Friday, December 7, 2018

PONDASI SOSIAL KURIKULUM




 Ada beberapa hal yang akan dibicarakan dalam bab ini:
  1. Mengenai masyarakat, pendidikan, dan persekolahan
  2. Teori-teori sosial dan pengembangan
  3. Perubahan dan kurikulum
  4. Penentuan prioritas sosial dan pendidikan
  5. Menyangkut rencana untuk perubahan pendidikan
  6. Kesimpulan
           Beberapa keputusan perihal kurikulum harus mempertimbangkan setting sosial, khususnya hubungan antar sekolah dan masyarakat serta pengaruhnya terhadap keputusan-keputusan kurikulum tersebut.
         Kecerdasan sosial perlu bagi perancang dan pengembang kurikulum dewasa ini.  Keputusan-keputusan kurikulum yang ada pada setting sosial yang komplek, permintaan  ditetapkan oleh masyarakat dan itu berlanjut ke sekolah. Sesungguhnya para pembuat kurikulum perlu mempertimbangkan dan menggunakan fondasi sosial guna merencanakan dan mengembangkan kurikulum.
          Dalam banyak teks kurikulum, pertimbangan terhadap dasar sosial sering mengarah pada diskusi antara sekolah dan masyarakat, dan diskusi antar individu, implikasi-implikasi sosial dari ilmu dan perubahan, serta tujuan pendidikan. Bab ini juga berkaitan dengan isu-isu sosial tersebut. Dua bab terakhir dari buku ini membicarakan isu-isu sosial yang lainnya. Sebagai contoh hal-hal yang beraroma pembangunan kembali: Isu yang berkaitan dengan pendidikan kompensasi, pendidikan bilingual dan multilingual, pendidikan sex, pendidikan orang cacat, pendidikan global dan pemahamannya terhadap masa depan.
Masyarakat, Pendidikan, dan Sekolah
          Pendidikan sifatnya netral. Bisa digunakan untuk tujuan yang konstruktif atau dekonstruktif, untuk promosi suatu gagasan, institusi politik, paham atau yang lainnya. Jenis pendidikan yang diterima generasi muda menentukan kualitas masyarakat. Transmisi budaya adalah tugas utama dari sistem pendidikan suatu masyarakat. Nilai, kepercayaan dan norma-norma dari sebuah masyarakat dipelihara dan dilanjutkan pada generasi berikutnya bukan hanya dengan mengajarkannya, tetapi juga dengan mengutarakannya dalam suatu operasi sistem pendidikan.
          Menurut Dewey, pendidikan adalah alat mengekalkan dan meningkatkan masyarakat dengan pengalaman-pengalaman peserta didik. Hal ini menjadi tanggung jawab yang mendasar dari para pendidik: guna menyadari prinsip umum, mempertajam pengalaman-pengalaman aktual, dan untuk memahami lingkungan-lingkungan kondusif agar bisa mendapatkan pengalaman-pengalaman menuju pertumbuhan. Menurut Dewey, pengalaman mestilah diprogramkan dengan tepat, karena ia akan mempengaruhi formasi tingkah laku atau sikap yang diharapkan. Ini juga berlaku bagi pendidik, khususnya mereka yang memegang mata kuliah, untuk mengisi kegiatan (atau apa yang disebut Dewey dengan pengalaman-pengalaman) yang membantu pertumbuhan sosial dan pribadi seseorang dan peningkatan kualitas masyarakat, atau sebaliknya (atau apa yang Dewey sebut dengan kesalahan pendidikan).
          Kebanyakan kita menganggap pendidikan sama dengan sekolah. Sesungguhnya, walaupun sebuah masyarakat tidak punya sekolah-sekolah formal, sebenarnya mereka masih mendidik  generasi mudanya melalui keluarga atau ritual khusus dan latihan-latihan. Sekolah memainkan peranan yang besar dalam pendidikan pada industri modern (masyarakat). Sekolah menjadi lebih penting dan menentukan masyarakatnya mau jadi apa, menjadi lebih komplek dan menjadi gambaran perkembangan ilmu pengetahuan.
         Sederhananya, pada masyarakat non-teknologi, hampir setiap orang menjadi ahli, melebihi gugusan dari ilmu pengetahuan yang diperlukan agar bertahan hidup. Dalam masyarakat teknologi: “orang memperoleh keahlian dan kemampuan yang berbeda. Tidak seorangpun bisa mencapai semua kemampuan dari segenap ilmu pengetahuan atau berharap menjadi ahli pada semua bidang”.
         Dalam masyarakat tradisional yang buta huruf, pendidikan berlangsung lewat upacara-upacara, titual-ritual, cerita-cerita, pengamatan dan usaha-usaha menningkatkan kapabilitas anak yang terdahulu atau yang lebih tua, dengan pemaksaan kehendak lewat aturan tingkah laku atau tindak tanduk. Pada masarakat modern dan teknologi, proses pendidikan mulai dari rumah tetapi sekolah memegang peranan yang lebih besar dalam memdidik anak-anak menjadi lebih dewasa. Sekolah adalah institusi yang vital untuk membantu generasi muda memperoleh ilmu pengetahuan yang sistematis, mempersiapkan mereka dengan tingkah laku dan nilai-nilai yang benar, meneruskannya dari generasi ke generasi. Dalam masyarakat kontemporer media masa juga memainkan peranan yang penting dalam proses ilmu pengetahuan dan dalam mendefenisikan kembali nilai-nilai dan ide-ide. Akan tetapi fungsi sekolah adalah melayani masyarakat melalui pendidikan anak-anak dan generasi mudanya. Pembuat kurikulum, yang membantu menentukan isi, aktifitas dan lingkungan pendidikan, memainkan peranan yang besar dalam mengasah dan mensosialisasikan peserta didik secara tidak langsung.
Masyarakat dan Pembentukan Kepribadian
          Ketika para ahli ilmu sosial berbicara tentang pembentukan kepribadian, mereka tidak bermaksud bahwa semua anggota dari suatu masyarakat tertentu persis seperti apa yang terlihat. Seperti yang ditulis oleh Ruth Benedict, “Tidak ada kebudayaan yang diamatinya mampu membasmi perbedaan-perbedaan temperamen atau mengubahnya”. Bagaimanapun, angota-anggota masyarakat punya banyak kelakuan yang hampir sama; mereka dijejali jadwal-jadwal, dilatih dengan cara tertentu, dididik dengan gaya yang sama, menikahi satu atau beberapa orang, berpenghidupan sebagai buruh, dihadapkan pada tuntutan perekonomian, umumnya percaya pada satu Tuhan atau pada banyak dewa. Mereka berbagi pengalaman menghadapi tabiat individu-individu, sehingga akhirnya individu-individu itu bertingkah laku dengan cara-cara yang sama. Menurut Benedict, norma-norma masyarakat mengatur hubungan interpersonal dan menghasilkan suatu pembentukan kepribadian: yaitu, tingkah laku-tingkah laku, perasaan-perasaan, dan pola-pola kelakuan kebanyakan anggota masyarakat.
         Dalam suatu studi pembentukan kepribadian, ahli antropologi Margaret Mead menekankan bahwa terdapat peluang kecil, ketika seseorang bisa menjadi presiden yang digaji oleh negara. Dengan implikasi bahwa mereka yang tidak menjadi presiden (walaupun meraih gelar dan posisi doctor, pengacara, insinyur, atau para exekutif) dianggap telah melalaikan kewajiban moral untuk sukses. Kebanyakan orang-orang lain di dunia ini menyalahkan kemiskinan, nasib, atau pemerintah terhadap kegagalan. Namun, orang-orang Amerika (kecuali beberapa kelompok-kelompok minoritas) cendrung untuk menyalahkan diri mereka sendiri.
         Para orang tua Eropa biasanya menyuruh anak-anak mereka untuk meneruskan tradisi-tradisi keluarga, meneruskan perusahaan, perkebunan, peternakan atau semacamnya. Generasi pertama dan kedua para orang tua Amerika menginginkan anak-anak mereka untuk meninggalkan rumah demi kehidupan yang lebih baik. Orang-orang Amerika cenderung untuk mengevaluasi diri mereka sendiri seberapa tinggi yang mereka peroleh dibanding bapak mereka dan bagaimana mereka membandingkan dengan teman-teman dan tetangga mereka. Orang-orang Amerika merasa mereka tidak meraih yang sesungguhnya; pendakian belum berakhir, tetapi dalam proses peraihan. Ini sangat tertera dari sistem nilai Amerika dan kurikulum dasar sekolah-sekolah serta kurikulum tradisional.
Aturan-aturan dan Perbedaan Jenis Kelamin
        Tidak hanya masyarakat yang menginginkan penyesuaian terhadap nilai-nilai dasar dan moral, tetapi juga terdapat aturan-aturan dalam masyarakat yang mengharapkan masyarakat menyesuaikan diri dengan pola-pola tingkah laku yang telah ditetapkan. Contoh tipe sosialisasi ini adalah aturan terkait jenis kelamin – yaitu cara laki-laki dan perempuan bertingkah laku. Aturan-aturan jenis kelamin bervariasi dari satu budaya ke budaya lain. Tetapi dalam satu kebudayan tersebut umumnya didefinisikan dengan baik; lebih lanjut lagi, mereka telah dipaksa melalui daftar elaborasi yang telah diseleksi. Contoh, bagi anak laki-laki sejak taman-kanak-kanak dicemooh bila bermain dengan boneka-boneka, dan anak-perempuan diharapkan berpenampilan feminim.
          Anak laki-laki dan perempuan awalnya diidentikkan dengan ibunya, tetapi anak laki-laki mesti mengubah identifikasi “keibuan” mereka untuk membuktikan peran maskulin.   Pada masa awal anak perempuan sering memainkan peranan/model orang tua sepanjang hari, tetapi anak laki-laki melihat “keberanian” bapaknya. Di samping itu bapak sering berpartisapi dalam memainkan peranan feminim; yaitu peranan yang sering didefinisikan dalam masyarakat Amerika sebagai feminim (mencuci piring, menyapu, membersihkan). jadi anak laki-laki mesti membedakan mana peranan maskulin melalui masyarakat melalui reinforcement dan reward. Berangsur-angsur ciri keibuan anak laki-laki berkurang dan digantikan oleh belajar mencari identikasi dengan sebuah peranan maskulin dalam suatu masyarakat. Hal ini diakhiri dengan sebuah teguran negatif yaitu “don’t be a sissy” jangan jadi bencong.
         Anak- anak perempuan belajar identifikasi “wanita” karena dihadirkan padanya beberapa peniruan dan beberapa seleksi tingkah laku reinforcement dan reward ibunya. Anak laki-laki punya masalah dengan idenfikasi peranan sex karena sebagian model peranan “laki-laki” yang absen (tidak hadir) di rumah.
         Hal ini lebih sulit lagi ketika wanita sebagai kepala rumah tangga, di mana sang ayah absen sepenuhnya dari kehadiran di rumah. Anak perempuan memperoleh metoda belajar meliputi perkembangan kepribadian dan identifikasi terhadap ibu mereka. Sebaliknya anak lelaki mesti mendefinisikan tujuan mereka, menyusun kembali pengalaman-pengalaman mereka, dan prinsip-prinsip yang abstrak. Akibatnya adalah masalah-masalah belajar bagi anak laki-laki dan ketergantungan yang besar pada sebagaian anak perempuan. Sekolah-sekolah punya banyak staf perempuan, khususnya pada tingkat dasar, pada masa kritis dari perkembangan seorang anak.
         Sekolah-sekolah didominasi oleh norma-norma “wanita” seperti kesopanan, kebersihan, dan kepatuhan. Kurikulum, ujian, dan kegiatan-kegiatan kelas yang berorientasi “wanita” seperti; rasa aman, menyenangkan, tak terinfeksi, dll. Sekolah-sekolah tidak senang dengan bahasa yang vulgar dan perkelahian; mereka menyembunyikan ciri kelaki-lakian anak laki-laki dan sering tidak memberi izin pada kegiatan yang berorientasi aktivitas, olah raga yang keras. Kerugian yang ditemukan di rumah dalam mengembangkan ciri maskulin kadangkala diramu lagi oleh proses di sekolah.
         Patricia Sexton menghadirkan data yang menarik tentang sekolah-sekolah dengan institusi yang menentang perbedaan jenis kelamin dan menghilangkan identifikasi mereka. Datanya memperlihatkan bahwa kira-kira 3 dari 4 masalah pelajar adalah masalah anak laki-laki, dan bahwa karena guru-guru cenderung untuk menyalahkan permasalahan anak, kira-kira 2 dari 3 murid yang gagal adalah anak laki-laki. Anak laki-laki dengan jumlah yang lebih besar rata-rata putus sekolah dibanding anak perempuan di sekolah, bertingkah laku seperti penjahat, sakit jiwa, dan hal-hal yang berbahaya lainnya.
         Walaupun kesimpulan Sexton mungkin agak overgeneralisasi dan agak meluas di luar datanya, tidak diragukan lagi anak perempuan memperoleh nilai yang lebih tinggi pada sekolah dasar, walaupun secara berangsur-angsur menurun pada masa sekolah menengah. Kebanyakan anak laki-laki tidak suka membaca dan banyak anak laki-laki gagal; banyak anak laki-laki punya masalah disiplin; banyak anak laki-laki putus sekolah; dan lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan yang dipenjara atau punya masalah patah hati atau sakit jiwa. Orang laki-laki meninggal dalam usia relatif lebih muda. Tidak diragukan lagi peranan jenis kelamin dan perbedaan-perbedaan jenis kelamin di sekolah setidak tidaknya berpengaruh terhadap konsep diri pada awal kehidupan.
        Masalah yang dianalisa Sexton menyorot fakta bahwa rata-rata, menurut penelitian biokemikal, anak laki-laki lebih aktif dari anak perempuan semenjak awal kelahirannya, dan perbedaan ini dikaitkan dengan perbedaan hormon. Anak laki-laki khususnya kurang beruntung pada sekolah dasar karena mereka cenderung belajar melalui manipulasi kegiatan dari lingkungannya, sekolah cenderung mencegahnya. Sebaliknya, anak perempuan cenderung belajar lewat komunikasi verbal dimana sekolah cendrung memberikan penekanan reward.
        Pengalaman anak perempuan dalam persekolahan umumnya merefleksikan sosialisasi mereka terhadap “ketergantungan” dari pada “keagresifan”. Sampai saat ini, kebanyakan anak perempuan tidak didorong untuk persiapan status jabatan yang tinggi dalam bidang hukum, pengobatan, bisnis ataupun ketrampilan di luar sekolah menengah. Sebagai penggantinya mereka dipersiapkan untuk memasuki peranan sebagai istri dan penjaga rumah. Kecuali pada jabatan-jabatan tertentu seperti mengajar, pekerja sosial, atau perawat yang diklasifikasikan sebagai semi profesi, anak-anak perempuan secara tradisional tidak diharapkan untuk memasuki bidang-bidang yang mewajibkan persiapan keperguruan tinggi.
         Proses sosialisasi ini didukung oleh kurikulum, yang menuntut wanita memainkan peranan feminin dan pekerjaan-pekerjaan yang feminin. Walaupun penjelasan perihal perbedaan-perbedaan nilai matematika agak begitu rumit.
TEORI-TEORI SOSIAL DAN PERKEMBANGAN
         Sejumlah teori yang telah dihasilkan berfokus pada aspek-aspek pertumbuhan manusia dan perkembangan. Mereka menekankan pada studi tingkah laku secara keseluruhan, mulai dengan masa awal, mereka menggabungkannya “psikologi Gestalt” dengan sosialisasi.
   Perkembangan melalui proses yang berkelanjutan dan pengalaman sosial diperlukan untuk memberangkatkan seorang individu dari satu tahap ke tahap berikutnya.
Tugas-tugas atau Kebutuhan-kebutuhan Manusia
         Robert Havighurst telah mengidentifikasikan 6 masa pada perkembangan manusia; 1) periode awal dan masa mula anak-anak; 2) masa kanak-kanak pertengahan; 3) masa remaja; 4) masa dewasa awal; 5) masa paroh baya; 6) masa matang. Tugas–tugas perkembangan didefinisikan sebagai tugas-tugas individu yang mesti belajar untuk tujuan kesehatan dan peningkatan kepuasan dalam masyarakat.
         Suatu sekolah harusnya menitikberatkan pada tugas-tugas perkembangan dari periode-periode kedua dan dua periode berikutnya dari kehidupan. Tugas-tugas tersebut adalah;
  1. Masa kanak-kanak awal
  1. Membentuk konsep dan belajar bahasa untuk mengambarkan realita sosial dan fisik.
  2. Persiapan untuk membaca.
  3. Belajar untuk membedakan yang betul dari yang salah dan mulai mengembangkan hati nurani.
  1. Masa kanak-kanak pertengahan
  1. Belajar keahlian-keahlian fisik yang diperlukan untuk permainan yang biasa.
  2. Membangun sikap-sikap yang baik dan menyehatkan terhadap diri sendiri.
  3. Belajar bersama-sama dengan teman sebaya.
  4. Belajar memainkan peranan yang tepat laki-laki dan wanita.
  5. Mengembangkan keahlian-keahlian yang mendasar membaca, menulis, dan matematika.
  6. Mengembangkan konsep kehidupan sehari-hari.
  7. Mengembangkan moralitas dan seperangkat nilai-nilai.
  8. Perolehan kepribadian yang mandiri.
  9. Mengembangkan sikap-sikap yang demokratik terhadap kelompok-kelompok  dan institusi-institusi sosial.
  1. Masa Remaja
  1. Hubungan-hubungan kematangan yang baru dan yang lebih matang dengan teman seusia dari kedua jenis kelamin laki dan perempuan.
  2. Pencapaian peranan sosial maskulin atau feminin.
  3. Penerimaan kondisi fisik dan penggunaannya secara efektif.
  4. Perolehan emosi yang mandiri dari orang tua dan orang dewasa lainnya.
  5. Persiapan masa pernikahan dan kehidupan berkeluarga.
  6. Persiapan untuk suatu karir ekonomi.
  7. Pemerolehan seperangkat nilai-nilai dan suatu sistem etika untuk membimbing tingkah laku.
  8. Perolehan tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial.
         Harry Gilles et al. menggarisbawahi 4 kebutuhan dasar perseorangan, sosial, warga Negara, dan ekonomi, yang masing-masing punya 3 sampai 4 bagian. Florence Stratemeyer dan teman sejawatnya mengkatogorikan 10 area kehidupan pada 3 situasi kehidupan. B. Othanel Smith dan teman sekerjanya megklasifikasikan 29 kebutuhan masa remaja menjadi 6 klasifikasi utama sosial perseorangan, dan Henry Hrap menggaris bawahi 30 kegiatan kehidupan yang diperlukan untuk kesuksesan perkembangan manusia.
         Perbedaan klasifikasi ini secara jelas memperlihatkan bahwa banyak topik-topik umum menitikberatkan pada kehidupan sosial yang alami dan  memuat lingkungan, moral, kewarganegaraan, psikologi, pisik, dan pembelajaran dimensi produktifitas dan dimensi perekonomian.
         Catatan bahwa rencana kebutuhan secara mendasar diambil dari kebutuhan murid atau pendekatan kebutuhan remaja dari tahun 1940-an dan tahun 1950-an. Rencana kebutuhan menjadi berkembang semenjak pertengahan 1970-an, tatkala pemerintahan federal menyatakan dengan tegas bahwa rencana tersebut diwajibkan pembiayaannya dari federal.
Perkembangan Moral
         Beberapa masyarakat bergantung pada kehadiran orang dengan budayanya, yang aktif memainkan peranannya, yang terikat secara bersama-sama oleh seperangkat aturan yang sebagian ditentukan oleh tradisi, rasa moral dan hati nurani. Moralitas dalam arti khusus meliputi sebuah komponen yang kuat untuk dipertimbangkan sebagai moral yang betul atau salah yang merefleksikan keaslian suatu masyarakat, kebiasaannya, adat-istiadat, dan peraturan-peraturan.
      Bagaimana seseorang mengembangkan tingkah laku berdasarkan cara dia berinteraksi dengan masyarakat sesuai dengan lingkungan sosial, peranan dan tanggung jawab yang dia pelajari dan atau yang dia anggap penting.
         Phenix menggarisbawahi 5 tradisi moral yang mendasar yang meliputi dasar-dasar kemasyarakatan dan yang bisa diajarkan sebagai bagian dari proses belajar untuk membimbing moral kelakuan: 1) Hak azazi manusia, yang menyarankan kondisi-kondisi kehidupan yang harus disebarluaskan, seperti; keputusan juri, dakwah dan pidato agama, dll; 2) Sex dan hubungan keluarga; 3) Hubungan sosial dalam dan antar klas, etika, ras, dan suku bangsa, ras, dan kelompok-kelompok agama; 4) Masalah-masalah ekonomi berkaitan dengan hak milik dan pembagiannya; 5) Masalah-masalah politik berkaitan dengan distribusi keadilan dan kekuatan.
         Para pendidik secara umum, guru dan para pekerja kurikulum punya pilihan yang bisa ditawarkan. Kurikulum bisa merefleksikan masyarakat atau secara tidak langsung membantu masyarakat melanjutkan kebudayaannya. Kedua, guru bisa jadi sebagai roda penggerak dalam mesin birokrasi sekolah, memegang mata kuliah yang aman dan steril, atau guru bisa jadi membantu muridnya berpikir dan bertindak dengan menawarkan ilmu pengetahuan yang spesialis, mengangkat isu kontroversial, inovasi dan dalam kegiatan-kegiatan problem solving.
         Pendekatan yang pertama memandang sekolah dan pendidik sebagai cermin dari suatu masyarakat; pendekatan yang kedua memandang sekolah dan orang-orangnya sebagai instrumen perubahan. Pendekatan yang pertama didasarkan pada konsep pendidikan tradisional, dan pendekatan yang kedua suatu konsep pendidikan yang maju dan rekonstruktif atau membangun kembali. Malangnya pendekatan yang pertama cenderung sesuai dengan realitas sekolah; pendekatan yang kedua agak jauh dari ideal.
        Jika kita tidak bisa melakukan penyesuaian dengan perubahan yang konstruktif dengan cara-cara yang benar, maka kita mengorbankannya. Jika kita tidak mampu membentuk dunia sekitar kita, maka alam yang mengatur kita, kemudian kekuatan sosial dan kekuatan politik juga. Menurut William Van Til, adalah suatu mara bahaya bagi individu dan masyarakat dalam suatu instansi pendidikan yang menerima secara tidak kritis dan merefleksikan tanpa berpikir. Bahaya tersebut adalah kekuatan-kekuatan yang saling menguatkan membuat kita mundur. Kondisi ini bertentangnan dengan idealisme Amerika dimana perseorangan itu bebas, bertanggung jawab secara moral, dan merasa penting.
PERUBAHAN DAN KURIKULUM
Masyarakat sebagai Sumber Perubahan
       Perubahan masyarakat kontemporer yang begitu cepat sehingga menimbulkan kesulitan dalam penyesuaian diri terhadap masa sekarang dan persiapan masa depan. Kita dipaksa untuk melihat dan memahami sekolah dan hidup dengan perubahan sosial, tetapi sekolah-sekolah pada institusi –institusi yang konservatif (kolot) biasanya tertinggal di belakang perubahan itu sendiri. Rata-rata perubahan dari suatu masyarakat memberi fenomena yang dikenal dengan ketertinggalan budaya. Biasanya perubahan-perubahan pada aspek ilmu pengetahuan, perdagangan dan industri dari kebudayaan yang pertama, dan kemudian diikuti oleh ketertinggalan institusi masyarakat.
         Jumlah ketertinggalan budaya dalam masyarakat bervariasi dengan jumlah perubahan sosial. Masyarakat barat, khususnya USA, konsisten dengan perubahan fundamental yang muncul dalam beberapa aspek kemasyarakatan.
Perubahan kecepatan dan arah.
        Ada dua cara untuk memahami perubahan kecepatan dan arah. Perubahan kecepatan kadangkala dirasa berimplikasi lebih penting dari perubahan arah. Berdasarkan perubahan kecepatan masa sekarang, Alvin Toffler mencatat bahwa kita sedang memasuki periode “future shock”. Kita akan punya begitu banyak peralatan dan pelayanan untuk dipilih, dan kemampuan kita untuk memilih terbatas pada kebanyakan manusia.
Sekolah sebagai Sumber Perubahan
       Jika kita ambil secara umum, makro, kita bisa melihat perubahan yang bisa diamati sepanjang waktu. Berdasarkan sejarahnya, menurut Phillip Jackson, orang hanya berpikir kursi papan dan lantai papan di awal persekolahan orang Amerika dibanding kursi plastik dan lantai keramik pada sekolah-sekolah pedesaan dewasa ini; untuk dicatat sebagai perubahan. Jika kita lihat sekolah selama ini, sebagai perubahan yang mikro, tatkala kita menghadiri sekolah dasar, kita memperhatikan perubahan yang minim. Walaupun penelitian dalam pendidikan mungkin berkesan secara kwantitatif, sangat sedikit sekali perubahan yang tampak dihasilkan sekolah pada masa-masa kita menjadi murid dulu. Kita pada dasarnya menggunakan metoda instruksi yang sama dalam kelas yang kita gunakan 50 tahun yang lalu. Menurut salah seorang pengamat. Kita mestinya memahami bahwa sekolah adalah institusi dengan birokrasi dan nilai-nilai traditional yang tinggi yang beroperasi dengan norma-norma tingkah laku yang standar, aturan-aturan menulis dan peraturan-peraturan, dan tugas-tugas yang jelas antara petugas administrasi, guru dan murid.
Ilmu Pengetahuan sebagai Sumber Perubahan
- Ledakan ilmu pengetahuan
         Berkaitan dengan ledakan ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan membentuk/ menentukan masa depan, para ahli kurikulum punya 2 masalah utama yang membutuhkan perhatian yang berkelanjutan: 1) ilmu pengetahuan apa yang diseleksi dan 2) bagaimana menorganisasikan/ menyususnnya.
- Ilmu pengetahuan apa yang paling bernilai
           Sesungguhnya pertanyaan ini kembali ke zaman yunani kuno, ketika Plato dan Aristotle mempertanyakan nilai ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan urusan masyarakat dan pemerintahan, dan pada romawi kuno ketika Quintilian 7 perangkat kesenian liberal yang asli- tatabahasa, retorika, lojik, aritmetik, geometri, astronomi, dan musik- seperti halnya kurikulum yang ideal untuk warga yang terdidik dari kehidupan public; Pengacara, guru, pegawai negeri, dan politisi.
- Area Ilmu Pengetahuan dan keahlian
         Karena ilmu pengetahuan berubah begitu cepat, kita mestinya bertanya pada diri kita sendiri ilmu pengetahuan apa yang paling berfaedah, dan kita mesti secara berkelanjutan mempertimbangkan kembali apa yang kita maksudkan dengan manfaat. Sejumlah paradigma telah dikembangkan. Schwab, sebagai contoh, memakai pendekatan “eclectic” untuk menyusun kurikulum dalam kontek perubahan.
         Mengacu pada ilmu pengetahuan sebagai “content vehicles” yang memuat tidak hanya mata kuliah konvensional seperti Bahasa Inggris, studi-studi sosial, matematika, ilmu pengetahuan, dan lain-lain, tetapi juga disiplin-disiplin lainnya seperti; psikologi, sosiologi, antropologi, philosopi dll; seperti halnya situasi kelas, pengalaman di luar kelas, dan anak-anak itu sendiri. Weinstein dan Fantini mengatakan murid lebih penting dibanding mata pelajarannya, tetapi mata pelajaran tetap penting sebagai perwujudan jati diri dari murid tersebut.
- Ilmu pengetahuan dan belajar masa depan
1. Ilmu pengetahuan harus berisikan alat-alat dasar.
2. Ilmu pengetahuan harus mengfasilitasi belajar bagaimana belajar
3. Ilmu pengetahuan harus bisa diaplikasikan pada dunia nyata.
4. Ilmu pengetahuan harus bisa meningkatkan konsep diri si pelajar, kesadaran akan keahlian, dan rasa integrasi kepribadian.
5. Ilmu pengetahuan harus berisikan beberapa bentuk dan metoda
6. Ilmu pengetahuan harus bisa mempersiapkan individu untuk dunia teknologi
7. Ilmu pengetahuan harus mempersipakan individu-individu akan dunia birokrasi
8. Ilmu pengetahuan harus mengizinkan orang untuk memperbaiki informasi usang
9. Pemerolehan Ilmu pengetahuan seharusnya seumur hidup
10. Ilmu pengetahuan harus diajarkan dalam kaitannya dengan kontek nilai-nilai.
MENENTUKAN PRIORITAS-PRIORITAS SOSIAL/PENDIDIKAN
         Kita melihat sekolah dengan elemen-elemen perubahan. Sebagai sebuah masyarakat, kita merespon perubahan dan tekanan-tekanan sosial dengan merevisi tujuan-tujuan atau prioritas-prioritas pendidikan. Sekolah merespon dengan melakukan perubahan-perubahan program. Sekolah juga dipengaruhi oleh kelompok-kelompok external atau kelompok-kelompok publik yang mencari ketertarikan lebih lanjut dan promosi penyebabnya dan yang menekankan sekolah-sekolah untuk mengajarkan matakuliah-matakuliah tertentu.
Pendidikan untuk Semua Murid
         Secara umum konsep kurikulum tradisional sebagai kesatuan matakuliah selalu menjadi pusat kajian para pendidik; penekanan utama kurikulum berfokus pada anak-anak, berpusat pada  pengalaman, dan berpusat pada kegiatan. Ketiga pendekatan ini digunakan oleh Pestalozzi dan Froebel di abad ke 9 dan oleh Dewey pada sekolah laboratorium di universitas Chicago dari tahun 1896 sampai 1904, dengan konsep sbb.:
    1. Berfokus pada murid yang bertalenta akademis
    2. Berfokus pada murid yang kurang beruntung
    3. Prioritas yang dikembangkan; Kelompok-kelompok baru yang kurang beruntung
    4. Kekuatan tugas nasional yang melaporkan tentang pendidikan
Rencana untuk Perubahan Pendidikan
         Selama masyarakat dinamis dan terdiri dari kumpulan kebudayaan dan kelompok-kelompok sosial, debat terhadap tujuan pendidikan akan bergerak kontroversi dan berubah. Berkemungkinan hal ini baik, ini yang membuat suatu masyarakat dapat hidup terus dan bisa melawan hal-hal yang merusak. Dalam menguji tujuan atau prioritas-prioritas pendidikan dari melihat abad yang lalu sampai hari ini, kita melihat pengulangan, tetapi kita juga mencatat evolusi yang dihubungkan pada perubahan sosial
KESIMPULAN
         Kekuatan-kekuatan sosial selalu punya pengaruh yang besar pada sekolah-sekolah dan dalam pengambilan keputusan-keputusan kurikulum. Sebahagian dari kekuatan-kekuatan ini berasal dari masyarakat luas dan sebahagian lain dari masyarakat lokal.
         Dalam hal tertentu, para pendidik dihadapkan pada satu pilihan: Untuk menerima dan cenderung bercermin pada suatu waktu atau meningkatkannya dari waktu ke waktu. Satu pendapat yang selalu monoton sepanjang tahun terhadap pendidikan, yang lainnya berpikiran untuk menyusun atau mengkonstruk ulang kembali; bagaimanapun, kita lebih suka melihatnya sebagai pilihan, yaitu  cara memandang sekolah dengan cara tradisional  versus sekolah masa depan. Pendekatan yang terakhir yaitu yang memandang sekolah masa depan menyarankan agar para pendidik bisa menganalisa dan mengevaluasi kecendrungan pada masarakat.
         Dalam pelaksanaannya para pendidik bisa memutuskan tujuan dan kurikulum yang pas, dan mereka bisa menyiapkan peserta didik untuk dunia esok dengan mempersiapkan mereka dengan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang mereka butuhkan untuk membuat keputusan-keputusan yang bijak. Para pembuat kurikulum sesungguhnya memainkan peranan yang besar dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut

No comments:

Post a Comment