menentukan “kemudahan” dari pesan serta
kerealisasinya. Sistem lambang internal ini adalah konteks yang memerankan
fungsi pemaknaan. Kedua, merupakan standar yang akan digunakan terhadap pesan.
Bila standar tersebut berupa standar piktoral, karakteristik tertentu dari
pesan menjadi relevan dan menunjukkan akan adanya serta pentingnya
karakteristik lainnya. Standar demikian adalah konteks yang memerankan fungsi
normatif. Ini adalah oleh karena ia memberi petunjuk karakteristik pesan
manakah yang relevan serta apakah yang diindikasikannya. Jadi ada dua fungsi
pemaknaan dan ada fungsi normatif.
Daftar Rujukan
Abizar. 2008. Interaksi
Komunikasi dan Pendidikan. Padang: UNP Press
2004. Interaksi Komunikasi dan
Pendidikan. Padang: UNP Press
No comments:
Post a Comment