DIMENSI
KEKAYAAN DAN KEDALAMAN DALAM
PROSES
KOMUNIKASI
Pada BAB sebelumnya telah
dikemukakan bahwa suatu pesan dapat berupa kejadian apa saja, asal maksud
berkomunikasi terindikasi dari sumbernya. Dengan demikian segala sesuatu yang
bersifat perilaku atau non-perilaku, objek, kejadian, perubahan didalam
lingkungan baik masa lalu maupun kini,
dapat diambil sebagai pesan. Dari kekayaan sumber informasi ini, ditegaskan Salomon, ada dua aspek yang perlu mendapatkan perhatian khusus :
dapat diambil sebagai pesan. Dari kekayaan sumber informasi ini, ditegaskan Salomon, ada dua aspek yang perlu mendapatkan perhatian khusus :
1. Berkenaan
dengan banyaknya hal yang dapat dianggap sebagai pesan dan sumber komunikasi.
Istilah Goodman (1968) untuk hal ini adalah “Repleteness”, yang digunakan untuk menyatakan karakteristik dari
sistem lambang yang bersifat non-notasional, dan disebut juga analog (telah
dikemukakan didepan), misalnya lukisan, fotografi, sket yang didalamnya setiap
bayangan, bentuk, garis, warna dan lainnya dapat dianggap bermakna. Istilah ini
dipakai untuk komunikasi, karena bergitu banyak hal seperti kata-kata, perabot,
pakaian, ekspresi wajah, gerakan tangan, dapat dianggap mengkomunikasikan
sesuatu.
2. “Stacking” adalah bahwa di dalam suatu
peristiwa komunikasi, orang dapat memproses informasi lebih dangkal atau masuk
secara lebih mendalam ke level-level yang dikehendaki. Dalam membaca bukuteks
misalnya, seseorang dapat hanya memandang sekilas intisari umum atau mengkaji
lebih dalam teks untuk mendapatkan semacam benang merah, atau malah lebih dalam
lagi untuk menemukan suatu agenda yang tersembunyi.
Repleteness dan stacking adalah karakteristik
potensial dari peristiwa komunikasi.
Realisasi dari aspek repleteness menjadi sulit
akibat dari setidaknya dua jenis konflik :
1) Ada
kemungkinan konflik antara dua atau lebih peristiwa, dimana terindikasi adanya
makna yang tidak sama. Contohnya, seorang anak mendapat informasi dari
sejawatnya bahwa tugas-tugas individual sekolah kurang penting dibandingkan
dengan tugas-tugas kelompok, sementara anak tersebut menerima pesan yang
berlawanan dengan itu dari orang tuanya.
2) Konflik
akan dialami tatkala repleteness dari informasi memerlukan penggunaan dua
sumber informasi yang berbeda ( misalnya menonton TV atau membaca buku ). Bila
hal ini terjadi, pemecahannya adalah melakukan tindakan epistemik suatu proses
yang penuh usaha keras dalam melakukan proses yang lebih dalam. Atau orang
dapat menghindari konflik sejak awal, dengan cara menjatuhkan bobot berbeda
terhadap pesan atau sumber atau dengan jalan menegakkan garis pembeda diantara
( dua unsur yang konflik).
Sumber-sumber
informasi akan terdiri dari bagian-bagian berbeda (misalnya TV membawa pula
banyak hal lainnya disamping hiburan yang sifatnya dangkal), dan kita
mengantisipasi secara selektif bagian-bagian yang khas dari suatu sumber,
sering kita memberi bobot rendah terhadap sesuatu yang tidak berada dalam
bagian-bagian yang kita pilih. Realisasi repleteness yang sangat potensial
tersebut dalam komunikasi mengharuskan untuk menghindari konflik antar pesan.
Sedangkan realisasi dari stacking walaupun tidak harus menimbulkan konflik
ternyata juga sukar walaupun untuk alasan-alasan lain.
1. Untuk memproses
informasi secara lebih dalam, orang harus dipandu secara epistemik oleh
sejumlah tujuan, pertanyaan, suatu konflik yang belum terpecahkan.
2. Pengkajian
yang lebih dalam dari suatu pesan adalah kegiatan berketerampilan tinggi. Bila,
keterampilan yang diperlukan belum dikuasai secara baik, pemprosesan yang lebih
dalam akan terkendala oleh kesulitan-kesulitan.
3. Akan banyak
hal tergantung pada persepsi seseorang mengenai nilai yang akan didapatkan dari
pemprosesan yang dalam terhadap materi, yaitu atas dasar tujuan, situasi,
maupun pesan yang dihadapinya.
Kesimpulannya
adalah dunia ini penuh dengan komunikasi yang potensial. Bagaimanapun yang jelas banyak terdapat konflik satu sama lain
yang memerlukan proses epistemik dalam memberikan bobot pada berbagai sumber,
serta memberikan fungsi pada semuanya. Proses ini dipandu oleh skemata yang
yang ditentukan oleh budaya ataupun oleh personal, yang selanjutnya skemata
inipun akan dipengaruhi oleh peristiwa itu sendiri. Repleteness dan stacking
adalah potensial, namun realisasinya kadang-kadang sulit dan membutuhkan
pelatihan. Berikut ini akan didalami permasalahan repleteness dan stacking ini
yang akan dikaitkan dengan belajar secara umum, dengan media dan
hubungan-hubungan interpersonal.
A.
Belajar
Dan Investasi Usaha Mental
Elaborasi adalah
proses penambahan/perkayaan terhadap informasi yang sedang dikaji. Dalam proses
belajar dikenal sejumlah cara yang dapat dilakukan dalam rangka elaborasi (Abizar,1995).
Betapa kayanya sumber informasi serta pesan yang dapat hadir pada kita dari
dunia sekitar. Dalam hubungannya dengan proses komunikasi, hal tersebut dilihat
dalam dua dimensi :
1. Berkenaan
dengan jumlah (berapa banyak)-nya sumber-sumber komunikasi dapat mengarahkan
diri (yaitu dimensi repleteness)
2. Jumlah dari
(banyaknya) level-level dalam pesan yang dapat diproses (yaitu dimensi stacking).
Stacking pada
hakekatnya adalah berkenaan dengan kedalaman memproses informasi, dengan
demikian ini adalah proses elaborasi tersebut. Salomon memberikan pernyataan
berikut : semakin kita berkonstrasi terhadap suatu materi artinya semakin kita
berfikir tentang itu maka akan semakin terjadi proses belajar. Artinya lebih
berkonsentrasi, lebih berfikir tentang sesuatu, mencari lebih banyak kaitannya
dengan berbagai informasi yang terkait, semuanya itu adalah operasi-operasi
mental yan tercakup dalam istilah elaborasi.
Faktor yang
menentukan dari suatu proses elaborasi adalah jumlah materi yang dielaborasi.
Disimpulkan, semakin seseorang mengelaborasi secara mental materi yang akan
dipelajari, semakin banyak kontak dapat dibangun dengan skemata mental lainnya,
sehingga meninggalkan lebih banyak jejak-jejak memori dan memperkaya makna yang
didapatkan.
Dua implikasi dari pernyataan diatas
adalah :
1. Proses elaborasi
yang lebih besar atau yang lebih dalam, tidak harus bergerak dari level
permukaan ke level-level yang lebih dalam dari suatu materi. Masing-masing
level dapat diproses lebih dangkal atau lebih dalam
2. Besarnya
elaborasi belum akan merupakan konsep yang memadai tanpa memperhitungkan
setidaknya satu unsur lainnya yaitu ketidak otomatisan proses. Sebagai contoh
seorang pengemudi yang telah berpengalaman, melibatkan elaborasi mental yang
banyak dalam mengendara namun melakukannya secara relatif otomatis, berbeda
dengan pengemudi pemula, pengemudi pemula melakukan elaborasi kira-kira sama
dengan pemudi berpengalaman namun belum lagi dilakukan secara otomatis.
Apabila konsep
kedalaman (depth) diartikan sebagai besarnya usaha mental yang diinvestasikan
(amount of invested mental effort = AIME) dalam memproses suatu materi, maka ia
akan dibangun oleh dua unsur : besarnya elaborasi mental yang dilakukan dan
sejauh mana ia tidak/belum lagi otomatis. Dengan demikian AIME tidak seluruhnya
tergantung pada sifat dari stimuli, tapi juga tergantung pada keterampilan yang
dimiliki serta tingkat penguasaannya. Salomon menegaskan, bahwa AIME tergantung
pada persepsi seseorang mengenai apa yang dituntut oleh materi stimulus, oleh
situasi ataupun oleh tugas yang harus dikerjakan.
Persepsi
mengenai tuntutan tugas mempengaruhi tidak hanya besarnya tapi juga jenis usaha
mental yang diinvestasikan. Sebagai ilustrasi, Salomon dalam penelitiannya
mempresentasikan pada sekelompok subjek satu film yang ceritanya terstruktur
dengan baik dan pada kelompok lainnya cerita yang strukturnya tidak baik
(membingungkan dan acak). Kemudian subjek penelitian diminta sebanyak mungkin
mengemukakan berbagai alur cerita yang teridentifikasi serta melaporkan
sebanyak mungkin rincian cerita. Kedua kelompok mempersepsikan situasi sebagai
berikut : kelompok pertama melihat adanya keharusan untuk memecahkan masalah
berupa ketidakpastian yang ditimbulkan oleh campur aduk sesara acak dari
segmen-segmen cerita, sementara kelompok kedua mempersepsikan film tersebut
amat sederhana sehingga hanya membutuhkan sedikit AIME. Persepsi-persepsi
seperti diatas tidaklah cocok dengan tuntutan instruktur, sehingga menghasilkan
performan yang jelek.
Teori tentang
skemata yaitu yang menentukan adalah sifat dari pesan. Disamping itu,
pengalaman dimasa lalu dengan pesan yang serupa dan juga antisipasi-antisipasi
mengenai pengalaman dimasa depan, memainkan peranan penting. Yang berhubungan
dengan pengalaman tersebut adalah persepsi seseorang akan kemampuannya untuk
memproses dan mempelajari jenis-jenis informasi tertentu secara mendalam.
Bandura, seperti dikutip Salomon menemukan bahwa semakin besar rasa mampu diri
seseorang, akan semakin besar hasratnya untuk menginvestasikan usaha
berkesinambungan dalam tugas serta memecahkan kesulitan-kesulitan yang
dihadapi.
Salomon mengemukakan
temuan Bandura (1977) yang berbeda dengan itu. Ditemukan justru rasa mampu diri
yang tinggi memberi dasar pada usaha yang lebih besar, dengan segala kesulitan
bisa diatasi. Orang akan dengan mudah menyerah jika berhadapan dengan
tugas-tugas yang ia merasa tidak mampu menggarapnya. Orang-orang yang
persepsinya mengenai mampu diri adalah rendah tidaklah akan menginvestasikan
usaha mental dalam suatu tugas oleh karena mereka yakin hal hal itu berada jauh
diluar kemampuan mereka. Pada saat persepsi tentang rasa mampu diri meningkat,
pada saat itu pengalaman-pengalaman positif jadi terakumulasi, dan demikian
juga halnya dengan AIME. Bila siswa-siswa yang yakin akan gagal dalam
mengerjakan sesuatu, namun dipaksa melakukannya, mereka akan mulai merasa
sukses serta mengalami peningkatan rasa mampu diri.
Dapat dikatakan
bahwa, persepsi tentang tuntutan tugas berhubungan kuat dengan persepsi
seseorang mengenai rasa mampu diri dalam menggarap tipe-tipe tertentu dari
pesan. Orang lain yang merasa dirinya mempunyai kemampuan sedang untuk
menganalisisnya, akan merasa situasi menuntutnya untuk menginvestasikan usaha
mental yang lebih besar, sehingga memperbesar AIME mereka.
Kesimpulannya,
belajar adalah fungsi dari AIME yang terlibat dalam memproses materi. AIME
sendiri adalah besarnya elaborasi non otomatis yang dilakukan terhadap materi.
AIME beserta sifatnya yang spesifik tergantung pada apa yang dipersepsikan
seseorang sebagai tuntutan dari tugas, situasi dan pesan. Persepsi demikian
dipengaruhi oleh tiga faktor yang saling yang saling berhubungan :
1.
Sifat dari kejadian/peristiwa yang
berisikan pesan yang dihadapi
2.
Pengalaman masa lalu orang dengan
peristiwa tersebut
3.
Persepsi orang tersebut mengenai rasa
mampu diri untuk memproses secara mendalam kejadian tersebut.
Implikasi
penting mengikuti hal ini adalah : bila belajar tergantung dari realisasi
“stacking” (yaitu AIME yang lebih besar), dan bila AIME tergantung pada
persepsi mengenai tuntutan tugas yang pada gilirannya dipengaruhi oleh
pengalaman masa lalu serta persepsi mengenai rasa mampu diri, maka akan menjadi
amat penting untuk menyediakan/memberi siswa pengalaman yang akan mengubah
persepsi mereka mengenai stimuli tertentu dan meningkatkan AIME mereka.
B. Media : Pengolahan Informasi Secara
Mendalam
Tinjauan mengenai
pengolahan informasi secara mendalam dalam komunikasi bermedia diawali dengan
melihat selintas model dinamika dari alokasi penyimpanan dan pengolahan
informasi Zhang dan Norman (1994). Model tersebut diistilahkan dengan
tugas-tugas yang memerlukan/mengharuskan pemprosesan informasi yang meliputi pikiran
internal dan lingkungan eksternal. Zhang dan Norman membayangkan representasi
yang terdistribusi sebagai satu set representasi dengan unsur-unsur internal
seperti skema, imej-imej mental atau proposisi-proposisi dan unsur-unsur
eksternal seperti lambang-lambang fisik dan aturan-aturan eksternal, atau
konstren-konstren eksternal yang melekat dalam konfigurasi fisik. Representasi
adalah struktur-struktur yang abstrak yang mengacu pada dunia yang direpresentasikan.
Allen dan Otto (dalam Jonassen,1996)
menyempurnakan model ini dengan :
1.
Mengganti istilah ruang representasi
internal dengan representasi internal mental dari situasi (Mental Internal
Representation of Situation = MIROS).
2.
Membagi ruang representasi eksternal
menjadi ruang media dan ruang realia (ruang riil).
Singer (1980)
mengajukan perbedaan antara menonton TV dengan membaca buku. Yang
diidentifikasi Singer adalah dalam sistem lambang esensinya (yaitu antara
gambar dan bahasa). Argumentasi Singer adalah bahwa TV adalah media yang penuh
sesak, yang tidak memungkinkan pentransferan materi yang dipresentasikan dari
memori jangka pendek ke memori jangka panjang.
Meringoff (1980)
dari penelitiannya dalam membandingkan efektifitas membaca dengan menonton TV,
menemukan anak-anak dalam kelompok
membaca lebih sering mendasarkan inferensi mereka pada pengetahuan sebelumnya
(yang telah dimiliki) serta pengetahuan umum mereka pada materi yang
dipresentasikan secara visual. Artinya anak-anak dalam kelompok
membaca/melakukan inferensi dibanding anak-anak dalam kelompok TV.
Persepsi
mengenai rasa mampu diri untuk belajar dari TV secara signifikan melebihi hal
tersebut untuk belajar dari buku. Sementara korelasi diantara keduanya adalah
rendah, dan untuk beberapa item cenderung negatif. Itu berarti
murid-muridmemperhatikan lebih merasa mampu belajar dari TV dari pada belajar
dari buku. Prestasi belajar akan lebih baik pada kelompok TV, tapi kenyataannya
tidak. Korelasi rasa mampu diri dengan AIME pada kelompok buku dan dengan hasil
belajar, sementara AIME berkorelasi dengan hasil belajar. Artinya kelompok buku
murid-murid yang merasa mampu diri tinggi cenderung untuk menginvestasikan
lebih besar usaha mental, sehingga hasil belajar mereka juga lebih baik.
Murid-murid
merasa TV lebih realis dari buku, sementara faktor kerealisan ini berkorelasi
positif dengan rasa mampu diri, tetapi negatif dengan AIME. Artinya pesan-pesan
yang dipersepsikan seperti kehidupan
nyata dan kurang tertata dengan baik (dalam TV) dipersepsikan mereka lebih mudah, sehingga
menuntut hanya sedikit usaha mental.
Hasil studi ini
memberi kesan bahwa harapan anak-anak mengenai tuntutan media dan keyakinan
akan rasa mampu diri membuat mereka menginvestasikan lebih banyak atau lebih
sedikit usaha mental dalam memproses informasi. Temuan penelitian ini ditegaskan
Salomon, tidak lah menolak argumentasi Singer (1980) bahwa perbedaan AIME
anatara TV dan media tulis adalah disebabkan oleh oleh perbedaan sistem
lambang.
Tiga studi yang
digambarkan secara garis besar oleh Salomon menyimpulkan dua hal berikut ini :
1. Studi
Prassad dkk(1978) dan Golder Bolz dan O’Brynt (1978) memperlihatkan bahwa AIME
anak-anak dalam mengolah pesan pada TV sewaktu-waktu dapat ditingkatkan melalui
bimbingan dan tutorial. Dan ini memberi petunjuk bahwa TV, sementara memerlukan
AIME yang lebih kecil namun menghasilkan informasi lebih banyak jika
diinvestasikan lebih banyak usaha mental.
2. Studi
Dorr, Graves dan Phelps (1980) memperlihakan bahwapersepsi(skemata) yang lebih
umum dari anak-anak mengenai tuntutan dan tayangan TV dapat diubah dengan
demikian memberikan dasar bagi suatu perubahan memberikan dasar bagi.
Tutorai yang
dilakukan terhadap menonton TV memberikan bukti bahwa kedangkalan bukanlah
sifat yang melekat dalam media, terbukti bahwa anak-anak dapat belajar
mendapatkan lebih banyak dari padanya.
C. Hubungan Interpersonal : Dua Aspek Dalam
Kontak Antar Manusia
Komunikasi
interpersonal bermuara pada hubungan interpersonal telah diuraikan pada
pembahasan sebelumnya. Uraian dikhususkan pada pembentukan konsep diri. Di sana
komunikasi interpersonal ditinjau sebagai proses pembentukan, presentasi dan
validasi dari konsep diri. Adapun dua aspek yang lalu lintas dalam komunikasi
interpersonal, yaitu aspek isi dan aspek hubungan(relasional). Ada dua
klasifikasi yang di ambil dalam memetakan sistem lambang dalam kaitannya dengan
komunikasi ini. Dua klasifikasi tersebut adalah lambang verbal dan lambang
nonverbal. Dalam rangka interaksi interpersonal, lambang verbal dihubungkan
dengan aspek isi, sementara lambang nonverbal dihubungkan dengan aspek
relasional.
Tujuan utama dari pembahasan permasalahan tersebut
yaitu untuk meninjau kekayaan (repleteness) dan kedalaman (stacking) komunikasi. Untuk komunikasi bermedia, aspek
kekayaan dikaitkan dengan tidak terbatasnya sumber informasi yang tersedia (
khususnya yang bersumber dari media), sementara aspek kedalaman dikaitkan
secara khusus dengan sifat sistem lambangnya. Tinjauan terhadap kedalaman dan
kekayaan dalam komunikasi interpersonal akan dikaitkan dengan kedua aspek
komunikasi interpersonal, yaitu aspek isi dan aspek relasional. Hubungan antara
kedalaman proses komunikasi dengan besarnya AIME telah mendominasi uraian
mengenai media pada bagian sebelumnya, dan hubungan tersebut juga terpakai pada
komunikasi ataupun kontak interpersonal. Namun, pada bagian ini akan lebih
menitikberatkan pada isu kekayaan (repletenes), oleh karena hal tersebut
berperan amat esensi dalam pengembangan dan pemeliharaan kontak interpersonal.
Sifat dari kontak tersebut tergantung pada banyaknya sumber- sumber informasi
yang diketahui dan penyampaian pesan.
Satu cara untuk memahami kekayaan dalam hubungan
interpersonal adalah dengan membedakan adanya dua aspek pesan dalam komunikasi,
sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Watzlawick mengemukakan aspek relasional sebagai
“pemberian informasi mengenai suatu informasi” dalam kejadian- kejadian yang
berisi pesan. Sementara Salomon menegaskan bahwa aspek relasional adalah “meta
message” yaitu yang menempatkan isi kedalam kontek. Pada umumnya aspek
relasional dari komunikasi dibawa secara nonverbal, dimana hal tersebut, dimana
hal tersebut dapat dipisahkan dari aspek isi dari komunikasi.
Eryanto (2001) mengutip pendapat Macdonell, bahwa
ideologi menempatkan seseorang bukan hanya pada posisi tertentu dalam suatu
relasi sosial, tetapi juga hubungan antara individu dengan interaksi sosialnya.
Artinya, ideologi menginterpelasi individu sebagai subjek dan menempatkan
seseorang dalam posisi tertentu. Selanjutnya, Eryanto menegaskan pemikiran John
Fiske bahwa komunikasi pada hakekatnya menyapa seseorang, dan di dalam sapaan
tersebut terkadung makna menempatkannya pada posisi dan hubungan sosial
tertentu. Maksudnya, semua tindakan
komunikasi pada prinsipnya adalah proses interpelasi yang menempatkan si
partisipan pada posisi tertentu.
Aspek isi dari pesan biasanya lebih konvensional
dibanding aspek relasional; ia mengikuti dengan baik dan ketat aturan- aturan
sintaksis dan semantik. Kata- kata yang ditata dari kombinasi karakter (abjad
atau angka) dipandu ke dalam kalimat,
dan arti dari masing- masingnya
adalah terukur untuk suatu publik (kelompok masyarakat), dan memberikan arti yang sama untuk
masing-masingnya melalui kamus, buku-buku tata bahasa dan sejenisnya. Hal
demikian tidaklah mungkin untuk unsur- unsur non verbal. Unsur-unsur non verbal memang dapat menyatakan atau
menggambarkan sesuatu, tetapi umumnya unsur-unsur tersebut adalah
mengekspresikan dalam berbagai cara, sementara maknanya tidak bisa dengan mudah
ditimbang dengan cara melihat kesamaannya dalam suatu referennya (misalnya
tidak ada suatu aturan baku tentang makna dari air mata). Dengan alasan
tersebut, aspek relasional dari komunikasi (umumnya nonverbal) jauh lebih sulit
untuk mengekpresikan sesuatu secara ekplisit dibanding dengan aspek isi. Salomon menekankan bahwa, aspek relasional
dapat dianalogikan dari kounikasi dengan bahasa oral, sementara aspek isi melalui
tulisan.
Penelitian- penelitian menemukan adanya sejumlah faktor yang berhubungan
dengan kekayaan komunikasi dalam interaksi sosial manusia. Temuan Lord, Jones,
dan Nisbatt (1971) Salomon memberikan interpretasi bahwa pada dasarnya, kita
mempunyai kesempatan lebih besar untuk melihat orang lain dari pada diri kita
sendiri. Penelitian Watzlawick (1978) menerangkan
bahwa, kita lebih menyadari bahkan lebih sensitif terhadap aspek relasional
dalam pesan orang lain, daripada dalam pesan diri kita sendiri. Misalkan,
seorang guru tidak begitu sadar akan isyarat- isyarat nonverbal yang
diperlihatkan dalam mengajar, sementara siswa cukup sensitif terhadap isyarat-
isyarat nonverbal tersebut, dan memberikan indikasi pada makna- makna
komunikasional dan relasional.
Imej yang amat menarik muncul dari kontak
interpersonal dari basis-basis yang dikemukakan di atas. Orang-orang lebih
sadar, lebih sensitif dan lebih responsif terhadap aspek relasional dari pesan
orang lain, namun kurang menyadari aspek relasional dari pesannya sendiri.
Sebagai ilustrasi, misalkan guru A meminta nasehat mengenai masalah proses
belajar mengajar dari teman sejawatnya guru B. Guru B memahami isi dari
permintaan tersebut, namun kurang memahami isyarat- isyarat relasional dari
guru A. Dengan hanya skemata konsensus (umum berlaku dalam masyarakat), guru B
menganggap/ mengatribusikan bahwa permintaan nasehat mengindentifikasikan
kelemahan/ inferioritas, sementara sebaliknya mengidinkasikan seperioritas pada
dirinya. Sehingga guru B merespon guru A
dengan mengindikasikan pada guru A akan inferioritasnya. Melihat gelagat guru
B, guru A merasa tersinggung, lalu merespon dalam bentuk penolakan atas gelagat
tersebut. Guru B yang juga tidak sadar akan apa yang dipikirkan dan reaksi guru
A, tetap saja/ malah meningkatkan gelagat superioritasnya, yaitu memenuhi
persepsinya sejak awal berkenaan dengan inferioritas dan superioritasnya. Kini
situais sampai pada “dispute on a
marginal level”, (yaitu kedua belah pihak bercekcok mengenai sesuatu yang
lain dari apa yang seharusnya dipertengkarkan, yaitu masalah nasehat). Atau
guru B dapat memberikan reaksi lain (bukan meningkatkan nasehat) yaitu
menghadapi perasaan guru A yang terluka dengan jalan menolak (menyalahkan)
interpretasi guru A tadi; jika demikian, keduanya masuk ke dalam situasi yang
disebut “ self sustaining dispute”
(yaitu mereka bertengkar atas dasar/
mengenai ketidakpuasan aspek relasional dan kontak mereka, misalkan terdengar
kalimat ‘jangan berkata begitu pada saya’ dsb. Kini hubungan mereka bersifat
interdependensi yang melingkar (sirkuler); yaitu partisipan menghadapi
kemacetan, baik dalam aspek isi maupun dalam aspek relasional dalam kontak
mereka.
Seandainya guru B menyadari bagaimana prilaku
nonnverbalnya dalam berkomunikasi dengan guru A (tahu bahwa agak arogan, lalu
dikurangi); andai kata guru A dalam batas-batas tertentu dapat menerima sedikit
superioritas guru B; andai kata guru B dapat merasakan bagaimana guru A sedikit
terluka hatinya; atau kedua mencoba keluar dari kemacetan dan menilai satu sama
lain pada level meta (dinamakan juga tingkat perubahan kedua), maka hubungan
akan mengarah pada interdependensi spiral. Artinya, bila skemata masing- masing
dapat lebih mengakomodasikan masukan satu sama lain, sehingga mengarah pada
aktif bersama mengelola aspek isi dan relasional dari kontak mereka.
Interdependensi akan bersifat spiral sepanjang ia dapat berkembang dan tidak
macet dalam bentuk lingkaran tertutup.
Kekayaan dan kedalaman komunikasi akan terealisasi
dengan baik bila, si partisipan mulai membaca/ atau memahami isyarat- isyarat
relasional dalam tingkah laku satu sama lain atas dasar skemata yang
terdiferensiasi lebih baik. Dalam realisasi perubahan dari sedikit ke lebih
banyak kekayaan informasi, ada dua
mekanisme yang terlihat didalamnya, yaitu pembukaan diri (self disclosure) dan umpan balik (feedback). Salomon, Muler dan Steinberg (1975) menamakan keduanya
dalam istilah strategi kembar siam. Untuk dapat terlaksananya strategi itu
perlu dipenuhi dua kondisi. Kondisi yang bersifat harus (necessary) adalah bahwa, si partisipan mempersepsi diri menikmati kesamaan
status dalam hubungan mereka. Sementara kondisi yang memadai (sufficient condition) adalah bila si
partisipan sama-sama memiliki keinginan untuk merealisasikan lebih banyak
sifat/ aspek kekayaan (repleteness) dalam hubungan mereka, yaitu melaksanakan
mekanisme yang diperlukan untuk mencapai interdependensi yang lebih baik.
Bagaimanapun, realisasi kekayaan informasi dalam
kontak- kontak antara siswa dan guru sangatlah sulit. Pertama, berkenaan dengan
kesulitan yang ditimbulkan oleh
perbedaan status yang melekat pada sistem pendidikan. Kesadaran dalam
aspek relasional dalam pesan dari orang lain, tidaklah terdistribusi dengan
baik. Individu-individu yang berstatus relatif lebih rendah, biasanya bersifat
lebih sensitif terhadap aspek relasional dari pesan yang diterima mereka dari orang yang lebih
superior. Sementara itu, yang berstatus lebih rendah, lebih dari yang berstatus
lebih tinggi, mencoba memberi makna pada isi pesan si superior dengan
menyangkutkan pada konteks relasional sesuai dengan keinginan untuk menyamakan
status, menghindari inferioritas, dan memperkecil ketergantungan yang tidak timbal balik. Dengan demikian, siswa,
anak-anak, pegawai rendah, pasien, prajurit, sangat atentif terhadap
bagaimana guru, orang tua, bos, dokter,
tau komandan berhubungan dengan mereka. Bawahan (yang berstatus lebih rendah)
mendapat lebih banyak manfaat dibanding atasan (yang berstatus lebih tinggi)
dari penutupan jarak (gap) status antara mereka. Orang-orang yang menikmati
status lebih tinggi dan yang dalam batas-batas tertentu mendominasi bentuk
hubungan yang berkembang, jauh kurang sensitif terhadap aspek relasioanal dlam
pesan-pesan yang diterima dari bawahan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Tjosvold (1978), orang-orang dengan status lebih tinggi memperlihatkan hanya sedikit sensitivitas
terhadap isyarat- isyarat relasional, terutama sekali terhadap “ajakan” untuk lebih berkepedulian secara timbal
balik dan interdependensi dalam hubungan, seolah-olah mereka berusaha untuk
mempertahankan status, mereka dengan cara mengabaikan atau menolak pesan- pesan
seperti itu.
Dengan demikian dapat terlihat bahwa, dengan
perbedaan status, hubungan yang simetris dalam pendidikan susah untuk dicapai,
sehingga ini membuat perubahan dari hubungan yang lebih bersifat formal ke
hubungan yang lebih bersifat interdependen menghadapi halangan yang sifatnya
melekat pada suatu sistem. Cara yang mungkin ditempuh adalah merealisasikan
lebih besar “kekayaan informasi”, dalam bentuk pembukaan diri yang lebih besar,
umpan balik yang lebih jujur dan lainnya. Langkah seperti ini, akan memperkecil
jarak status, dan menjadikan perasaan yang bersifat superior lebih lunak bagi
keuntungan dari yang berstatus lebih rendah.
Kedua,
berkenaan dengan strategi yang digunakan oleh para pendidik untuk
mempertahankan/ memelihara status, peran dan misi mereka. Sumber kesulitan
dalam merealisasikan “kekayaan informasi”
dalam seting pendidikan sebagian berhubungan dengan isu perbedaan
status. Si pendidik di beri otoritas resmi untuk mendidik sehingga dengan
demikian juga punya wewenang untuk melaksanakan strategi-strategi yang lebih
kurang bersifat memaksa dalam rangka mengontrol prilaku murid. Hal ini memang
sesungguhnya diperlukan di sekolah, namun adakalanya prilaku yang berdisiplin
dijadikan tujuan, bukan cara/ alat untuk mencapai suatu tujuan.
Karakteristik lainnya yang berkaitan dengan
permasalahan itu adalah sekolah terlalu menekankan, malah hampir semata-mata
mengandalkan komunikasi verbal. Alasan untuk ini beragam sekali
(misalnya,seorang guru harus mengelola banyak murid, suatu tradisi dari dunia
pendidikan). Kesulitan muncul dari
bahasa dalam menangani aspek relasional dari komunikasi. Dengan alasan apapun,
yang pasti ekspresi mengenai hubungan lebih dipercayai bila diungkapkan secara
nonverbal dari pada disampaikan secara verbal. Siswa akan lebih percaya jika
suatu pernyataan diungkapkan dengan prilaku. Pernyataan verbal berkenaan dengan
hubungan, perlu divalidasi dengan prilaku nonverbal.
Dykman dan Reis (1979) menemukan bahwa murid-murid
yang mempunyai bayangan (konsep) rendah diri, memilih tempat duduk yang
beresiko rendah dalam kelas, sehingga mempertahankan konsep rendah diri mereka,
memperlihatkan prestasi belajar yang rendah; sementara itu, guru–guru kurang
memusatkan perhatian pada murid-murid yang demikian. Dengan demikian,
aspek-aspek relasional dalam pesan-pesan si anak sering terabaikan atau
dinterpretasikan dalam kerangka harapan negatif pada umumnya. Pada saat yang
sama, kecilnya perhatian dicurahkan kepada mereka, dan sikap yang hampir tidak
memberi dorongan pada mereka baik oleh sejawat maupun oleh guru yang tertangkap
oleh persepsi anak-anak tersebut, memperkuat konsep rendah diri mereka. Bila
sesuatu yang positif dari mereka dibicarakan disekolah, biasanya adalah dari performan mereka, bukan dari segi respon
murid-murid/ orang-orang lainnya terhadap isyarat relasional mereka. Ternyata
strategi mengatasi tingkah laku yang salah dengan jalan membuat lebih banyak
aturan dan atau dengan hukuman-hukuman yang lebih keras terbukti tidak efektif.
Temuan lain, Salomon menegaskas kedua belah pihak
yaitu guru dan siswa, peduli dengan masalah prilaku, namun masalahnya adalah,
masalah-masalah yang dicemaskan guru
tidak sama dengan yang menjadi kepedulian siswa. Guru biasanya peduli tentang
masalah kehadiran, sementara murid-murid lebih peduli dengan perkelahian,
pencurian, dan penghinaan. Ketidakpasan ini merupakan kontributor penting
terhadap perasaan ketidak adilan yang dirasakan siswa, dan ini mengarahkan pada
timbulnya reaksi-reaksi dari siswa-siswa yang teguh dengan disiplin. Ternyata
juga banyak aturan sekolah di samping tidak konsisten juga tidak eksplisit. Dalam situasi demikian tingkahlaku-
tingkahlaku menyimpang biasanya meningkat. Dari pendapat Smitt, ditegaskan oleh
Salomon bahwa bila guru-guru terlatih untuk mengobservasi perilaku siswa, si
guru akan menjadi observer yang lebih akurat dan siswa akan menjadi lebih
bersahabat. Berkenaan tentang masalah disiplin, satu prosedur yang dapat mencairkannya adalah mengalihkan
tanggung jawab perumusan aturan-aturan dan penegakannya kepada siswa itu
sendiri.
No comments:
Post a Comment