Friday, December 7, 2018

DIMENSI KEKAYAAN DAN KEDALAMAN DALAM PROSES KOMUNIKASI



DIMENSI KEKAYAAN DAN KEDALAMAN DALAM
PROSES KOMUNIKASI

Pada BAB sebelumnya telah dikemukakan bahwa suatu pesan dapat berupa kejadian apa saja, asal maksud berkomunikasi terindikasi dari sumbernya. Dengan demikian segala sesuatu yang bersifat perilaku atau non-perilaku, objek, kejadian, perubahan didalam lingkungan baik masa lalu maupun kini,
dapat diambil sebagai pesan. Dari kekayaan sumber informasi ini, ditegaskan Salomon, ada dua aspek yang perlu mendapatkan perhatian khusus :
1.      Berkenaan dengan banyaknya hal yang dapat dianggap sebagai pesan dan sumber komunikasi. Istilah Goodman (1968) untuk hal ini adalah “Repleteness”, yang digunakan untuk menyatakan karakteristik dari sistem lambang yang bersifat non-notasional, dan disebut juga analog (telah dikemukakan didepan), misalnya lukisan, fotografi, sket yang didalamnya setiap bayangan, bentuk, garis, warna dan lainnya dapat dianggap bermakna. Istilah ini dipakai untuk komunikasi, karena bergitu banyak hal seperti kata-kata, perabot, pakaian, ekspresi wajah, gerakan tangan, dapat dianggap mengkomunikasikan sesuatu.
2.      Stacking” adalah bahwa di dalam suatu peristiwa komunikasi, orang dapat memproses informasi lebih dangkal atau masuk secara lebih mendalam ke level-level yang dikehendaki. Dalam membaca bukuteks misalnya, seseorang dapat hanya memandang sekilas intisari umum atau mengkaji lebih dalam teks untuk mendapatkan semacam benang merah, atau malah lebih dalam lagi untuk menemukan suatu agenda yang tersembunyi.
Repleteness dan stacking adalah karakteristik potensial dari peristiwa komunikasi.
Realisasi dari aspek repleteness menjadi sulit akibat dari setidaknya dua jenis konflik :
1)      Ada kemungkinan konflik antara dua atau lebih peristiwa, dimana terindikasi adanya makna yang tidak sama. Contohnya, seorang anak mendapat informasi dari sejawatnya bahwa tugas-tugas individual sekolah kurang penting dibandingkan dengan tugas-tugas kelompok, sementara anak tersebut menerima pesan yang berlawanan dengan itu dari orang tuanya.
2)      Konflik akan dialami tatkala repleteness dari informasi memerlukan penggunaan dua sumber informasi yang berbeda ( misalnya menonton TV atau membaca buku ). Bila hal ini terjadi, pemecahannya adalah melakukan tindakan epistemik suatu proses yang penuh usaha keras dalam melakukan proses yang lebih dalam. Atau orang dapat menghindari konflik sejak awal, dengan cara menjatuhkan bobot berbeda terhadap pesan atau sumber atau dengan jalan menegakkan garis pembeda diantara ( dua unsur yang konflik).
Sumber-sumber informasi akan terdiri dari bagian-bagian berbeda (misalnya TV membawa pula banyak hal lainnya disamping hiburan yang sifatnya dangkal), dan kita mengantisipasi secara selektif bagian-bagian yang khas dari suatu sumber, sering kita memberi bobot rendah terhadap sesuatu yang tidak berada dalam bagian-bagian yang kita pilih. Realisasi repleteness yang sangat potensial tersebut dalam komunikasi mengharuskan untuk menghindari konflik antar pesan. Sedangkan realisasi dari stacking walaupun tidak harus menimbulkan konflik ternyata juga sukar walaupun untuk alasan-alasan lain.
1.    Untuk memproses informasi secara lebih dalam, orang harus dipandu secara epistemik oleh sejumlah tujuan, pertanyaan, suatu konflik yang belum terpecahkan.
2.    Pengkajian yang lebih dalam dari suatu pesan adalah kegiatan berketerampilan tinggi. Bila, keterampilan yang diperlukan belum dikuasai secara baik, pemprosesan yang lebih dalam akan terkendala oleh kesulitan-kesulitan.
3.    Akan banyak hal tergantung pada persepsi seseorang mengenai nilai yang akan didapatkan dari pemprosesan yang dalam terhadap materi, yaitu atas dasar tujuan, situasi, maupun pesan yang dihadapinya.
Kesimpulannya adalah dunia ini penuh dengan komunikasi yang potensial. Bagaimanapun yang  jelas banyak terdapat konflik satu sama lain yang memerlukan proses epistemik dalam memberikan bobot pada berbagai sumber, serta memberikan fungsi pada semuanya. Proses ini dipandu oleh skemata yang yang ditentukan oleh budaya ataupun oleh personal, yang selanjutnya skemata inipun akan dipengaruhi oleh peristiwa itu sendiri. Repleteness dan stacking adalah potensial, namun realisasinya kadang-kadang sulit dan membutuhkan pelatihan. Berikut ini akan didalami permasalahan repleteness dan stacking ini yang akan dikaitkan dengan belajar secara umum, dengan media dan hubungan-hubungan interpersonal.

A.      Belajar Dan Investasi Usaha Mental
Elaborasi adalah proses penambahan/perkayaan terhadap informasi yang sedang dikaji. Dalam proses belajar dikenal sejumlah cara yang dapat dilakukan dalam rangka elaborasi (Abizar,1995). Betapa kayanya sumber informasi serta pesan yang dapat hadir pada kita dari dunia sekitar. Dalam hubungannya dengan proses komunikasi, hal tersebut dilihat dalam dua dimensi :
1.    Berkenaan dengan jumlah (berapa banyak)-nya sumber-sumber komunikasi dapat mengarahkan diri (yaitu dimensi repleteness)
2.    Jumlah dari (banyaknya) level-level dalam pesan yang dapat diproses (yaitu dimensi stacking).
Stacking pada hakekatnya adalah berkenaan dengan kedalaman memproses informasi, dengan demikian ini adalah proses elaborasi tersebut. Salomon memberikan pernyataan berikut : semakin kita berkonstrasi terhadap suatu materi artinya semakin kita berfikir tentang itu maka akan semakin terjadi proses belajar. Artinya lebih berkonsentrasi, lebih berfikir tentang sesuatu, mencari lebih banyak kaitannya dengan berbagai informasi yang terkait, semuanya itu adalah operasi-operasi mental yan tercakup dalam istilah elaborasi.
Faktor yang menentukan dari suatu proses elaborasi adalah jumlah materi yang dielaborasi. Disimpulkan, semakin seseorang mengelaborasi secara mental materi yang akan dipelajari, semakin banyak kontak dapat dibangun dengan skemata mental lainnya, sehingga meninggalkan lebih banyak jejak-jejak memori dan memperkaya makna yang didapatkan.
Dua implikasi dari pernyataan diatas adalah :
1.    Proses elaborasi yang lebih besar atau yang lebih dalam, tidak harus bergerak dari level permukaan ke level-level yang lebih dalam dari suatu materi. Masing-masing level dapat diproses lebih dangkal atau lebih dalam
2.    Besarnya elaborasi belum akan merupakan konsep yang memadai tanpa memperhitungkan setidaknya satu unsur lainnya yaitu ketidak otomatisan proses. Sebagai contoh seorang pengemudi yang telah berpengalaman, melibatkan elaborasi mental yang banyak dalam mengendara namun melakukannya secara relatif otomatis, berbeda dengan pengemudi pemula, pengemudi pemula melakukan elaborasi kira-kira sama dengan pemudi berpengalaman namun belum lagi dilakukan secara otomatis.
Apabila konsep kedalaman (depth) diartikan sebagai besarnya usaha mental yang diinvestasikan (amount of invested mental effort = AIME) dalam memproses suatu materi, maka ia akan dibangun oleh dua unsur : besarnya elaborasi mental yang dilakukan dan sejauh mana ia tidak/belum lagi otomatis. Dengan demikian AIME tidak seluruhnya tergantung pada sifat dari stimuli, tapi juga tergantung pada keterampilan yang dimiliki serta tingkat penguasaannya. Salomon menegaskan, bahwa AIME tergantung pada persepsi seseorang mengenai apa yang dituntut oleh materi stimulus, oleh situasi ataupun oleh tugas yang harus dikerjakan.
Persepsi mengenai tuntutan tugas mempengaruhi tidak hanya besarnya tapi juga jenis usaha mental yang diinvestasikan. Sebagai ilustrasi, Salomon dalam penelitiannya mempresentasikan pada sekelompok subjek satu film yang ceritanya terstruktur dengan baik dan pada kelompok lainnya cerita yang strukturnya tidak baik (membingungkan dan acak). Kemudian subjek penelitian diminta sebanyak mungkin mengemukakan berbagai alur cerita yang teridentifikasi serta melaporkan sebanyak mungkin rincian cerita. Kedua kelompok mempersepsikan situasi sebagai berikut : kelompok pertama melihat adanya keharusan untuk memecahkan masalah berupa ketidakpastian yang ditimbulkan oleh campur aduk sesara acak dari segmen-segmen cerita, sementara kelompok kedua mempersepsikan film tersebut amat sederhana sehingga hanya membutuhkan sedikit AIME. Persepsi-persepsi seperti diatas tidaklah cocok dengan tuntutan instruktur, sehingga menghasilkan performan yang jelek.
Teori tentang skemata yaitu yang menentukan adalah sifat dari pesan. Disamping itu, pengalaman dimasa lalu dengan pesan yang serupa dan juga antisipasi-antisipasi mengenai pengalaman dimasa depan, memainkan peranan penting. Yang berhubungan dengan pengalaman tersebut adalah persepsi seseorang akan kemampuannya untuk memproses dan mempelajari jenis-jenis informasi tertentu secara mendalam. Bandura, seperti dikutip Salomon menemukan bahwa semakin besar rasa mampu diri seseorang, akan semakin besar hasratnya untuk menginvestasikan usaha berkesinambungan dalam tugas serta memecahkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi.
Salomon mengemukakan temuan Bandura (1977) yang berbeda dengan itu. Ditemukan justru rasa mampu diri yang tinggi memberi dasar pada usaha yang lebih besar, dengan segala kesulitan bisa diatasi. Orang akan dengan mudah menyerah jika berhadapan dengan tugas-tugas yang ia merasa tidak mampu menggarapnya. Orang-orang yang persepsinya mengenai mampu diri adalah rendah tidaklah akan menginvestasikan usaha mental dalam suatu tugas oleh karena mereka yakin hal hal itu berada jauh diluar kemampuan mereka. Pada saat persepsi tentang rasa mampu diri meningkat, pada saat itu pengalaman-pengalaman positif jadi terakumulasi, dan demikian juga halnya dengan AIME. Bila siswa-siswa yang yakin akan gagal dalam mengerjakan sesuatu, namun dipaksa melakukannya, mereka akan mulai merasa sukses serta mengalami peningkatan rasa mampu diri.
Dapat dikatakan bahwa, persepsi tentang tuntutan tugas berhubungan kuat dengan persepsi seseorang mengenai rasa mampu diri dalam menggarap tipe-tipe tertentu dari pesan. Orang lain yang merasa dirinya mempunyai kemampuan sedang untuk menganalisisnya, akan merasa situasi menuntutnya untuk menginvestasikan usaha mental yang lebih besar, sehingga memperbesar AIME mereka.
Kesimpulannya, belajar adalah fungsi dari AIME yang terlibat dalam memproses materi. AIME sendiri adalah besarnya elaborasi non otomatis yang dilakukan terhadap materi. AIME beserta sifatnya yang spesifik tergantung pada apa yang dipersepsikan seseorang sebagai tuntutan dari tugas, situasi dan pesan. Persepsi demikian dipengaruhi oleh tiga faktor yang saling yang saling berhubungan :
1.      Sifat dari kejadian/peristiwa yang berisikan pesan yang dihadapi
2.      Pengalaman masa lalu orang dengan peristiwa tersebut
3.      Persepsi orang tersebut mengenai rasa mampu diri untuk memproses secara mendalam kejadian tersebut.
Implikasi penting mengikuti hal ini adalah : bila belajar tergantung dari realisasi “stacking” (yaitu AIME yang lebih besar), dan bila AIME tergantung pada persepsi mengenai tuntutan tugas yang pada gilirannya dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu serta persepsi mengenai rasa mampu diri, maka akan menjadi amat penting untuk menyediakan/memberi siswa pengalaman yang akan mengubah persepsi mereka mengenai stimuli tertentu dan meningkatkan AIME mereka.

B.  Media : Pengolahan Informasi Secara Mendalam
Tinjauan mengenai pengolahan informasi secara mendalam dalam komunikasi bermedia diawali dengan melihat selintas model dinamika dari alokasi penyimpanan dan pengolahan informasi Zhang dan Norman (1994). Model tersebut diistilahkan dengan tugas-tugas yang memerlukan/mengharuskan pemprosesan informasi yang meliputi pikiran internal dan lingkungan eksternal. Zhang dan Norman membayangkan representasi yang terdistribusi sebagai satu set representasi dengan unsur-unsur internal seperti skema, imej-imej mental atau proposisi-proposisi dan unsur-unsur eksternal seperti lambang-lambang fisik dan aturan-aturan eksternal, atau konstren-konstren eksternal yang melekat dalam konfigurasi fisik. Representasi adalah struktur-struktur yang abstrak yang mengacu pada dunia yang direpresentasikan.
Allen dan Otto (dalam Jonassen,1996) menyempurnakan model ini dengan :
1.         Mengganti istilah ruang representasi internal dengan representasi internal mental dari situasi (Mental Internal Representation of Situation = MIROS).
2.         Membagi ruang representasi eksternal menjadi ruang media dan ruang realia (ruang riil).
Singer (1980) mengajukan perbedaan antara menonton TV dengan membaca buku. Yang diidentifikasi Singer adalah dalam sistem lambang esensinya (yaitu antara gambar dan bahasa). Argumentasi Singer adalah bahwa TV adalah media yang penuh sesak, yang tidak memungkinkan pentransferan materi yang dipresentasikan dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang.
Meringoff (1980) dari penelitiannya dalam membandingkan efektifitas membaca dengan menonton TV, menemukan  anak-anak dalam kelompok membaca lebih sering mendasarkan inferensi mereka pada pengetahuan sebelumnya (yang telah dimiliki) serta pengetahuan umum mereka pada materi yang dipresentasikan secara visual. Artinya anak-anak dalam kelompok membaca/melakukan inferensi dibanding anak-anak dalam kelompok TV.
Persepsi mengenai rasa mampu diri untuk belajar dari TV secara signifikan melebihi hal tersebut untuk belajar dari buku. Sementara korelasi diantara keduanya adalah rendah, dan untuk beberapa item cenderung negatif. Itu berarti murid-muridmemperhatikan lebih merasa mampu belajar dari TV dari pada belajar dari buku. Prestasi belajar akan lebih baik pada kelompok TV, tapi kenyataannya tidak. Korelasi rasa mampu diri dengan AIME pada kelompok buku dan dengan hasil belajar, sementara AIME berkorelasi dengan hasil belajar. Artinya kelompok buku murid-murid yang merasa mampu diri tinggi cenderung untuk menginvestasikan lebih besar usaha mental, sehingga hasil belajar mereka juga lebih baik.
Murid-murid merasa TV lebih realis dari buku, sementara faktor kerealisan ini berkorelasi positif dengan rasa mampu diri, tetapi negatif dengan AIME. Artinya pesan-pesan yang dipersepsikan  seperti kehidupan nyata dan kurang tertata dengan baik (dalam TV)  dipersepsikan mereka lebih mudah, sehingga menuntut hanya sedikit usaha mental.
Hasil studi ini memberi kesan bahwa harapan anak-anak mengenai tuntutan media dan keyakinan akan rasa mampu diri membuat mereka menginvestasikan lebih banyak atau lebih sedikit usaha mental dalam memproses informasi. Temuan penelitian ini ditegaskan Salomon, tidak lah menolak argumentasi Singer (1980) bahwa perbedaan AIME anatara TV dan media tulis adalah disebabkan oleh oleh perbedaan sistem lambang.
Tiga studi yang digambarkan secara garis besar oleh Salomon menyimpulkan dua hal berikut ini :
1.    Studi Prassad dkk(1978) dan Golder Bolz dan O’Brynt (1978) memperlihatkan bahwa AIME anak-anak dalam mengolah pesan pada TV sewaktu-waktu dapat ditingkatkan melalui bimbingan dan tutorial. Dan ini memberi petunjuk bahwa TV, sementara memerlukan AIME yang lebih kecil namun menghasilkan informasi lebih banyak jika diinvestasikan lebih banyak usaha mental.
2.    Studi Dorr, Graves dan Phelps (1980) memperlihakan bahwapersepsi(skemata) yang lebih umum dari anak-anak mengenai tuntutan dan tayangan TV dapat diubah dengan demikian memberikan dasar bagi suatu perubahan memberikan dasar bagi.
Tutorai yang dilakukan terhadap menonton TV memberikan bukti bahwa kedangkalan bukanlah sifat yang melekat dalam media, terbukti bahwa anak-anak dapat belajar mendapatkan lebih banyak dari padanya.

C.  Hubungan Interpersonal : Dua Aspek Dalam Kontak Antar Manusia
Komunikasi interpersonal bermuara pada hubungan interpersonal telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya. Uraian dikhususkan pada pembentukan konsep diri. Di sana komunikasi interpersonal ditinjau sebagai proses pembentukan, presentasi dan validasi dari konsep diri. Adapun dua aspek yang lalu lintas dalam komunikasi interpersonal, yaitu aspek isi dan aspek hubungan(relasional). Ada dua klasifikasi yang di ambil dalam memetakan sistem lambang dalam kaitannya dengan komunikasi ini. Dua klasifikasi tersebut adalah lambang verbal dan lambang nonverbal. Dalam rangka interaksi interpersonal, lambang verbal dihubungkan dengan aspek isi, sementara lambang nonverbal dihubungkan dengan aspek relasional.
Tujuan utama dari pembahasan permasalahan tersebut yaitu untuk meninjau kekayaan (repleteness) dan kedalaman (stacking)  komunikasi. Untuk komunikasi bermedia, aspek kekayaan dikaitkan dengan tidak terbatasnya sumber informasi yang tersedia ( khususnya yang bersumber dari media), sementara aspek kedalaman dikaitkan secara khusus dengan sifat sistem lambangnya. Tinjauan terhadap kedalaman dan kekayaan dalam komunikasi interpersonal akan dikaitkan dengan kedua aspek komunikasi interpersonal, yaitu aspek isi dan aspek relasional.                                Hubungan antara kedalaman proses komunikasi dengan besarnya AIME telah mendominasi uraian mengenai media pada bagian sebelumnya, dan hubungan tersebut juga terpakai pada komunikasi ataupun kontak interpersonal. Namun, pada bagian ini akan lebih menitikberatkan pada isu kekayaan (repletenes), oleh karena hal tersebut berperan amat esensi dalam pengembangan dan pemeliharaan kontak interpersonal. Sifat dari kontak tersebut tergantung pada banyaknya sumber- sumber informasi yang diketahui dan penyampaian pesan.
Satu cara untuk memahami kekayaan dalam hubungan interpersonal adalah dengan membedakan adanya dua aspek pesan dalam komunikasi, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Watzlawick  mengemukakan aspek relasional sebagai “pemberian informasi mengenai suatu informasi” dalam kejadian- kejadian yang berisi pesan. Sementara Salomon menegaskan bahwa aspek relasional adalah “meta message” yaitu yang menempatkan isi kedalam kontek. Pada umumnya aspek relasional dari komunikasi dibawa secara nonverbal, dimana hal tersebut, dimana hal tersebut dapat dipisahkan dari aspek isi dari komunikasi. 
Eryanto (2001) mengutip pendapat Macdonell, bahwa ideologi menempatkan seseorang bukan hanya pada posisi tertentu dalam suatu relasi sosial, tetapi juga hubungan antara individu dengan interaksi sosialnya. Artinya, ideologi menginterpelasi individu sebagai subjek dan menempatkan seseorang dalam posisi tertentu. Selanjutnya, Eryanto menegaskan pemikiran John Fiske bahwa komunikasi pada hakekatnya menyapa seseorang, dan di dalam sapaan tersebut terkadung makna menempatkannya pada posisi dan hubungan sosial tertentu.  Maksudnya, semua tindakan komunikasi pada prinsipnya adalah proses interpelasi yang menempatkan si partisipan pada posisi tertentu.
Aspek isi dari pesan biasanya lebih konvensional dibanding aspek relasional; ia mengikuti dengan baik dan ketat aturan- aturan sintaksis dan semantik. Kata- kata yang ditata dari kombinasi karakter (abjad atau angka) dipandu ke dalam kalimat,  dan arti  dari masing- masingnya adalah terukur untuk suatu publik (kelompok masyarakat), dan  memberikan arti yang sama untuk masing-masingnya melalui kamus, buku-buku tata bahasa dan sejenisnya. Hal demikian tidaklah mungkin untuk unsur- unsur non verbal. Unsur-unsur  non verbal memang dapat menyatakan atau menggambarkan sesuatu, tetapi umumnya unsur-unsur tersebut adalah mengekspresikan dalam berbagai cara, sementara maknanya tidak bisa dengan mudah ditimbang dengan cara melihat kesamaannya dalam suatu referennya (misalnya tidak ada suatu aturan baku tentang makna dari air mata). Dengan alasan tersebut, aspek relasional dari komunikasi (umumnya nonverbal) jauh lebih sulit untuk mengekpresikan sesuatu secara ekplisit dibanding  dengan aspek isi.  Salomon menekankan bahwa, aspek relasional dapat dianalogikan dari kounikasi dengan bahasa oral, sementara aspek isi melalui tulisan.
Penelitian- penelitian  menemukan adanya sejumlah faktor yang berhubungan dengan kekayaan komunikasi dalam interaksi sosial manusia. Temuan Lord, Jones, dan Nisbatt (1971) Salomon memberikan interpretasi bahwa pada dasarnya, kita mempunyai kesempatan lebih besar untuk melihat orang lain dari pada diri kita sendiri.   Penelitian Watzlawick (1978) menerangkan bahwa, kita lebih menyadari bahkan lebih sensitif terhadap aspek relasional dalam pesan orang lain, daripada dalam pesan diri kita sendiri. Misalkan, seorang guru tidak begitu sadar akan isyarat- isyarat nonverbal yang diperlihatkan dalam mengajar, sementara siswa cukup sensitif terhadap isyarat- isyarat nonverbal tersebut, dan memberikan indikasi pada makna- makna komunikasional dan relasional.
Imej yang amat menarik muncul dari kontak interpersonal dari basis-basis yang dikemukakan di atas. Orang-orang lebih sadar, lebih sensitif dan lebih responsif terhadap aspek relasional dari pesan orang lain, namun kurang menyadari aspek relasional dari pesannya sendiri. Sebagai ilustrasi, misalkan guru A meminta nasehat mengenai masalah proses belajar mengajar dari teman sejawatnya guru B. Guru B memahami isi dari permintaan tersebut, namun kurang memahami isyarat- isyarat relasional dari guru A. Dengan hanya skemata konsensus (umum berlaku dalam masyarakat), guru B menganggap/ mengatribusikan bahwa permintaan nasehat mengindentifikasikan kelemahan/ inferioritas, sementara sebaliknya mengidinkasikan seperioritas pada dirinya. Sehingga guru B merespon  guru A dengan mengindikasikan pada guru A akan inferioritasnya. Melihat gelagat guru B, guru A merasa tersinggung, lalu merespon dalam bentuk penolakan atas gelagat tersebut. Guru B yang juga tidak sadar akan apa yang dipikirkan dan reaksi guru A, tetap saja/ malah meningkatkan gelagat superioritasnya, yaitu memenuhi persepsinya sejak awal berkenaan dengan inferioritas dan superioritasnya. Kini situais sampai pada “dispute on a marginal level”, (yaitu kedua belah pihak bercekcok mengenai sesuatu yang lain dari apa yang seharusnya dipertengkarkan, yaitu masalah nasehat). Atau guru B dapat memberikan reaksi lain (bukan meningkatkan nasehat) yaitu menghadapi perasaan guru A yang terluka dengan jalan menolak (menyalahkan) interpretasi guru A tadi; jika demikian, keduanya masuk ke dalam situasi yang disebut “ self sustaining dispute” (yaitu mereka  bertengkar atas dasar/ mengenai ketidakpuasan aspek relasional dan kontak mereka, misalkan terdengar kalimat ‘jangan berkata begitu pada saya’ dsb. Kini hubungan mereka bersifat interdependensi yang melingkar (sirkuler); yaitu partisipan menghadapi kemacetan, baik dalam aspek isi maupun dalam aspek relasional dalam kontak mereka.
Seandainya guru B menyadari bagaimana prilaku nonnverbalnya dalam berkomunikasi dengan guru A (tahu bahwa agak arogan, lalu dikurangi); andai kata guru A dalam batas-batas tertentu dapat menerima sedikit superioritas guru B; andai kata guru B dapat merasakan bagaimana guru A sedikit terluka hatinya; atau kedua mencoba keluar dari kemacetan dan menilai satu sama lain pada level meta (dinamakan juga tingkat perubahan kedua), maka hubungan akan mengarah pada interdependensi spiral. Artinya, bila skemata masing- masing dapat lebih mengakomodasikan masukan satu sama lain, sehingga mengarah pada aktif bersama mengelola aspek isi dan relasional dari kontak mereka. Interdependensi akan bersifat spiral sepanjang ia dapat berkembang dan tidak macet dalam bentuk lingkaran tertutup.
Kekayaan dan kedalaman komunikasi akan terealisasi dengan baik bila, si partisipan mulai membaca/ atau memahami isyarat- isyarat relasional dalam tingkah laku satu sama lain atas dasar skemata yang terdiferensiasi lebih baik. Dalam realisasi perubahan dari sedikit ke lebih banyak  kekayaan informasi, ada dua mekanisme yang terlihat didalamnya, yaitu pembukaan diri (self disclosure) dan umpan balik (feedback). Salomon, Muler dan Steinberg (1975) menamakan keduanya dalam istilah strategi kembar siam. Untuk dapat terlaksananya strategi itu perlu dipenuhi dua kondisi. Kondisi yang bersifat harus (necessary) adalah bahwa, si partisipan mempersepsi diri menikmati kesamaan status dalam hubungan mereka. Sementara kondisi yang memadai (sufficient condition) adalah bila si partisipan sama-sama memiliki keinginan untuk merealisasikan lebih banyak sifat/ aspek kekayaan (repleteness) dalam hubungan mereka, yaitu melaksanakan mekanisme yang diperlukan untuk mencapai interdependensi yang lebih baik.
Bagaimanapun, realisasi kekayaan informasi dalam kontak- kontak antara siswa dan guru sangatlah sulit. Pertama, berkenaan dengan kesulitan yang ditimbulkan oleh  perbedaan status yang melekat pada sistem pendidikan. Kesadaran dalam aspek relasional dalam pesan dari orang lain, tidaklah terdistribusi dengan baik. Individu-individu yang berstatus relatif lebih rendah, biasanya bersifat lebih sensitif terhadap aspek relasional dari pesan  yang diterima mereka dari orang yang lebih superior. Sementara itu, yang berstatus lebih rendah, lebih dari yang berstatus lebih tinggi, mencoba memberi makna pada isi pesan si superior dengan menyangkutkan pada konteks relasional sesuai dengan keinginan untuk menyamakan status, menghindari inferioritas, dan memperkecil ketergantungan  yang tidak timbal balik. Dengan demikian, siswa, anak-anak, pegawai rendah, pasien, prajurit, sangat atentif terhadap bagaimana  guru, orang tua, bos, dokter, tau komandan berhubungan dengan mereka. Bawahan (yang berstatus lebih rendah) mendapat lebih banyak manfaat dibanding atasan (yang berstatus lebih tinggi) dari penutupan jarak (gap) status antara mereka. Orang-orang yang menikmati status lebih tinggi dan yang dalam batas-batas tertentu mendominasi bentuk hubungan yang berkembang, jauh kurang sensitif terhadap aspek relasioanal dlam pesan-pesan yang diterima dari bawahan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Tjosvold (1978), orang-orang dengan status lebih tinggi  memperlihatkan hanya sedikit sensitivitas terhadap isyarat- isyarat relasional, terutama sekali terhadap “ajakan”   untuk lebih berkepedulian secara timbal balik dan interdependensi dalam hubungan, seolah-olah mereka berusaha untuk mempertahankan status, mereka dengan cara mengabaikan atau menolak pesan- pesan seperti itu.
Dengan demikian dapat terlihat bahwa, dengan perbedaan status, hubungan yang simetris dalam pendidikan susah untuk dicapai, sehingga ini membuat perubahan dari hubungan yang lebih bersifat formal ke hubungan yang lebih bersifat interdependen menghadapi halangan yang sifatnya melekat pada suatu sistem. Cara yang mungkin ditempuh adalah merealisasikan lebih besar “kekayaan informasi”, dalam bentuk pembukaan diri yang lebih besar, umpan balik yang lebih jujur dan lainnya. Langkah seperti ini, akan memperkecil jarak status, dan menjadikan perasaan yang bersifat superior lebih lunak bagi keuntungan dari yang berstatus lebih rendah.
 Kedua, berkenaan dengan strategi yang digunakan oleh para pendidik untuk mempertahankan/ memelihara status, peran dan misi mereka. Sumber kesulitan dalam merealisasikan “kekayaan informasi”  dalam seting pendidikan sebagian berhubungan dengan isu perbedaan status. Si pendidik di beri otoritas resmi untuk mendidik sehingga dengan demikian juga punya wewenang untuk melaksanakan strategi-strategi yang lebih kurang bersifat memaksa dalam rangka mengontrol prilaku murid. Hal ini memang sesungguhnya diperlukan di sekolah, namun adakalanya prilaku yang berdisiplin dijadikan tujuan, bukan cara/ alat untuk mencapai suatu tujuan.
Karakteristik lainnya yang berkaitan dengan permasalahan itu adalah sekolah terlalu menekankan, malah hampir semata-mata mengandalkan komunikasi verbal. Alasan untuk ini beragam sekali (misalnya,seorang guru harus mengelola banyak murid, suatu tradisi dari dunia pendidikan).  Kesulitan muncul dari bahasa dalam menangani aspek relasional dari komunikasi. Dengan alasan apapun, yang pasti ekspresi mengenai hubungan lebih dipercayai bila diungkapkan secara nonverbal dari pada disampaikan secara verbal. Siswa akan lebih percaya jika suatu pernyataan diungkapkan dengan prilaku. Pernyataan verbal berkenaan dengan hubungan, perlu divalidasi dengan prilaku nonverbal.
Dykman dan Reis (1979) menemukan bahwa murid-murid yang mempunyai bayangan (konsep) rendah diri, memilih tempat duduk yang beresiko rendah dalam kelas, sehingga mempertahankan konsep rendah diri mereka, memperlihatkan prestasi belajar yang rendah; sementara itu, guru–guru kurang memusatkan perhatian pada murid-murid yang demikian. Dengan demikian, aspek-aspek relasional dalam pesan-pesan si anak sering terabaikan atau dinterpretasikan dalam kerangka harapan negatif pada umumnya. Pada saat yang sama, kecilnya perhatian dicurahkan kepada mereka, dan sikap yang hampir tidak memberi dorongan pada mereka baik oleh sejawat maupun oleh guru yang tertangkap oleh persepsi anak-anak tersebut, memperkuat konsep rendah diri mereka. Bila sesuatu yang positif dari mereka dibicarakan disekolah, biasanya adalah dari  performan mereka, bukan dari segi respon murid-murid/ orang-orang lainnya terhadap isyarat relasional mereka. Ternyata strategi mengatasi tingkah laku yang salah dengan jalan membuat lebih banyak aturan dan atau dengan hukuman-hukuman yang lebih keras terbukti tidak efektif.
Temuan lain, Salomon menegaskas kedua belah pihak yaitu guru dan siswa, peduli dengan masalah prilaku, namun masalahnya adalah, masalah-masalah yang dicemaskan  guru tidak sama dengan yang menjadi kepedulian siswa. Guru biasanya peduli tentang masalah kehadiran, sementara murid-murid lebih peduli dengan perkelahian, pencurian, dan penghinaan. Ketidakpasan ini merupakan kontributor penting terhadap perasaan ketidak adilan yang dirasakan siswa, dan ini mengarahkan pada timbulnya reaksi-reaksi dari siswa-siswa yang teguh dengan disiplin. Ternyata juga banyak aturan sekolah di samping tidak konsisten juga tidak  eksplisit. Dalam situasi demikian tingkahlaku- tingkahlaku menyimpang biasanya meningkat. Dari pendapat Smitt, ditegaskan oleh Salomon bahwa bila guru-guru terlatih untuk mengobservasi perilaku siswa, si guru akan menjadi observer yang lebih akurat dan siswa akan menjadi lebih bersahabat. Berkenaan tentang masalah disiplin, satu prosedur  yang dapat mencairkannya adalah mengalihkan tanggung jawab perumusan aturan-aturan dan penegakannya kepada siswa itu sendiri.
                                                                                               




No comments:

Post a Comment