A. Pendahuluan
Evaluasi
program merupakan suatu proses menyediakan informasi yang dapat dijadikan
sebagai pertimbangan untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai, desain,
implementasi dan dampak untuk membantu membuat keputusan, membantu pertanggung
jawaban dan meningkatkan pemahaman terhadap fenomena.
Evaluasi
program juga merupakan proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk
mengumpulkan, mendeskripsikan, menginterpretasikan dan menyajikan informasi
untuk dapat digunakan sebagai dasar membuat keputusan, menyusun kebijakan
maupun menyusun program selanjutnya. Adapun tujuan evaluasi adalah untuk
memperoleh informasi yang akurat dan objektif tentang suatu program. Informasi
tersebut dapat berupa proses pelaksanaan program, dampak/ hasil yang dicapai,
efesiensi serta pemanfaatan hasil evaluasi yang difokuskan untuk program itu
sendiri, yaitu untuk mengambil keputusan apakah dilanjutkan, diperbaiki atau
dihentikan. Selain itu, juga dipergunakan untuk kepentingan peenyusunan program
berikutnya maupun penyusunan kebijakan yang terkait dengan program.
Dalam
melakukan evaluasi, perlu dipertimbangkan model evaluasi yang akan dibuat dan bentuk
program yang akan dievaluasi serta menentukan model evaluasi yang akan
digunakan. Model
evaluasi merupakan suatu desain yang dibuat oleh para ahli atau pakar evaluasi.
Biasanya model evaluasi ini dibuat berdasarkan kepentingan seseorang, lembaga
atau instansi yang ingin mengetahui apakah program yang telah dilaksanakan
dapat mencapai hasil dari sasaran yang
diharapkan.
B. Model
Evaluasi Program
Ada banyak
model evaluasi yang dikembangkan oleh para ahli yang dapat dipakai dalam
mengevaluasi program pembelajaran. Berikut akan diuraikan beberapa model
evaluasi program yang populer dan banyak dipakai sebagai strategi atau pedoman
kerja dalam pelaksanaan evaluasi program yaitu:
1. Evaluasi
Model Kirkpatrick
Kirkpatrick
salah seorang ahli evaluasi program pelatihan dalam bidang pengembangan sumber
daya manusia (SDM). Model evaluasi yang dikembangkan oleh Kirkpatrick dikenal
dengan istilah Kirkpatrick Four Levels Evaluation Model. Dimana empat
model evaluasi ini berkenaan pada evaluasi terhadap efektivitas program pelatihan (training) yang menurut
Kirkpatrick (1998) dalam Eko Putro Widoko (2010) mencakup empat level tahapan
dalam mengevaluasi,
yaitu: level 1 reaction, level 2 learning, level 3 behavior,
dan level 4 result.yang masing-masing sebagai berikut:
a. Evaluasi
reaksi (reaction evaluation)
Mengevaluasi
terhadap reaksi peserta training berarti mengukur kepuasan peserta. Program
training dianggap efektif apabila proses training dirasa menyenangkan dan
memuaskan bagi peserta training, sehingga mereka tertarik dan termotivasi untuk
belajar dan berlatih. Dengan kata lain peserta training akan termotivasi
apabila proses training berjalan secara memuaskan bagi peserta yang pada
akhirnya akan memunculkan reaksi dari peserta yang menyenangkan. Sebaliknya
apabila peserta tidak merasa puas terhadap proses training yang diikutinya
mereka tidak akan termotivasi untuk mengikuti training.
Partner
(2009) mengemukakan bahwa “the interest, attention and motivation of the
participants are critical to the success of any training program, people learn
better when they react positively to the learning environment”. Dapat
disimpulkan bahwa keberhasilan proses kegiatan training tidak terlepas dari
minat, perhatian, dan motivasi peserta pelatihan dalam mengikuti jalannya
kegiatan pembelajaran. Orang akan belajar lebih baik manakala mereka memberi
reaksi positif terhadap lingkungan belajar.
Kepuasan
peserta dapat dikaji dari beberapa aspek, yaitu materi yang diberikan,
fasilitas yang tersedia, strategi penyampaian materi yang digunakan oleh
instruktur, media pembelajaran yang tersedia, waktu pelaksanaan pembelajaran,
hingga gedung tempat pembelajaran dilaksanakan. Mengukur reaksi dapat dilakukan
dengan reaction sheet dalam bentuk angket sehingga lebih mudah dan lebih
efektif.
b. Evaluasi
belajar (learning evaluating)
Ada tiga hal
yang dapat diajarkan dalam prgram training, yaitu pengetahuan, sikap maupun
keterampilan. Peserta training dikatakan telah belajar apabila pada dirinya
telah mengalami perubahan sikap, perbaikan pengetahuan maupun peningkatan
keterampilan. Oleh karena itu untuk mengukur efektivitas prgram training maka
ketiga aspek tersebut perlu untuk diukur. Tanpa adanya perubahan sikap,
peningkatan pengetahuan atau keterampilan pada peserta training maka program
dapat dikatakan gagal.
Penilaian learning
evaluating ini ada yang menyebut dengan penilaian hasil (output)
belajar. Mengukur hasil belajar lebih sulit dan memakan waktu dibandingkan
dengan mengukur reaksi. Mengukur reaksi dapat dilakukan dengan reaction
sheet dalam bentuk angket sehingga lebih mudah dan lebih efektif. Menurut
Kirkpatrick (1998: 40), untuk menilai hasil belajar dapat dilakukan dengan
kelompok pembanding. Kelompok yang ikut pelatihan dan kelompok yang tidak ikut
pelatihan diperbandingkan perkembangannya dalam periode waktu tertentu. Dapat
juga dilakukan dengan membandingkan hasil pretest dengan posttest, tes tertulis
maupun tes kinerja (performance test).
c. Evaluasi
perilaku (behavior evaluation)
Evaluasi
pada level ke 3 (evaluasi tingkah laku) ini berbeda dengan evaluasi terhadap
sikap pada level ke 2. Penilaian sikap pada evaluasi level 2 difokuskan pada
perubahan sikap yang terjadi pada saat kegiatan pembelajaran dilakukan sehingga
lebih bersifat internal, sedangkan penilaian tingkah laku difokuskan pada
perubahan tingkah laku peserta setelah selesai mengikuti pembelajaran. Sehingga
penilaian tingkah laku ini lebih bersifat eksternal. Karena yang dinilai adalah
perubahan perilaku setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dan kembali ke
lingkungan mereka maka evaluasi level 3 ini dapat disebut sebagai evaluasi
terhadap outcomes dari kegiatan pelatihan.
Evaluasi
perilaku dapat dilakukan dengan membandingkan perilaku kelompok kontrol dengan
perilaku peserta training, atau dengan membandingkan perilaku sebelum dan
sesudah mengikuti training maupun dengan mengadakan survei atau interview
dengan pelatih, atasan maupun bawahan peserta training setelah mereka kembali
ketempat kerja.
d. Evaluasi
hasil (result evaluation)
Evaluasi
hasil dalam level ke 4 ini difokuskan pada hasil akhir (final result)
yang terjadi karena siswa telah mengikuti suatu program pembelajaran. Termasuk
dalam kategori hasil akhir dari suatu program pembelajaran diantaranya adalah
peningkatan hasil belajar, peningkatan pengetahuan, dan peningkatan
keterampilan (skills).
Beberapa
program mempunyai tujuan meningkatkan moral kerja maupun membangun teamwork
(kerjasama tim) yang lebih baik. Dengan kata lain adalah evaluasi terhadap impact
program (pengaruh program). Tidak semua pengaruh dari sebuah program dapat
diukur dan juga membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu evaluasi
level 4 ini lebih sulit di bandingkan dengan evaluasi pada level-level
sebelumnya. Evaluasi hasil akhir ini dapat dilakukan dengan membandingkan
kelompok kontrol dengan kelompok peserta pembelajaran, mengukur kemampuan siswa
sebelum dan setelah mengikuti pembelajaran apakah ada peningkatan atau tidak
(Kirkpatrick, 1998: 61).
Dibandingkan
dengan model evaluasi yang lain, model ini memiliki beberapa kelebihan yaitu:
1) lebih komprehensif, karena mencakup had skill dan soft skill.
2) objek evaluasi tidak hanya hasil belajar semata tapi juga mencakup proses, output
dan outcomes. 3) mudah untuk diterapkan. Selain kelebihan tersebut
model ini juga memiliki beberapa keterbatasan, antara lain: 1) kurang
memperhatikan input. 2) untuk mengukur impact sulit dilakukan
karena selain sulit tolak ukurnya juga sudah di luar jangkauan guru maupun
sekolah.
2. Model
Evaluasi CIPP
Model
evaluasi CIPP yang dikemukakan oleh Stufflebeam & Shinkfield (1985) adalah
sebuah pendekatan evaluasi yang berorientasi pada pengambil keputusan (a
decision oriented evaluation approach structured) untuk memberikan bantuan
kepada administrator atau leader pengambil keputusan. Stufflebeam mengemukakan
bahwa hasil evaluasi akan memberikan alternatif pemecahan masalah bagi para
pengambil keputusan. Model evaluasi CIPP ini terdiri dari 4 komponen yang
diuraikan sebagai berikut:
a. Evaluasi
konteks
Evaluasi
konteks mencakup analisis masalah yang berkaitan dengan lingkungan program atau
kondisi obyektif yang akan dilaksanakan. Berisi tentang analisis kekuatan dan
kelemahan obyek tertentu (Eko Putro Widoyoko: 2010). Suharsimi Arikunto dan
Cepi Safrudin (2009) menjelaskan bahwa, evaluasi konteks adalah upaya untuk
menggambarkan dan merinci lingkungan kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi
dan sampel yang dilayani, dan tujuan proyek.
b. Input
evaluasi
Tahap kedua
dari model CIPP adalah evaluasi input, atau evaluasi masukan. Menurut
Eko Putro Widoyoko, evaluasi masukan membantu mengatur keputusan, menentukan
sumber-sumber yang ada, alternative apa yang diambil, apa rencana dan strategi
untuk mencapai tujuan, dan bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya. Komponen
evaluasi masukan meliputi: 1) Sumber daya manusia, 2) Sarana dan peralatan
pendukung, 3) Dana atau anggaran, dan 4) Berbagai prosedur dan aturan yang
diperlukan.
c. Evaluasi
proses
Evaluasi
proses digunakan untuk menditeksi atau memprediksi rancangan prosedur atau
rancangan implementasi selama tahap implementasi, menyediakan informasi untuk
keputusan program dan sebagai rekaman atau arsip prosedur yang telah terjadi.
Evaluasi proses meliputi koleksi data penilaian yang telah ditentukan dan
diterapkan dalam praktik pelaksanaan program. Pada dasarnya evaluasi proses
untuk mengetahui sampai sejauh mana rencana telah diterapkan dan komponen apa
yang perlu diperbaiki.
d. Evaluasi
produk/ hasil
Evaluasi
produk merupakan penilaian yang dilakukan guna untuk melihat ketercapaian/
keberhasilan suatu program dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan
sebelumnya. Pada tahap evaluasi inilah seorang evaluator dapat menentukan atau
memberikan rekomendasi kepada evaluan apakah suatu program dapat dilanjutkan,
dikembangkan/modifikasi, atau bahkan dihentikan.
Menurut Eko
Putro Widoyoko model evaluasi CIPP lebih komprehensif diantara model evaluasi
lainnya, karena objek evaluasi tidak hanya pada hasil semata tetapi juga
mencakup konteks, masukan, proses, dan hasil. Selain kelebihan tersebut, di
satu sisi model evaluasi ini juga memiliki keterbatasan, antara lain penerapan
model ini dalam bidang program pembelajaran dikelas mempunyai tingkat
keterlaksanaan yang kurang tinggi jika tidak adanya modifikasi.
3. Evaluasi
Model Wheel (roda) dari Beebe
Model
evaluasi ini berbentuk roda karena menggambarkan usaha evaluasi yang berkaitan
dan berkelanjutan dan satu proses ke proses selanjutnya. Model ini digunakan
untuk mengetahui apakah pelatihan yang dilakukan suatu instansi telah berhasil,
untuk itu diperlukan lah sebuah alat untuk mengevaluasinya.
Secara
singkat, model wheel ini mempunyai 3 tahap utama. Tiga tahap
tersebut adalah pembentukan tujuan pembelajaran, pengukuran outcomes
pembelajaran, dan penginterpretasian hasil pengukuran dan penilaian.
4. Evaluasi
Model Provus
Evaluasi
kesenjangan program, begitu orang menyebutnya. Kesenjangan program adalah
sebagai suatu keadaan antara yang diharapkan dalam rencana dengan yang
dihasilkan dalam pelaksanaan program. Evaluasi kesenjangan dimaksudkan untuk
mengetahui tingkat kesesuaian antara standard yang sudah ditentukan dalam
program dengan penampilan aktual dari program tersebut (Eko Putro Widoyoko:
2010).
Dengan
demikian tujuan dari model ini adalah untuk menganalisis suatu program sehingga
dapat ditentukan apakah suatu program layak diteruskan, ditingkatkan dan
sebaliknya yang disesuaikan dengan standar, performance, dan discrepancy.
5. Evaluasi
Model Stake
Stake
menekankan adanya dua dasarkegiatan dalam evaluasi, yaitu description dan
judgement dan membedakan adanya tiga tahap dalam program pendidikan
yaitu context, process dan outcomes. Stake menyatakan bahwa
apabila menilai suatu program pendidikan, makaharus melakukan perbandingan yang
relatif antara satu program dengan yang lainnya. Dalam model ini antencedent
(masukan), transaction (proses) dan outcomes (hasil) data
dibandingkan tidak hanya untuk menentukan apakah ada perbedaan antara tujuan
dengan keadaan yang sebenarnya, tetapi juga dibandingkan dengan standar yang
absolut untuk menilai manfaat program (Farida Yusuf Tayibnapis, 2000:22).
6. Evaluasi
Model Brinkerhoff
Brinkerhoff
& Cs. (1983) mengemukakan tiga golongan evaluasi yang disusun berdasarkan
penggabungan elemen-elemen yang sama, seperti evaluator-evaluator lain, namun
dalam komposisi dan versi mereka sendiri sebagai berikut:
a.
Fixed vs Emergent Evaluation Design
Desain evaluasi fixed (tatap) harus derencanakan dan disusun secara sistematik-terstruktur
sebelum program dilaksanakan. Meskipun demikian, desain fixed dapat juga
disesuikan dengan kebutuhan yang sewaktu-waktu dapat berubah. Desani evaluasi
ini dikembangkan berdasarkan tujuan program, kemudian disusun
pertanyaan-pertanyaan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang diperoleh dari
sumber-sumber tertentu. Begitu juga dengan model analisis yang akan digunakan
harus dibuat sebelum program dilaksanakan.
Kegiatan-kegiatan evaluasi yang dilakukan dalam desain fixed ini, antara lain
menyusun pertanyaan-pertanyaan, menyusun dan menyiapkan instrumen, menganalisis
hasil evaluasi, dan melaporkan hasil evaluasi secara formal kepada pihak-pihak
yang bekepentingan. Untuk mengumpulkan data dalam desain ini dapat digunakan
berbagai teknik, seperti tes, observasi, wawancara, kuesioner, dan skala
penilaian.
b.
Formative vs Summative Evaluation
Evaluasi formatif berfungsi untuk memperbaiki kurikulum dan pembelajaran,
sedangkan evaluasi sumatif berfungsi untuk melihat kemanfaatan kurikulum dan
pembelajaran secara menyeluruh. Artinya, jika hasil kurikulum dan pembelajaran
memang bermanfaat bagi semua pihak yang terkait (terutama peserta didik) maka
kurikulum dan pembelajaran dapat dihentikan.
C. Desain
eskprimental dan desain quasi eskprimental vs natural inquiry
Desain
eksperimental banyak menggunakan pendekatan kuantitatif, random sampling,
memberikan perlakuan, dan mengukur dampak. Tujuannya adalah untuk menilai
manfaat hasil percobaan program pembelajaran. Untuk itu, perlu dilakukan
manipulasi terhadap lingkungan dan pemilihan strategi yang dianggap pantas.
Jika prosesnya sudah terjadi, evaluator cukup melihat dokumen-dokumen sejarah
atau menganalisis hasil tes. Jika prosesnya sedang terjadi, evaluator dapat
melakukan pengamatan atau wawancara dengan orang-orang yang terlibat. Untuk
itu, kriteria internal dan eksternal sangat diperlukan.
Selain
berbagai model tersebut, Nana Sudjana dan Ibrahim (2004: 234) mengelompokkan
model-model evaluasi pendidikan berdasarkan perkembangannya menjadi 4 kelompok
yaitu:
1. Measurement
Model
Model ini
dipandang sebagai model tertua di dalam sejarah evaluasi dan telah banyak
dikenal di dalam proses evaluasi pendidikan. Tokoh-tokoh evaluasi yang
dipandang sebagai pengembang model ini adalah R. Thorndike dan R.L. Ebel.
Sesuai
dengan namanya, model ini sangat menitikberatkan peranan kegiatan pengukuran di
dalam melaksanakan proses evaluasi. Pengukuran dipandang sebagai suatu kegiatan
yang ilmiah dan dapat diterapkan dalam berbagai bidang persoalan termasuk ke
dalamnya bidang pendidikan.
Dari uraian
di atas dapat disimpulkan, bahwa menurut model ini, evaluasi pendidikan pada
dasarnya tidak lain adalah pengukuran terhadap berbagai aspek tingkah laku
dengan tujuan untuk melihat perbedaan-perbedaan individual atau kelompok, yang
hasilnya diperlukan dalam rangka seleksi, bimbingan, dan perencanaan pendidikan
bagi para siswa di sekolah.
Penggunaan objek dari
kegiatan evaluasi model ini adalah tingkah laku, terutama tingkah laku siswa.
Aspek tingkah laku siswa yang dinilai di sini mencakup kemampuan hasil belajar,
kemampuan pembawaan, minat, sikap, dan juga aspek-aspek kepribadian siswa.
Dengan kata lain, objek evaluasi di sini mencakup baik aspek kognitif maupun
dengan kegiatan evaluasi pendidikan di sekolah, model ini menitikberatkan pada
pengukuran terhadap hasil belajar yang dicapai siswa pada masing-masing bidang
pelajaran dengan menggunakan tes.
2. Congruence
Model
Model kedua
ini dapat dipandang sebagai reaksi terhadap model yang pertama. Tokoh-tokoh
evaluasi yang merupakan pengembang model ini antara lain adalah Raph W. Tyler,
John B. Carroll, dan Lee J. Cronbach.
Menurut
model ini, evaluasi itu tidak lain adalah usaha untuk memeriksa persesuaian (congruence)
antara tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan dan hasil belajar yang telah
dicapai. Berhubung tujuan-tujuan pendidikan menyangkut perubahan-perubahan
tingkah laku yang diinginkan pada diri anak didik, maka evaluasi yang dinginkan
itu telah terjadi. Hasil evaluasi yang diperoleh berguna bagi kepentingan
menyempurnakan sistem bimbingan siswa dan untuk memberikan informasi kepada
pihak-pihak di luar pendidikan mengenai hasil-hasil yang telah dicapai.
Objek
evaluasi dalam model ini adalah tingkah laku siswa. Secara lebih khusus, yang
dinilai di sini adalah perubahan tingkah laku yang diinginkan yang diperhatikan
oleh siswa pada akhir kegiatan pendidikan. Tingkah laku hasil belajar ini tidak
hanya terbatas pada aspek pengetahuan, melainkan juga mencakup aspek keterampilan
dan sikap, sebagai hasil dari proses pendidikan.
3.
Educational System Evaluation Model
Model ketiga
yang ini merupakan reaksi terhadap kedua model terdahulu. Tokoh-tokoh evaluasi
yang dipandang sebagai pengembang dari model yang ketiga ini antara lain adalah
Daniel L. Stufflebeam, Michael Scriven, Robert E. Stake dan Malcolm M. Provus.
Model ini
bertitik tolak dari pandangan, bahwa keberhasilan dari suatu sistem pendidikan
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Evaluasi menurut model ini dimaksudkan untuk
membandingkan performance dari berbagai dimensi sistem yang sedang
dikembangkan dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada
suatu deskripsi dan judgement mengenai sistem yang dinilai tersebut.
4. Illuminative Model
Model yang
keempat ini dikembangkan sebagai reaksi terhadap dua model evaluasi yang
pertama, yaitu measurement dan congruence. Model ini dikembangkan
terutama di Inggris dan banyak dikaitkan dengan pendekatan dalam bidang
antropologi. Salah seorang tokoh yang paling menonjol dalam usahanya
mengembangkan model ini adalah Malcolm Parlett.
Tujuan
evaluasi menurut model yang keempat ini adalah mengadakan studi yang cermat
terhadap sistem yang bersangkutan. Hasil evaluasi yang dilaporkan lebih
bersifat deskripsi dan interpretasi, bukan pengukuran dan prediksi. Oleh karena
itu dalam pelaksanaan evaluasi, model yang keempat ini lebih banyak menekankan
pada penggunaan Judgement.
Model ini
juga memandang fungsi evaluasi sebagai bahan atau input untuk
kepentingan pengambilan keputusan dalam rangka penyesuaian-penyesuaian dan
penyempurnaan sistem yang sedang dikembangkan.
D.
Ketepatan Penentuan Model Evaluasi Program
Makna
ketepatan model evaluasi bagi program yang di evaluasikan mengandung makna
bahwa ada harapan keeratan tautan antara evaluasi program dengan jenis program
yang dievaluasi. Sesuai dengan bentuk kegiatannya, program ini dibedakan
menjadi tiga yaitu (1) program pemrosesan, (2) program layanan, dan (3) program
umum.
1. Program
pemprosesan
Program
pemprosesan adalah program yang kegiatan pokoknya mengubah bahan mentah (input)
menjadi bahan jadi sebagai hasil proses atau keluaran (output). Contoh:
program perpustakaan, program kepramukaan dan sebagainnya.
2. Program
Layanan (service)
Program
Layanan adalah sebuah kesatuan kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
pihak tertentu sehingga merasa puas sesuai dengan tujuan program. Sebagai
contoh adalah: program bank, program koperasi dan lain-lain.
3. Program Umum
Program Umum
yaitu program yang tidak tampak apa yang menjadi ciri utama. Contohnya adalah:
Program makanan tambahan anak
Sekolah (PMTAS)
Sekolah (PMTAS)
E.
Rancangan Evaluasi Program
Membicarakan
mengenai rancangan evaluasi ada beberapa hal yang tercantum dalam sebuah
rancangan evaluasi tersebut diantaranya adalah:
- Judul Kegiatan
- Alasan Dilaksanakannya Evaluasi
- Tujuan
- Pertanyaan Evaluasi
- Metodologi yang Digunakan
- Prosedur Kerja dan Langkah-Langkah Kegiatan.
DAFTAR PUSTAKA
Eko Putro
Widoyoko. 2009. Evaluasi Program Pembelajaran: Panduan Praktis Bagi
Pendidik dan Calon Pendidik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Farida Yusuf Tayibnapis. 2000. Evaluasi Program.
Jakarta: PT Rineka Cipta
Hamid Hasan.
2009. Evaluasi Kurikulum. cetakan kedua. Bandung: Remaja Rosdakarya
Kirkpatrick,
D. L. 1998. Evaluating Training Programs: The Four Levels. San
Francisco: Berrett-Koehler Publisher, Inc.
Kirkpatrick, D. L. 2009. Kirkpatrick’s Training
Evaluation Model.
Partner, C. 2009. Implementing the Kirkpatrick
Evaluation Model Plus.
Suharsimi
Arikunto dan Cepi Safrudin. 2009. Evaluasi Program Pendidikan: Pedoman
Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan, cetakan ketiga.
Jakarta: Bumi Aksara
Zaenal
Arifin. 2009. Evaluasi Pembelajaran: Prinsip, Teknik, dan Prosedur.
Bandung: Remaja Rosdakarya
No comments:
Post a Comment