Friday, December 7, 2018

KONTEKS DAN PESAN : HUBUNGAN YANG BERSIFAT TIMBAL BALIK



KONTEKS DAN PESAN : HUBUNGAN YANG BERSIFAT
TIMBAL BALIK

Konteks telah dikemukakan dalam bagian-bagian awal, dalam rangka membicarakan klasifikasi komunikasi. Konteks disini dimaksud sebagai suatu latar belakang yang unik dalam mana kejadian dan proses mendapatkan bentuknya. Sudah pasti, komunikasi tidak pernah terjadi dalam situasi vakum, demikian Mortensen (dalam Trenholm, 1986). Istilah konteks disini khusus dipergunakan untuk
mengklasifikasikan komunikasi. Ada setidaknya empat pendekatan terhadap konteks dengan mana nanti mempunyai klasifikasi komunikasi tersendiri. Pertama, pendekatan situasional membedakan komunikasi atas interpersonal, kelompok, organisasi, publik dan massa; kedua, pendekatan fungsional membedakan komunikasi atas, pengembangan dan pemeliharaan hubungan, pertukaran informasi, persuasi, terapi, pembangunan solidaritas sosial, dan estetika; ketiga, pendekatan kognitif membedakan komunikasi atas intrapersonal, interpesonal, dan orang ke orang; dan keempat, pendekatan gaya, untuk menekankan adanya komunikasi retorika, dan atas dasar itu ditemuilah konsep-konsep keterbukaan, keterpercayaan, pembukaan diri, dan seterusnya (Trenholm,1986). Pada bagian berikut ini konteks dibicarakan dalam pengertian dan perannya yang paling dalam, dan tujuannya pun untuk lebih memahami bagaimana pesan beradaptasi dalam suatu konteks ataupun sebaliknya.
Kemudian, Salomon mendefinisikan konteks sebagai sesuatu yang memberikan makna terhadap sesuatu lainnya dan dipersepsikan berada dalam level generalitas yang lebih tinggi dari pada yang lain. Disini tingkah laku, tempat, waktu, lambang, organisasi, peran, pengaturan ruang, ekspresi mengenai hubungan ataupun lainnya yang sejalan dengan itu, berperan sebagai konteks. Disini terlihat adanya dua kondisi, yaitu pertama, sesuatu yang memberi makna terhadap sesuatu lainnya, dan kedua, sesuatu tersebut berada pada tingkat generalitas yang lebih tinggi.
Bertalian dengan defenisi tersebut, konteks, tersusun secara hirarkis, dimana konteks super ordinat akan meliputi beberapa dibawahnya lagi, dan seterusnya. Sebagai ilustrasi, jam istirahat di antata dua sesi perkuliahan misalnya, memberi kesempatan kepada mahasiswa dan pengajar untuk bertingkah laku atau berbuat (misalnya bersorak) yang hal begini tidaklah di izinkan selama sesi perkuliahan, dan ini memberi makna khusus. Satu kelas konteks yang lebih khusus adalah setting tingkah laku, di antaranya, kelas perkuliahan,rumah ibadah, lapangan voli, pos kelompok remaja, kafetaria, dan seterusnya.konteks setting tingkah laku ini merupakan kesatuan dari tiga komponen, yaitu komponen fisik, komponen orang, dan komponen kejadian yang sedang berlangsung. Jadi seting tingkah laku adalah komponen dari sistem sosial yang lebih besar dan lebih kompleks seperti komunitas dan institusi.sebagai ciri umum dari segala sesuatu yang berfungsi sebagai konteks adalah bahwa, ia tidaklah berada di luar dari yang diberikannya konteks.jadi mungkin hadir sebagai tempat, sebagai waktu, sebagai lambang, sebagai peran, dan lain nya.
Sebagai ciri umum dari segala sesuatu yang berfungsi sebagai konteks, adalah bahwa, ia tidaklah berada di luar dari yang diberinya konteks. Jadi mungkin hadirnya sebagai tempat, sebagai waktu, sebagai sistem lambang, sebagai peran, dan lainnya.
Dalam memahami komunikasi, ada tiga kesamaan utama antara konteks dan skemata, seperti yang dikemukakan berikut :
Pertama, pesan tidak dapat dipersepsikan di luar konteks. Konteks seperti halnya skemata memberi tahu pada kita apa-apa yang akan diantisipasi dan akan dan bagaimana untuk mengertinya. Ia juga memberi tahu jenis pesan yang legitimet dan apa-apa yang boleh dikatakan atau dilakukan atas dasar tempat, waktu, orang-orang, peran-peran, dan lainnya yang sedang kita hadapi.
Kedua, konteks seperti halnya skemata, tersusun secara hirarkis. Pada dasarnya skemata tersusun secara hirarkis dalam arti generalitas (misalnya komunikasi lebih tinggi posisi hirarkisnya dari media); dan dalam tiap tipikalitasnya (khusus yang lebih tipikal mengkontekstualisasikan suatu varian). Generalitas merupakan apa-apa yang termasuk di dalamnya. Sebagai contoh, konsep waktu lebih umum dari konsep pagi, dan konsep pagi termasuk dalam konsep waktu.
Ketiga, pesan dan konteks kadang-kadang dapat bertukar peran, itu berarti persepsi mengenai apakah itu konteks dan apakah itu pesan, adakalanya tergantung pada pilihan perspektif seseorang. Apakah respon saya yang berupa kemarahan akan dimaafkan dalam konteks iklim yang Anda ciptakan oleh nada suara Anda, atau apakah nada suara Anda akan dimengerti dalam konteks kemarahan saya yang terekspresikan. Jawabannya tidak hanya satu yang benar, keduanya berhubungan secara sirkuler. Iklim kelas adalah konteks bagi praktek pemberian nilai oleh guru, dan juga bagi absensi siswa. Bila iklim positif, akan terjadilah belajar siswa yang lebih baik, lebih banyak perkuatan/penguatan diberikan, dan absensi siswa akan menurun. Sebaliknya, prkatek pemberian nilai yang lebih liberal dapat menjadi konteks; sementara iklim yang suportif sebagai kejadian. Kita dapat menggeneralisasikan kasus-kasus di atas, bahwa, semakin dekat pesan dan konteks satu sama lainnya dalam hirarki, keduanya akan semakin interdependan dan “meminjamkan” makna kepada satu sama lainnya.
A.      Konteks Dan Belajar: Peran-Peran yang Dapat Saling Di Pertukarkan.
         Satu konteks umum untuk belajar adalah “persekolahan”(schooling), yaitu keseluruhan kebudayaan yang meliputi institusionalisasi pendidikan, pembagian pekerjaan di dalam nya, aturan-aturan yang di tegakkan, kehadiran yang di wajibkan dan lainnya.konteks sistem persekolahan kurang bersifat umum, misalnya tingkat sentralisasi organisasinya.sistem-sistem yang kurang tersentralisasi, misalnya sekolah-sekolah di USA, dilukiskan dalam istilah pasangan longgar. Sekolah-sekolah biasanya lebih adaptif pada tuntutan lokal, tetapi rentan terhadap manipulasi, tidak berdaya dalam segalanya kecuali klaisfikasi yang sifatnya rutual, dan relatif masih tidak mengalami perubahan oleh segala seatu yang terjadi di dalam sekolah. Berbeda dengan itu, adalah sekolah-sekolah di Inggris yang lebih terkoordinasi secara internal. Evaluasi dan kontrol dilaksanakan di bawah otritas kepala sekolah yang perannya (yaitu kepala sekoah) amat besar di sekolah maupun dimasyarakat umumnya, dan ini berakar dari tradisi yang mapan. Perbedaan antara sistem dan pasangan longgar dengan sistem yang bersifat pasangan yang lebih erat, mempengaruhi otonomi kepala sekolah dan guru, juga mempengaruhi kemampuan dari sistem untuk beradaptasi terhadap kondisi sosial yang selalu berubah.
Sekolah berada pada suatu level yang bersifat pada kurang umum. Sekolah berbeda satu sama lain didalam batas-batas sistem yang lebih ketat atau lebih tidak berpasangan dalam segi luasnya, kekompakan atau keterisolasian dalam fisiknya, iklim sosialnya dalam keseluruhan, dan ideologi kontrol secara keseluruhan. Berkenaan denga kontek yang dikemukan terakhir (ideologi kontrol), dari studi mereka secara besar-besaran mengenai guru-guru dan administrator, Rafalides dan Hoy (1971) menemukan bahwa, keterasingan siswa sepertinya terjadi akibat sistem kontrol yang bersifat otoriter, dimana siswa-siswa diharapkan menerima keputusan-keputusan dari guru tanpa dapat dipertanyakan. Duke dan Perry (1978) menemukan yang sebaliknya, bahwa sikap dan keyakinan guru cukup berbeda pada sekolah-sekolah yang lebih terbuka, dimana disana hanya ditemukan sedikit masalah disiplin para siswanya, mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam mengelola diri sendiri.
Konteks kontrol mempengaruhi konteks lebih bawahnya seperti pengelolaan dan iklim kelas. Sehubungan dengan ini, dari temun para peneliti, Salomon mengemukanan bahwa, dampak dari sikap pimpinan sekolah terhadap perilaku guru ternyata lebih kecil bila yang diajar adalah siswa-siswa yang bermotivasi tinggi (sebaliknya mengajar siswa-siswa yang mempunyai motivasi rendah, dengan lebih mengarahkan, kurangnya reword, hasil belajar lebih rendah, dan kurang bersifat suportif terhadap siswa). Ini memberikan indikasi bahwa guru yang mengajar dibawah tekanan (kepala sekolah) agar lebih mengontrol siswa, dapat berakibat rendahnya nilai (hasil belajar) siswa, dan terbentuk opini negatif dari guru, yang keduanya ini dapat menurunkan/merusak kemungkinan/kesempatan masa depan siswa-siswa yang mempunyai motivasi rendah.
Konteks penting lainya ialah kontek sosial kelas. Sejumlah kajian disimpulkan Salomon, ternyata strategi pengelolaan kelas dari guru dan iklim kelas punya saling keterkaitan dan dapat dilihat saling mengkontekstualisaikan satu sam lain. Saling ketergantungan demikian juga terlihat antara konteks soaila kelas dengan hasil belajar siswa. Dalam hal ini, ternyata kelas dengan pola persahabatan yang bersifat suportif, memperkuat belajar (akademis), sementara kelas dengan hubungan yang bersifat tekanan-tekanan yang menghalangi belajar.
Konteks-konteks khusus lainnya yang mempengaruhi belajar ialah: ketaatan atau penyimpangan (ketidak taatan) guru terhadap aturannya sendiri mengenai jawaban yang didapat dianggap benar atau tidak benar, penataan tempat duduk dan perabot, diberikannya “atvencet organizer” dalam pengajarannya, perspektif dan tujuan-tujuan yang bersifat priori dan lainnya.
Satu hal penting lainnya yang menurut Salomon perlu dikemukakan (belum banyak mendapat perhatian) adalah hubungan antara konteks dan belajar. Dipercaya bahwa konteks dan belajar berpengaruh timbal balik, dimana hasil belajar itu sendiri mempunyai efek terhadap persahabatan dalam kelompok peer, serta konsep diri siswa. Kedua cara ini bukanlah bersifat “mutually-exclusive”. Iklim kelas, konsep diri, dan hasil belajar, sesungguhnya satu sama lain berpengaruh secara timbal balik. Sambil memberi siswa-siswanya aturan-aturan yang secara relatif bersifat eksplisit, guru amat sering menyesuaikannya dengan kejadian-kejadian yang berjalan terus selama proses belajar mengajar aktual. Artinya, aturan-aturan dalam situasi sosial, bersifat interpretif. Kebenaran dari suatu aturan harus diinterpretasikan terhadap latar belakang karakteristik dari setingan yang selalu berubah, yang mungkin meliputi perilaku-perilaku siswa, harapan-harapan si guru, struktur pernyataan dan lainnya.
Ringkasnya, konteks kelas riil, pesan intruksional, dan hasil belajar cukup dekat satu sama lain, sehingga memungkinkan punya pengaruh timbal balik. Namun, kedekatan tidak dapat menerangkan kenapa pengaruh timbal balik itu terjadi. Proses ini terjadinya karena (tidak seperti halnya konteks yang berjarak jauh yang mengisyaratkan norma-norma umum tingkah laku) konteks yang lebih dekat mengisyaratkan makna spesifik, sementara makna itu sensitif terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam suatu situasi.
B.       Konteks Dalam Komunikasi Interpersonal
Pada umumnya orang berusaha untuk menyesuaikan tingkah laku mereka terhadap tuntutan dari konteks seperti yang dikonsepsikan mereka, sehingga dengan demikian mereka tidak akan dipersepsikan orang sebagai pembuat bencana, menyimpang, gila, jelek, ataupun bodoh.
Orang juga memberikan makna terhadap perilaku orang lain atas dasar konteks tempat terjadinya tingkah laku tersebut. Misalnya, sesuai dengan teori atribusi tingkah laku, orang memberi makna terhadap kegagalan di sekolah, dapat saja orang melihatnya dari konteks rendahnya kemampuan, kurangnya usaha, atau memang nasib jelek. Pada umumnya konteks interpersonal mempengaruhi jenis pertukaran pesan yang terjadi. Pada langkah selanjutnya, pertukaran informasi ini mempengaruhi pula konteks.
Ditegaskan Salomon, susah untuk membangun katalog satu taksonomi dari konteks interpersonal. Yang pasti adalah, orang dan situasi tidaklah bisa dianggap sebagai dua unit yang otonom, yang kebetulan berinteraksi satu sama lain pada saat-saat tertentu. Yang lebih benar adalah, keduanya (orang dan situasi) berfungsi dan hadir sebagai dua kutub yang saling berketergantungan dalam proses prilaku yang satu. Maka,pada saat mengkaji bagian pola-pola komunikasi berkembang dalam konteks hubungan yang simestris atau komplementer, kita harus ingat bahwa konteks itu adanya di dalam kepala atau pikiran orang, dan bahwa pertukaran yang berlangsung terus menerus itu secara berangsur-ansur pula mengubah konteks. Pernyataan Mischel (1977) yang dikutip Salomon, bahwa amat penting untuk dihindari melihat hal di atas hanya menggunakan psikologi karakter (natisme) terhadap situasi, dimana kejadian-kejadian dan seting-seting hanyalah diberi label berbeda, sementara unsur manusianya diabaikan. Tugas untuk memberikan label-label pada situasi tidaklah bisa menggantikan kewajiban untuk menganalisis bagaimana situasi dan lingkungan berinteraksi dengan orang-orang yang ada di dalamnya.
Interaksi demikian biasanya diabaikan bila tingkahlaku dilihat dalam suatu konteks yang menekankan hanya situasi atau bawaan yang didefinisikan secara ketat. Sejumlah penelitian memperlihatkan bahwa, orang umumnya lupa/mengabaikan konteks situasional (yaitu situasi sebagai konteks) serta kemampuan manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan. Ini menyebabkan terjadinya kekeliruan dalam meletakkan “penyebab”, sehingga dipersepsikan orang-orang sebagai malas, tidak beruntung, patuh, atau tidak terlibat, yang seolah-olah label tersebut bersifat permanen, hadir dimana-mana, dan sebagai perilaku yang tidak terpaut konteks. Terbukti juga bahwa, kita sangat suka mengabaikan konteks dan melihat segala sesuatu (dari orang) sebagai ujud dari watak/bawaan negatif seseorang yang hanya kita tahu sebagian/sedikit.
Disini kita menghadapi suatu paradok. Dari satu segi, orang adalah amat fleksibel dalam mengadaptasikan perilaku mereka terhadap tuntutan-tuntutan situasi sesuai persepsi mereka. Di segi lain, orang satu sama lain menempatkan tingkahlaku masing-masing kedalam konteks bawaan. Kelebih-sukaan untuk menempatkan bawaan/kepribadian sebagai pengendali tingkahlaku pada orang lain, sebagaimana disebabkan oleh karena skema mengenai kepribadian ini telah dipelajari secara dalam, difahami bersama secara lebih luas, serta mudah diingat, sementara tuntutan-tuntutan yang selalu berubah dari konteks situasional, mudah sekali untuk terabaikan. Epstein (1997) menegaskan, (1) secara emosional amat menyenangkan bahwa perilaku itu dapat diramalkan, terutama sekali jika hal tersebut adalah perilaku orang lain, (2) perilaku lebih muda diklasifikasikan dari orang-nya daripada dari segi situasi, dan (3) orang rupanya memiliki semacam teori kepribadian terpendam yang mengasumsikan adanya stabilitas dalam kepribadian, dan teori ini memberikan bias terhadap persepsi mereka.
Kesulitan lebih besar mempersepsi konteks situasional daripada konteks kepribadian, adalah karena orang yang mepersepsi tersebut merupakan bagian dari konteks orang lain, sehingga memberi pengaruh nyata pada orang lain tersebut. Bila perilaku orang lain harus dipersepsi sebagai aneh, tidak diharapkan, ataupun tidak diinginkan, maka akan lebih selamat jika itu diatribusikan pada kepribadian, daripada kepada hasil “masukan dari dirinya sendiri”.
Banyak macamnya intervensi yang bersifat hukuman serta korektif telah dilakukan namun tidak begitu berhasil, karena intervensi-intervensi demikian tidak mengubah kontaks situasional yang berlangsung secara nyata, dimana konteks situasional nyata ini mempertahankan hadirnya prilaku yang tidak didinginkan jauh lebih kuat dari konteks lain seperti kepribadian/watak. Apabila tindakan yang diambil semakin keras/kasar, lebih dalam, atau lebih ekstensif (misalnya pembicaraan lebih srius, hukuman lebih berat, bantuan interpersonal lebih besar), semuanya ini bukanlah mengubah konteks; tidakankan-tindakan demikian hanya menjadi lebih interdependen dengan perilaku yang ingin diubah. Di USA seperti dikemukakan Salomon, dulu orang beranggapan dan percaya bahwa anak-anak yang tergolong tidak beruntung secara kultural, misalnya kulit hitam yang belum bersekolah akan rendah skor tes IQ mereka disebabkan motivasi yang rendah. IQ rendah juga dianggap disebabakan oleh pengasuhan yang tidak beres, dari pada tersebab oleh kondisi testing sendiri yang ternyata mempunyai efek motivasi yang merugikan anak. Semakin anak-anak tidak beruntung secara kultural ini diberi label demikian, lalu dipisahkan untuk mendapatkan perlakuan khusus, maka semakin label dan perlakuan tersebut malah menyebabkan terpertahankannya kemampuan mereka yang rendah tersebut.
Ditegaskan Salomon, ini tidaklah berarti bahwa bakat, preferensi-preferensi awal, lemahnya keterampilan dan lainnya tidak mempengaruhi interaksi. Semua itu memang mempengaruhi interaksi. Namun demikian, sekali interaksi terjadi, ia akan berfungsi sebagai konteks nyata yang kuat, yang sering mengenyampingkan disposisi-disposisi sebelumnya. Setiap orang akan membawa kedalam kejadian kejadian yang dimasuki, disposisi-siposisi (yaitu konteks personal atau skemata) dengan mana ia akan mendekati, menginterpretasi serta bereaksi terhadap orang-orang lainnya. Bagaimanapun, pada saat hubungan semakin membaik atau akrab dari waktu ke waktu, maka interdependensi antara persepsi dengan perilaku menjadi lebih berkembang, dan pada saat itu pula strategi dan taktik yang lebih bersifat rutin terwujud. Dengan demikian, suatu pola interaksi cenderung untuk terjadi secara berulang dengan sedikit variasi dari suatu  sekuensi-sekuensi berikutnya. Kini hubungan menjadi konteks yang menonjol, seperti yang dikemukakan Peterson (1979) bahwa, pada setiap tingkatan dan proses pembentukan hubungan, pola interaksi yang terjadi secara berulang diantara partisipan, adalah hubungan tersebut. Dan pengaruh konteks ini terhadap perilaku si partisipan dalam memelihara atau mempertahankan perilaku-perilaku yang hadir saat itu adalah lebih kuat dibanding dengan pengaruh bakat atau disposisi awal dari partisipan.
Pola-pola kontak interpersonal berkembang dalam cara berbeda tergantung pada apakah perilaku orang lain dilihat sebagai ditentukan oleh (dikontekstualisasikan dari segi) sifat-sifat kepribadian atau oleh interaksi. Bila sebab dari perilaku orang lain diatribusikan pada sifat-sifat kepribadian, orang yang mempersepsi demikian, cenderung berusaha mengubah sifat kepribadian yang tidak diinginkan atau memperkuat sifat kepribadian yang diinginkan. Inilah terutama yang dilakukan para pendidik yang sering merasa untuk merubah siswa. Dengan demikian bila si pendidik melihat siswa sebagai “bandel”, ada kecenderungan untuk menggunakan tindakan yang lebih keras untuk mengatasi kebandelan tersebut; dalam hal ini berusaha mengubah sifat-sifat kepribadian itu sendiri (misalnya selalu diperingatkan, “jangan bandel”).
Butir penting yang perlu dicatat adalah, apakah usahya untuk memperbaiki sifat-sifat kepribadian seseorang tersebut dipersepsinya sebagai bersifat kebajikan atau jahat, yang pasti adalah orang tersebut akan berbuat untuk membalasnya. Dalam keadaan bila dipersepsi sebagai bersifat berkebajikan, konteks tersebut diterima, dengan demikian membawa pada selffulfilling atau self-sustaining prorhecy; disini si siswa menjadi percaya bahwa ia bisa, lalu berprilaku sesuai dengan itu. Bila dipersepsi sebagai jahat, konteks demikian ditolak, maka lingkaran setah jadinya dipertahankan, malah menjadi lebih terperkuat; disini si siswa menjadi tidak kooperatif, sehingga menyebabkan dilakukan tindakan represif yang lebih kuat/keras lagi oleh guru.
Kini ceriteranya akan berbeda sama sekali bila si pendidik melihat perilaku siswa dalam konteks interaksional. Pertama, si guru akan cenderung memperhatikan masukan-masukan yang bersifat personal dan konteks yang bersifat interaksi, dan tidak berusaha mengubah secara langsung tingkahlaku yang mendasari kepribadiannya. Perbedaan kedua, siswa kurang suka melihat tindakan guru berupa pesan yang dimaksudkan ingin merubah kebodohan atau kejelekan, atau kenakalan, dan lebih suka melihat tindakan yang dimaksud untuk mengubah konteks.
Kesimpulan uraian di atas, diperoleh bahwa kontak interpersonal dipengaruhi oleh konteks, namun seperti halnya dengan skemata, sukar-untuk merumuskan suatu taksonomi dari konteks, terlepas dari cara, bagaimana konteks dipersepsikan. Dua cara yang ekstrim mengkontekstualisasikan perilaku orang lain adalah (1) menempatkan perilaku ke dalam konteks watak atau disposisi atau kepribadian, dan (2) menempatkannya ke dalam konteks interaksi.
C.      Konteks Dalam Komunikasi Bermedia
Sebagaimana halnya belajar di sekolah dan dengan hubungan interpersonal, konteks tempat terjadinya kontak dengan media, mempengaruhi cara dalam mana media memberikan pengaruhnya. Media itu sendiri juga berperan sebagai konteks. Ternyata suatu film yang ditayangkan dalam TV yang lebih serius penayangannya (misalnya saja Panasonic Cinema dalam metro TV) akan ditonton dengan AIME yang lebih besar dibandingkan dengan jika ditayangkan sebagai selingan dalam TV komersial.
Salomon mengemukakan bahwa, bukanlah isi ataupun modus penggunaannya yang membuat perbedaan esensi antar media. Suatu cerita dapat dibaca dalam buku, didengarkan, atau didramatisasikan dalam TV; demikian juga eksperimen ilmiah dapat dibaca dalam naskah, dilihat di laboratorium, atau dipertunjukkan di layar.
Maka yang membuat perbedaan esensi antar media adalah sistem lambangnya. Misalnya, kombinasi-kombinasi yang menarik antar gambar, bunyi, program dan komersial pada TV; bahasa tulis formal pada buku; kartografi pada peta, dan seterusnya. Modus-modus presentasi yang berbeda ini berperan sebagai konteks pemaknaan, setidaknya dalam dua cara, (1) kita punya alasan untuk percaya bahwa sistem-sistem lambang berbeda dan komponen-komponen lambang berbeda di dalamnya, diproses oleh keterampilan mental yang berbeda jenisnya, (2) isi yang sama yang dipresentasikan melalui sistem lambang berbeda, ternyata menghasilkan informasi yang berbeda.
Lambang tidak ada artinya sama sekali, kecuali kalau dilihat sebagai bagian dari suatu sistem. Menempatkan suatu lambang, karakter, atau sein kedalam konteks dari suatu sistem tertentu menentukan statusnya sebagai lambang atau sein, serta makna spesifiknya. Demikian juga halnya suatu sub-sistem. Huruf E memberikan bunyi berbeda di dalam konteks Bahasa Inggris dan dalam konteks Bahasa Indonesia. Demikian juga, dalam suatu bahasa bunyi dipengaruhi oleh konteks kata-katanya (minsalnya bagaimana kata-kata ini dibunyikan: use dan utterance).
Dapat dikatakan, demikian Salomon, masing-masing sistem lambang mempunyai muatan intrinsik masing-masing yang terhadapnya kita memakaikan secara berbeda keterampilan-keterampilan mental untuk memprosesnya. Kita juga telah belajar mencari informasi berbeda, tergantung pada sistem lambang tempat kita mengkontekstualisasikan tempat. Demikianlah, kita tahu bahwa gambar bersifat analog maka dicarilah kesamaan antara gambar tersebut dengan referensinya; juga kita tahu bahwa kata-kata adalah sein-sein yang bersifat bebas (arbitrer) sehingga kita tidak mencari kesamaan antara kata-kata tersebut dengan referensinya.
Disinilah persisnya perbedaan antara sistem lambang sebagai konteks dengan skemata sebagai konteks. Orang menempatkan pesan-pesan yang dikenalnya sebagai gambar ke dalam konteks piktoral; lalu ini memberikan petunjuk baginya bahwa dalam hal ini yang akan dilakukannya adalah melihat kesamaanatau realismenya.
Selanjutnya sistem lambang dalam komunikasi dapat lebih dekat tetapi dapat pula lebih jauh dari sistim lambang kognitif yang kita gunakan pada suatu waktu untuk satu tujuan, dan untuk isi spesifik tertentu. Beralasan untuk menduga bahwa kita umumnya berfikir tentang hubungan spatial adalah dalam ujud imej-imej, sehingga dengan demikian lukisan akan lebih dedat pada representasi mental dibandingkan dengan jarak dari kata-kata ke representasi mental tersebut.
Kesimpulannya adalah, sistem lambang berperan sebagai konteks di dalam dua cara. Pertama, orang me-recode pesan ke dalam modus representasi internal, sementara banyaknya langkah-langkah recording menentukan “kemudahan” dari pesan serta kerealisasinya. Sistem lambang internal ini adalah konteks yang memerankan fungsi pemaknaan. Kedua, merupakan standar yang akan digunakan terhadap pesan. Bila standar tersebut berupa standar piktoral, karakteristik tertentu dari pesan menjadi relevan dan menunjukkan akan adanya serta pentingnya karakteristik lainnya. Standar demikian adalah konteks yang memerankan fungsi normatif. Ini adalah oleh karena ia memberi petunjuk karakteristik pesan manakah yang relevan serta apakah yang diindikasikannya. Jadi ada dua fungsi pemaknaan dan ada fungsi normatif.





Daftar Rujukan
Abizar. 2008. Interaksi Komunikasi dan Pendidikan. Padang: UNP Press
   2004. Interaksi Komunikasi dan Pendidikan. Padang: UNP Press




No comments:

Post a Comment