Friday, December 7, 2018

MODEL-MODEL EVALUASI PROGRAM PEMBELAJARAN




A.     Pendahuluan
Evaluasi program merupakan suatu proses menyediakan informasi yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai, desain, implementasi dan dampak untuk membantu membuat keputusan, membantu pertanggung jawaban dan meningkatkan pemahaman terhadap fenomena.
Evaluasi program juga merupakan proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk mengumpulkan, mendeskripsikan, menginterpretasikan dan menyajikan informasi untuk dapat digunakan sebagai dasar membuat keputusan, menyusun kebijakan maupun menyusun program selanjutnya. Adapun tujuan evaluasi adalah untuk memperoleh informasi yang akurat dan objektif tentang suatu program. Informasi tersebut dapat berupa proses pelaksanaan program, dampak/ hasil yang dicapai, efesiensi serta pemanfaatan hasil evaluasi yang difokuskan untuk program itu sendiri, yaitu untuk mengambil keputusan apakah dilanjutkan, diperbaiki atau dihentikan. Selain itu, juga dipergunakan untuk kepentingan peenyusunan program berikutnya maupun penyusunan kebijakan yang terkait dengan program.
Dalam melakukan evaluasi, perlu dipertimbangkan model evaluasi yang akan dibuat dan bentuk program yang akan dievaluasi serta menentukan model evaluasi yang akan digunakan. Model evaluasi merupakan suatu desain yang dibuat oleh para ahli atau pakar evaluasi. Biasanya model evaluasi ini dibuat berdasarkan kepentingan seseorang, lembaga atau instansi yang ingin mengetahui apakah program yang telah dilaksanakan dapat mencapai hasil dari sasaran yang diharapkan.
B.     Model Evaluasi Program
Ada banyak model evaluasi yang dikembangkan oleh para ahli yang dapat dipakai dalam mengevaluasi program pembelajaran. Berikut akan diuraikan beberapa model evaluasi program yang populer dan banyak dipakai sebagai strategi atau pedoman kerja dalam pelaksanaan evaluasi program yaitu:
1.      Evaluasi Model Kirkpatrick
Kirkpatrick salah seorang ahli evaluasi program pelatihan dalam bidang pengembangan sumber daya manusia (SDM). Model evaluasi yang dikembangkan oleh Kirkpatrick dikenal dengan istilah Kirkpatrick Four Levels Evaluation Model. Dimana empat model evaluasi ini berkenaan pada evaluasi terhadap efektivitas program pelatihan (training) yang menurut Kirkpatrick (1998) dalam Eko Putro Widoko (2010) mencakup empat level tahapan dalam mengevaluasi, yaitu: level 1 reaction, level 2 learning, level 3 behavior, dan level 4 result.yang masing-masing sebagai berikut:
a.       Evaluasi reaksi (reaction evaluation)
Mengevaluasi terhadap reaksi peserta training berarti mengukur kepuasan peserta. Program training dianggap efektif apabila proses training dirasa menyenangkan dan memuaskan bagi peserta training, sehingga mereka tertarik dan termotivasi untuk belajar dan berlatih. Dengan kata lain peserta training akan termotivasi apabila proses training berjalan secara memuaskan bagi peserta yang pada akhirnya akan memunculkan reaksi dari peserta yang menyenangkan. Sebaliknya apabila peserta tidak merasa puas terhadap proses training yang diikutinya mereka tidak akan termotivasi untuk mengikuti training.
Partner (2009) mengemukakan bahwa “the interest, attention and motivation of the participants are critical to the success of any training program, people learn better when they react positively to the learning environment”. Dapat disimpulkan bahwa keberhasilan proses kegiatan training tidak terlepas dari minat, perhatian, dan motivasi peserta pelatihan dalam mengikuti jalannya kegiatan pembelajaran. Orang akan belajar lebih baik manakala mereka memberi reaksi positif terhadap lingkungan belajar.
Kepuasan peserta dapat dikaji dari beberapa aspek, yaitu materi yang diberikan, fasilitas yang tersedia, strategi penyampaian materi yang digunakan oleh instruktur, media pembelajaran yang tersedia, waktu pelaksanaan pembelajaran, hingga gedung tempat pembelajaran dilaksanakan. Mengukur reaksi dapat dilakukan dengan reaction sheet dalam bentuk angket sehingga lebih mudah dan lebih efektif.
b.      Evaluasi belajar (learning evaluating)
Ada tiga hal yang dapat diajarkan dalam prgram training, yaitu pengetahuan, sikap maupun keterampilan. Peserta training dikatakan telah belajar apabila pada dirinya telah mengalami perubahan sikap, perbaikan pengetahuan maupun peningkatan keterampilan. Oleh karena itu untuk mengukur efektivitas prgram training maka ketiga aspek tersebut perlu untuk diukur. Tanpa adanya perubahan sikap, peningkatan pengetahuan atau keterampilan pada peserta training maka program dapat dikatakan gagal.
Penilaian learning evaluating ini ada yang menyebut dengan penilaian hasil (output) belajar. Mengukur hasil belajar lebih sulit dan memakan waktu dibandingkan dengan mengukur reaksi. Mengukur reaksi dapat dilakukan dengan reaction sheet dalam bentuk angket sehingga lebih mudah dan lebih efektif. Menurut Kirkpatrick (1998: 40), untuk menilai hasil belajar dapat dilakukan dengan kelompok pembanding. Kelompok yang ikut pelatihan dan kelompok yang tidak ikut pelatihan diperbandingkan perkembangannya dalam periode waktu tertentu. Dapat juga dilakukan dengan membandingkan hasil pretest dengan posttest, tes tertulis maupun tes kinerja (performance test).
c.       Evaluasi perilaku (behavior evaluation)
Evaluasi pada level ke 3 (evaluasi tingkah laku) ini berbeda dengan evaluasi terhadap sikap pada level ke 2. Penilaian sikap pada evaluasi level 2 difokuskan pada perubahan sikap yang terjadi pada saat kegiatan pembelajaran dilakukan sehingga lebih bersifat internal, sedangkan penilaian tingkah laku difokuskan pada perubahan tingkah laku peserta setelah selesai mengikuti pembelajaran. Sehingga penilaian tingkah laku ini lebih bersifat eksternal. Karena yang dinilai adalah perubahan perilaku setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dan kembali ke lingkungan mereka maka evaluasi level 3 ini dapat disebut sebagai evaluasi terhadap outcomes dari kegiatan pelatihan.
Evaluasi perilaku dapat dilakukan dengan membandingkan perilaku kelompok kontrol dengan perilaku peserta training, atau dengan membandingkan perilaku sebelum dan sesudah mengikuti training maupun dengan mengadakan survei atau interview dengan pelatih, atasan maupun bawahan peserta training setelah mereka kembali ketempat kerja.
d.      Evaluasi hasil (result evaluation)
Evaluasi hasil dalam level ke 4 ini difokuskan pada hasil akhir (final result) yang terjadi karena siswa telah mengikuti suatu program pembelajaran. Termasuk dalam kategori hasil akhir dari suatu program pembelajaran diantaranya adalah peningkatan hasil belajar, peningkatan pengetahuan, dan peningkatan keterampilan (skills).
Beberapa program mempunyai tujuan meningkatkan moral kerja maupun membangun teamwork (kerjasama tim) yang lebih baik. Dengan kata lain adalah evaluasi terhadap impact program (pengaruh program). Tidak semua pengaruh dari sebuah program dapat diukur dan juga membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu evaluasi level 4 ini lebih sulit di bandingkan dengan evaluasi pada level-level sebelumnya. Evaluasi hasil akhir ini dapat dilakukan dengan membandingkan kelompok kontrol dengan kelompok peserta pembelajaran, mengukur kemampuan siswa sebelum dan setelah mengikuti pembelajaran apakah ada peningkatan atau tidak (Kirkpatrick, 1998: 61).
Dibandingkan dengan model evaluasi yang lain, model ini memiliki beberapa kelebihan yaitu: 1) lebih komprehensif, karena mencakup had skill dan soft skill. 2) objek evaluasi tidak hanya hasil belajar semata tapi juga mencakup proses, output dan outcomes. 3) mudah untuk diterapkan. Selain kelebihan tersebut model ini juga memiliki beberapa keterbatasan, antara lain: 1) kurang memperhatikan input. 2) untuk mengukur impact sulit dilakukan karena selain sulit tolak ukurnya juga sudah di luar jangkauan guru maupun sekolah.
2.      Model Evaluasi CIPP
Model evaluasi CIPP yang dikemukakan oleh Stufflebeam & Shinkfield (1985) adalah sebuah pendekatan evaluasi yang berorientasi pada pengambil keputusan (a decision oriented evaluation approach structured) untuk memberikan bantuan kepada administrator atau leader pengambil keputusan. Stufflebeam mengemukakan bahwa hasil evaluasi akan memberikan alternatif pemecahan masalah bagi para pengambil keputusan. Model evaluasi CIPP ini terdiri dari 4 komponen yang diuraikan sebagai berikut:
a.       Evaluasi konteks
Evaluasi konteks mencakup analisis masalah yang berkaitan dengan lingkungan program atau kondisi obyektif yang akan dilaksanakan. Berisi tentang analisis kekuatan dan kelemahan obyek tertentu (Eko Putro Widoyoko: 2010). Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin (2009) menjelaskan bahwa, evaluasi konteks adalah upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani, dan tujuan proyek.
b.      Input evaluasi
Tahap kedua dari model CIPP adalah evaluasi input, atau evaluasi masukan. Menurut Eko Putro Widoyoko, evaluasi masukan membantu mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternative apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai tujuan, dan bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya. Komponen evaluasi masukan meliputi: 1) Sumber daya manusia, 2) Sarana dan peralatan pendukung, 3) Dana atau anggaran, dan 4) Berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan.
c.       Evaluasi proses
Evaluasi proses digunakan untuk menditeksi atau memprediksi rancangan prosedur atau rancangan implementasi selama tahap implementasi, menyediakan informasi untuk keputusan program dan sebagai rekaman atau arsip prosedur yang telah terjadi. Evaluasi proses meliputi koleksi data penilaian yang telah ditentukan dan diterapkan dalam praktik pelaksanaan program. Pada dasarnya evaluasi proses untuk mengetahui sampai sejauh mana rencana telah diterapkan dan komponen apa yang perlu diperbaiki.
d.      Evaluasi produk/ hasil
Evaluasi produk merupakan penilaian yang dilakukan guna untuk melihat ketercapaian/ keberhasilan suatu program dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Pada tahap evaluasi inilah seorang evaluator dapat menentukan atau memberikan rekomendasi kepada evaluan apakah suatu program dapat dilanjutkan, dikembangkan/modifikasi, atau bahkan dihentikan.
Menurut Eko Putro Widoyoko model evaluasi CIPP lebih komprehensif diantara model evaluasi lainnya, karena objek evaluasi tidak hanya pada hasil semata tetapi juga mencakup konteks, masukan, proses, dan hasil. Selain kelebihan tersebut, di satu sisi model evaluasi ini juga memiliki keterbatasan, antara lain penerapan model ini dalam bidang program pembelajaran dikelas mempunyai tingkat keterlaksanaan yang kurang tinggi jika tidak adanya modifikasi.
3.      Evaluasi Model Wheel (roda) dari Beebe
Model evaluasi ini berbentuk roda karena menggambarkan usaha evaluasi yang berkaitan dan berkelanjutan dan satu proses ke proses selanjutnya. Model ini digunakan untuk mengetahui apakah pelatihan yang dilakukan suatu instansi telah berhasil, untuk itu diperlukan lah sebuah alat untuk mengevaluasinya.
Secara singkat, model wheel  ini mempunyai 3 tahap utama. Tiga tahap tersebut adalah  pembentukan tujuan pembelajaran, pengukuran outcomes pembelajaran, dan penginterpretasian hasil pengukuran dan penilaian.
4.      Evaluasi Model Provus
Evaluasi kesenjangan program, begitu orang menyebutnya. Kesenjangan program adalah sebagai suatu keadaan antara yang diharapkan dalam rencana dengan yang dihasilkan dalam pelaksanaan program. Evaluasi kesenjangan dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara standard yang sudah ditentukan dalam program dengan penampilan aktual dari program tersebut (Eko Putro Widoyoko: 2010).
Dengan demikian tujuan dari model ini adalah untuk menganalisis suatu program sehingga dapat ditentukan apakah suatu program layak diteruskan, ditingkatkan dan sebaliknya yang disesuaikan dengan standar, performance, dan discrepancy.
5.      Evaluasi Model Stake
Stake menekankan adanya dua dasarkegiatan dalam evaluasi, yaitu description dan judgement dan membedakan adanya tiga tahap dalam program pendidikan yaitu context, process dan outcomes. Stake menyatakan bahwa apabila menilai suatu program pendidikan, makaharus melakukan perbandingan yang relatif antara satu program dengan yang lainnya. Dalam model ini antencedent (masukan), transaction (proses) dan outcomes (hasil) data dibandingkan tidak hanya untuk menentukan apakah ada perbedaan antara tujuan dengan keadaan yang sebenarnya, tetapi juga dibandingkan dengan standar yang absolut untuk menilai manfaat program (Farida Yusuf Tayibnapis, 2000:22).
6.       Evaluasi Model Brinkerhoff
Brinkerhoff & Cs. (1983) mengemukakan tiga golongan evaluasi yang disusun berdasarkan penggabungan elemen-elemen yang sama, seperti evaluator-evaluator lain, namun dalam komposisi dan versi mereka sendiri sebagai berikut:
a.       Fixed vs Emergent Evaluation Design
Desain evaluasi fixed (tatap) harus derencanakan dan disusun secara sistematik-terstruktur sebelum program dilaksanakan. Meskipun demikian, desain fixed dapat juga disesuikan dengan kebutuhan yang sewaktu-waktu dapat berubah. Desani evaluasi ini dikembangkan berdasarkan tujuan program, kemudian disusun pertanyaan-pertanyaan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang diperoleh dari sumber-sumber tertentu. Begitu juga dengan model analisis yang akan digunakan harus dibuat sebelum program dilaksanakan.
Kegiatan-kegiatan evaluasi yang dilakukan dalam desain fixed ini, antara lain menyusun pertanyaan-pertanyaan, menyusun dan menyiapkan instrumen, menganalisis hasil evaluasi, dan melaporkan hasil evaluasi secara formal kepada pihak-pihak yang bekepentingan. Untuk mengumpulkan data dalam desain ini dapat digunakan berbagai teknik, seperti tes, observasi, wawancara, kuesioner, dan skala penilaian.
b.      Formative vs Summative Evaluation
Evaluasi formatif berfungsi untuk memperbaiki kurikulum dan pembelajaran, sedangkan evaluasi sumatif berfungsi untuk melihat kemanfaatan kurikulum dan pembelajaran secara menyeluruh. Artinya, jika hasil kurikulum dan pembelajaran memang bermanfaat bagi semua pihak yang terkait (terutama peserta didik) maka kurikulum dan pembelajaran dapat dihentikan.

C.    Desain eskprimental dan desain quasi eskprimental vs natural inquiry
Desain eksperimental banyak menggunakan pendekatan kuantitatif, random sampling, memberikan perlakuan, dan mengukur dampak. Tujuannya adalah untuk menilai manfaat hasil percobaan program pembelajaran. Untuk itu, perlu dilakukan manipulasi terhadap lingkungan dan pemilihan strategi yang dianggap pantas. Jika prosesnya sudah terjadi, evaluator cukup melihat dokumen-dokumen sejarah atau menganalisis hasil tes. Jika prosesnya sedang terjadi, evaluator dapat melakukan pengamatan atau wawancara dengan orang-orang yang terlibat. Untuk itu, kriteria internal dan eksternal sangat diperlukan.
Selain berbagai model tersebut, Nana Sudjana dan Ibrahim (2004: 234) mengelompokkan model-model evaluasi pendidikan berdasarkan perkembangannya menjadi 4 kelompok yaitu:
1.      Measurement Model
Model ini dipandang sebagai model tertua di dalam sejarah evaluasi dan telah banyak dikenal di dalam proses evaluasi pendidikan. Tokoh-tokoh evaluasi yang dipandang sebagai pengembang model ini adalah R. Thorndike dan R.L. Ebel.
Sesuai dengan namanya, model ini sangat menitikberatkan peranan kegiatan pengukuran di dalam melaksanakan proses evaluasi. Pengukuran dipandang sebagai suatu kegiatan yang ilmiah dan dapat diterapkan dalam berbagai bidang persoalan termasuk ke dalamnya bidang pendidikan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa menurut model ini, evaluasi pendidikan pada dasarnya tidak lain adalah pengukuran terhadap berbagai aspek tingkah laku dengan tujuan untuk melihat perbedaan-perbedaan individual atau kelompok, yang hasilnya diperlukan dalam rangka seleksi, bimbingan, dan perencanaan pendidikan bagi para siswa di sekolah.
Penggunaan objek dari kegiatan evaluasi model ini adalah tingkah laku, terutama tingkah laku siswa. Aspek tingkah laku siswa yang dinilai di sini mencakup kemampuan hasil belajar, kemampuan pembawaan, minat, sikap, dan juga aspek-aspek kepribadian siswa. Dengan kata lain, objek evaluasi di sini mencakup baik aspek kognitif maupun dengan kegiatan evaluasi pendidikan di sekolah, model ini menitikberatkan pada pengukuran terhadap hasil belajar yang dicapai siswa pada masing-masing bidang pelajaran dengan menggunakan tes.

2.      Congruence Model
Model kedua ini dapat dipandang sebagai reaksi terhadap model yang pertama. Tokoh-tokoh evaluasi yang merupakan pengembang model ini antara lain adalah Raph W. Tyler, John B. Carroll, dan Lee J. Cronbach.
Menurut model ini, evaluasi itu tidak lain adalah usaha untuk memeriksa persesuaian (congruence) antara tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan dan hasil belajar yang telah dicapai. Berhubung tujuan-tujuan pendidikan menyangkut perubahan-perubahan tingkah laku yang diinginkan pada diri anak didik, maka evaluasi yang dinginkan itu telah terjadi. Hasil evaluasi yang diperoleh berguna bagi kepentingan menyempurnakan sistem bimbingan siswa dan untuk memberikan informasi kepada pihak-pihak di luar pendidikan mengenai hasil-hasil yang telah dicapai.
Objek evaluasi dalam model ini adalah tingkah laku siswa. Secara lebih khusus, yang dinilai di sini adalah perubahan tingkah laku yang diinginkan yang diperhatikan oleh siswa pada akhir kegiatan pendidikan. Tingkah laku hasil belajar ini tidak hanya terbatas pada aspek pengetahuan, melainkan juga mencakup aspek keterampilan dan sikap, sebagai hasil dari proses pendidikan.
3.      Educational System Evaluation Model
Model ketiga yang ini merupakan reaksi terhadap kedua model terdahulu. Tokoh-tokoh evaluasi yang dipandang sebagai pengembang dari model yang ketiga ini antara lain adalah Daniel L. Stufflebeam, Michael Scriven, Robert E. Stake dan Malcolm M. Provus.
Model ini bertitik tolak dari pandangan, bahwa keberhasilan dari suatu sistem pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Evaluasi menurut model ini dimaksudkan untuk membandingkan performance dari berbagai dimensi sistem yang sedang dikembangkan dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada suatu deskripsi dan judgement mengenai sistem yang dinilai tersebut.

4.      Illuminative Model
Model yang keempat ini dikembangkan sebagai reaksi terhadap dua model evaluasi yang pertama, yaitu measurement dan congruence. Model ini dikembangkan terutama di Inggris dan banyak dikaitkan dengan pendekatan dalam bidang antropologi. Salah seorang tokoh yang paling menonjol dalam usahanya mengembangkan model ini adalah Malcolm Parlett.
Tujuan evaluasi menurut model yang keempat ini adalah mengadakan studi yang cermat terhadap sistem yang bersangkutan. Hasil evaluasi yang dilaporkan lebih bersifat deskripsi dan interpretasi, bukan pengukuran dan prediksi. Oleh karena itu dalam pelaksanaan evaluasi, model yang keempat ini lebih banyak menekankan pada penggunaan Judgement.
Model ini juga memandang fungsi evaluasi sebagai bahan atau input untuk kepentingan pengambilan keputusan dalam rangka penyesuaian-penyesuaian dan penyempurnaan sistem yang sedang dikembangkan.
D.    Ketepatan Penentuan Model Evaluasi Program
Makna ketepatan model evaluasi bagi program yang di evaluasikan mengandung makna bahwa ada harapan keeratan tautan antara evaluasi program dengan jenis program yang dievaluasi. Sesuai dengan bentuk kegiatannya, program ini dibedakan menjadi tiga yaitu (1) program pemrosesan, (2) program layanan, dan (3) program umum.
1.      Program pemprosesan
Program pemprosesan adalah program yang kegiatan pokoknya mengubah bahan mentah (input) menjadi bahan jadi sebagai hasil proses atau keluaran (output). Contoh: program perpustakaan, program kepramukaan dan sebagainnya.


2.      Program Layanan (service)
Program Layanan adalah sebuah kesatuan kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pihak tertentu sehingga merasa puas sesuai dengan tujuan program. Sebagai contoh adalah: program bank, program koperasi dan lain-lain.
3.      Program Umum
Program Umum yaitu program yang tidak tampak apa yang menjadi ciri utama. Contohnya adalah: Program makanan tambahan anak
Sekolah (PMTAS)
E.     Rancangan Evaluasi Program
Membicarakan mengenai rancangan evaluasi ada beberapa hal yang tercantum dalam sebuah rancangan evaluasi tersebut diantaranya adalah:
  1. Judul Kegiatan
  2. Alasan Dilaksanakannya Evaluasi
  3. Tujuan
  4. Pertanyaan Evaluasi
  5. Metodologi yang Digunakan
  6. Prosedur Kerja dan Langkah-Langkah Kegiatan.

DAFTAR PUSTAKA
Eko Putro Widoyoko. 2009. Evaluasi Program Pembelajaran: Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Farida Yusuf Tayibnapis. 2000. Evaluasi Program. Jakarta: PT Rineka Cipta
Hamid Hasan. 2009. Evaluasi Kurikulum. cetakan kedua. Bandung: Remaja Rosdakarya
Kirkpatrick, D. L. 1998. Evaluating Training Programs: The Four Levels. San Francisco: Berrett-Koehler Publisher, Inc.
Kirkpatrick, D. L. 2009. Kirkpatrick’s Training Evaluation Model.
Partner, C. 2009. Implementing the Kirkpatrick Evaluation Model Plus.
Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin. 2009. Evaluasi Program Pendidikan: Pedoman Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan, cetakan ketiga. Jakarta: Bumi Aksara
Zaenal Arifin. 2009. Evaluasi Pembelajaran: Prinsip, Teknik, dan Prosedur. Bandung: Remaja Rosdakarya

No comments:

Post a Comment