Ada beberapa
hal yang akan dibicarakan dalam bab ini:
- Mengenai masyarakat, pendidikan, dan persekolahan
- Teori-teori sosial dan pengembangan
- Perubahan dan kurikulum
- Penentuan prioritas sosial dan pendidikan
- Menyangkut rencana untuk perubahan pendidikan
- Kesimpulan
Beberapa keputusan perihal kurikulum harus mempertimbangkan setting sosial,
khususnya hubungan antar sekolah dan masyarakat serta pengaruhnya terhadap
keputusan-keputusan kurikulum tersebut.
Kecerdasan sosial perlu bagi perancang dan pengembang kurikulum dewasa ini.
Keputusan-keputusan kurikulum yang ada pada setting sosial yang komplek,
permintaan ditetapkan oleh masyarakat dan itu berlanjut ke sekolah.
Sesungguhnya para pembuat kurikulum perlu mempertimbangkan dan menggunakan
fondasi sosial guna merencanakan dan mengembangkan kurikulum.
Dalam banyak teks kurikulum, pertimbangan terhadap dasar sosial sering mengarah
pada diskusi antara sekolah dan masyarakat, dan diskusi antar individu,
implikasi-implikasi sosial dari ilmu dan perubahan, serta tujuan pendidikan.
Bab ini juga berkaitan dengan isu-isu sosial tersebut. Dua bab terakhir dari
buku ini membicarakan isu-isu sosial yang lainnya. Sebagai contoh hal-hal yang
beraroma pembangunan kembali: Isu yang berkaitan dengan pendidikan kompensasi,
pendidikan bilingual dan multilingual, pendidikan sex, pendidikan orang cacat,
pendidikan global dan pemahamannya terhadap masa depan.
Masyarakat, Pendidikan, dan Sekolah
Pendidikan sifatnya netral. Bisa digunakan untuk tujuan yang konstruktif atau
dekonstruktif, untuk promosi suatu gagasan, institusi politik, paham atau yang
lainnya. Jenis pendidikan yang diterima generasi muda menentukan kualitas
masyarakat. Transmisi budaya adalah tugas utama dari sistem pendidikan suatu
masyarakat. Nilai, kepercayaan dan norma-norma dari sebuah masyarakat
dipelihara dan dilanjutkan pada generasi berikutnya bukan hanya dengan
mengajarkannya, tetapi juga dengan mengutarakannya dalam suatu operasi sistem
pendidikan.
Menurut Dewey, pendidikan adalah alat mengekalkan dan meningkatkan masyarakat
dengan pengalaman-pengalaman peserta didik. Hal ini menjadi tanggung jawab yang
mendasar dari para pendidik: guna menyadari prinsip umum, mempertajam pengalaman-pengalaman
aktual, dan untuk memahami lingkungan-lingkungan kondusif agar bisa mendapatkan
pengalaman-pengalaman menuju pertumbuhan. Menurut Dewey, pengalaman mestilah
diprogramkan dengan tepat, karena ia akan mempengaruhi formasi tingkah laku atau
sikap yang diharapkan. Ini juga berlaku bagi pendidik, khususnya mereka yang
memegang mata kuliah, untuk mengisi kegiatan (atau apa yang disebut Dewey
dengan pengalaman-pengalaman) yang membantu pertumbuhan sosial dan pribadi
seseorang dan peningkatan kualitas masyarakat, atau sebaliknya (atau apa yang
Dewey sebut dengan kesalahan pendidikan).
Kebanyakan kita menganggap pendidikan sama dengan sekolah. Sesungguhnya,
walaupun sebuah masyarakat tidak punya sekolah-sekolah formal, sebenarnya
mereka masih mendidik generasi mudanya melalui keluarga atau ritual
khusus dan latihan-latihan. Sekolah memainkan peranan yang besar dalam
pendidikan pada industri modern (masyarakat). Sekolah menjadi lebih penting dan
menentukan masyarakatnya mau jadi apa, menjadi lebih komplek dan menjadi
gambaran perkembangan ilmu pengetahuan.
Sederhananya, pada masyarakat non-teknologi, hampir setiap orang menjadi ahli,
melebihi gugusan dari ilmu pengetahuan yang diperlukan agar bertahan hidup.
Dalam masyarakat teknologi: “orang memperoleh keahlian dan kemampuan yang
berbeda. Tidak seorangpun bisa mencapai semua kemampuan dari segenap ilmu
pengetahuan atau berharap menjadi ahli pada semua bidang”.
Dalam
masyarakat tradisional yang buta huruf, pendidikan berlangsung lewat
upacara-upacara, titual-ritual, cerita-cerita, pengamatan dan usaha-usaha
menningkatkan kapabilitas anak yang terdahulu atau yang lebih tua, dengan
pemaksaan kehendak lewat aturan tingkah laku atau tindak tanduk. Pada masarakat
modern dan teknologi, proses pendidikan mulai dari rumah tetapi sekolah
memegang peranan yang lebih besar dalam memdidik anak-anak menjadi lebih
dewasa. Sekolah adalah institusi yang vital untuk membantu generasi muda
memperoleh ilmu pengetahuan yang sistematis, mempersiapkan mereka dengan
tingkah laku dan nilai-nilai yang benar, meneruskannya dari generasi ke
generasi. Dalam masyarakat kontemporer media masa juga memainkan peranan yang
penting dalam proses ilmu pengetahuan dan dalam mendefenisikan kembali
nilai-nilai dan ide-ide. Akan tetapi fungsi sekolah adalah melayani masyarakat
melalui pendidikan anak-anak dan generasi mudanya. Pembuat kurikulum, yang
membantu menentukan isi, aktifitas dan lingkungan pendidikan, memainkan peranan
yang besar dalam mengasah dan mensosialisasikan peserta didik secara tidak
langsung.
Masyarakat dan Pembentukan Kepribadian
Ketika para ahli ilmu sosial berbicara tentang pembentukan kepribadian, mereka
tidak bermaksud bahwa semua anggota dari suatu masyarakat tertentu persis
seperti apa yang terlihat. Seperti yang ditulis oleh Ruth Benedict, “Tidak ada
kebudayaan yang diamatinya mampu membasmi perbedaan-perbedaan temperamen atau
mengubahnya”. Bagaimanapun, angota-anggota masyarakat punya banyak kelakuan
yang hampir sama; mereka dijejali jadwal-jadwal, dilatih dengan cara tertentu,
dididik dengan gaya yang sama, menikahi satu atau beberapa orang,
berpenghidupan sebagai buruh, dihadapkan pada tuntutan perekonomian, umumnya
percaya pada satu Tuhan atau pada banyak dewa. Mereka berbagi pengalaman
menghadapi tabiat individu-individu, sehingga akhirnya individu-individu itu
bertingkah laku dengan cara-cara yang sama. Menurut Benedict, norma-norma
masyarakat mengatur hubungan interpersonal dan menghasilkan suatu pembentukan
kepribadian: yaitu, tingkah laku-tingkah laku, perasaan-perasaan, dan pola-pola
kelakuan kebanyakan anggota masyarakat.
Dalam
suatu studi pembentukan kepribadian, ahli antropologi Margaret Mead menekankan
bahwa terdapat peluang kecil, ketika seseorang bisa menjadi presiden yang
digaji oleh negara. Dengan implikasi bahwa mereka yang tidak menjadi presiden
(walaupun meraih gelar dan posisi doctor, pengacara, insinyur, atau para
exekutif) dianggap telah melalaikan kewajiban moral untuk sukses. Kebanyakan
orang-orang lain di dunia ini menyalahkan kemiskinan, nasib, atau pemerintah
terhadap kegagalan. Namun, orang-orang Amerika (kecuali beberapa
kelompok-kelompok minoritas) cendrung untuk menyalahkan diri mereka sendiri.
Para
orang tua Eropa biasanya menyuruh anak-anak mereka untuk meneruskan
tradisi-tradisi keluarga, meneruskan perusahaan, perkebunan, peternakan atau
semacamnya. Generasi pertama dan kedua para orang tua Amerika menginginkan
anak-anak mereka untuk meninggalkan rumah demi kehidupan yang lebih baik.
Orang-orang Amerika cenderung untuk mengevaluasi diri mereka sendiri seberapa
tinggi yang mereka peroleh dibanding bapak mereka dan bagaimana mereka
membandingkan dengan teman-teman dan tetangga mereka. Orang-orang Amerika
merasa mereka tidak meraih yang sesungguhnya; pendakian belum berakhir, tetapi
dalam proses peraihan. Ini sangat tertera dari sistem nilai Amerika dan
kurikulum dasar sekolah-sekolah serta kurikulum tradisional.
Aturan-aturan dan Perbedaan Jenis Kelamin
Tidak hanya
masyarakat yang menginginkan penyesuaian terhadap nilai-nilai dasar dan moral,
tetapi juga terdapat aturan-aturan dalam masyarakat yang mengharapkan
masyarakat menyesuaikan diri dengan pola-pola tingkah laku yang telah
ditetapkan. Contoh tipe sosialisasi ini adalah aturan terkait jenis kelamin –
yaitu cara laki-laki dan perempuan bertingkah laku. Aturan-aturan jenis kelamin
bervariasi dari satu budaya ke budaya lain. Tetapi dalam satu kebudayan
tersebut umumnya didefinisikan dengan baik; lebih lanjut lagi, mereka telah dipaksa
melalui daftar elaborasi yang telah diseleksi. Contoh, bagi anak laki-laki
sejak taman-kanak-kanak dicemooh bila bermain dengan boneka-boneka, dan
anak-perempuan diharapkan berpenampilan feminim.
Anak laki-laki dan perempuan awalnya diidentikkan dengan ibunya, tetapi anak
laki-laki mesti mengubah identifikasi “keibuan” mereka untuk membuktikan peran
maskulin. Pada masa awal anak perempuan sering memainkan
peranan/model orang tua sepanjang hari, tetapi anak laki-laki melihat “keberanian”
bapaknya. Di samping itu bapak sering berpartisapi dalam memainkan peranan
feminim; yaitu peranan yang sering didefinisikan dalam masyarakat Amerika
sebagai feminim (mencuci piring, menyapu, membersihkan). jadi anak laki-laki
mesti membedakan mana peranan maskulin melalui masyarakat melalui reinforcement
dan reward. Berangsur-angsur ciri keibuan anak laki-laki berkurang dan
digantikan oleh belajar mencari identikasi dengan sebuah peranan maskulin dalam
suatu masyarakat. Hal ini diakhiri dengan sebuah teguran negatif yaitu “don’t
be a sissy” jangan jadi bencong.
Anak-
anak perempuan belajar identifikasi “wanita” karena dihadirkan padanya beberapa
peniruan dan beberapa seleksi tingkah laku reinforcement dan reward ibunya.
Anak laki-laki punya masalah dengan idenfikasi peranan sex karena sebagian
model peranan “laki-laki” yang absen (tidak hadir) di rumah.
Hal
ini lebih sulit lagi ketika wanita sebagai kepala rumah tangga, di mana sang
ayah absen sepenuhnya dari kehadiran di rumah. Anak perempuan memperoleh metoda
belajar meliputi perkembangan kepribadian dan identifikasi terhadap ibu mereka.
Sebaliknya anak lelaki mesti mendefinisikan tujuan mereka, menyusun kembali
pengalaman-pengalaman mereka, dan prinsip-prinsip yang abstrak. Akibatnya adalah
masalah-masalah belajar bagi anak laki-laki dan ketergantungan yang besar pada
sebagaian anak perempuan. Sekolah-sekolah punya banyak staf perempuan,
khususnya pada tingkat dasar, pada masa kritis dari perkembangan seorang anak.
Sekolah-sekolah didominasi oleh norma-norma “wanita” seperti kesopanan,
kebersihan, dan kepatuhan. Kurikulum, ujian, dan kegiatan-kegiatan kelas yang
berorientasi “wanita” seperti; rasa aman, menyenangkan, tak terinfeksi, dll.
Sekolah-sekolah tidak senang dengan bahasa yang vulgar dan perkelahian; mereka
menyembunyikan ciri kelaki-lakian anak laki-laki dan sering tidak memberi izin
pada kegiatan yang berorientasi aktivitas, olah raga yang keras. Kerugian yang
ditemukan di rumah dalam mengembangkan ciri maskulin kadangkala diramu lagi
oleh proses di sekolah.
Patricia Sexton menghadirkan data yang menarik tentang sekolah-sekolah dengan
institusi yang menentang perbedaan jenis kelamin dan menghilangkan identifikasi
mereka. Datanya memperlihatkan bahwa kira-kira 3 dari 4 masalah pelajar adalah
masalah anak laki-laki, dan bahwa karena guru-guru cenderung untuk menyalahkan
permasalahan anak, kira-kira 2 dari 3 murid yang gagal adalah anak laki-laki.
Anak laki-laki dengan jumlah yang lebih besar rata-rata putus sekolah dibanding
anak perempuan di sekolah, bertingkah laku seperti penjahat, sakit jiwa, dan
hal-hal yang berbahaya lainnya.
Walaupun kesimpulan Sexton mungkin agak overgeneralisasi dan agak meluas di
luar datanya, tidak diragukan lagi anak perempuan memperoleh nilai yang lebih
tinggi pada sekolah dasar, walaupun secara berangsur-angsur menurun pada masa
sekolah menengah. Kebanyakan anak laki-laki tidak suka membaca dan banyak anak
laki-laki gagal; banyak anak laki-laki punya masalah disiplin; banyak anak laki-laki
putus sekolah; dan lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan yang dipenjara
atau punya masalah patah hati atau sakit jiwa. Orang laki-laki meninggal dalam
usia relatif lebih muda. Tidak diragukan lagi peranan jenis kelamin dan
perbedaan-perbedaan jenis kelamin di sekolah setidak tidaknya berpengaruh
terhadap konsep diri pada awal kehidupan.
Masalah
yang dianalisa Sexton menyorot fakta bahwa rata-rata, menurut penelitian
biokemikal, anak laki-laki lebih aktif dari anak perempuan semenjak awal
kelahirannya, dan perbedaan ini dikaitkan dengan perbedaan hormon. Anak
laki-laki khususnya kurang beruntung pada sekolah dasar karena mereka cenderung
belajar melalui manipulasi kegiatan dari lingkungannya, sekolah cenderung
mencegahnya. Sebaliknya, anak perempuan cenderung belajar lewat komunikasi
verbal dimana sekolah cendrung memberikan penekanan reward.
Pengalaman
anak perempuan dalam persekolahan umumnya merefleksikan sosialisasi mereka
terhadap “ketergantungan” dari pada “keagresifan”. Sampai saat ini, kebanyakan
anak perempuan tidak didorong untuk persiapan status jabatan yang tinggi dalam
bidang hukum, pengobatan, bisnis ataupun ketrampilan di luar sekolah menengah.
Sebagai penggantinya mereka dipersiapkan untuk memasuki peranan sebagai istri
dan penjaga rumah. Kecuali pada jabatan-jabatan tertentu seperti mengajar,
pekerja sosial, atau perawat yang diklasifikasikan sebagai semi profesi,
anak-anak perempuan secara tradisional tidak diharapkan untuk memasuki
bidang-bidang yang mewajibkan persiapan keperguruan tinggi.
Proses sosialisasi ini didukung oleh kurikulum, yang menuntut wanita memainkan
peranan feminin dan pekerjaan-pekerjaan yang feminin. Walaupun penjelasan
perihal perbedaan-perbedaan nilai matematika agak begitu rumit.
TEORI-TEORI SOSIAL DAN PERKEMBANGAN
Sejumlah teori yang telah dihasilkan berfokus pada aspek-aspek pertumbuhan
manusia dan perkembangan. Mereka menekankan pada studi tingkah laku secara
keseluruhan, mulai dengan masa awal, mereka menggabungkannya “psikologi
Gestalt” dengan sosialisasi.
Perkembangan melalui proses yang
berkelanjutan dan pengalaman sosial diperlukan untuk memberangkatkan seorang
individu dari satu tahap ke tahap berikutnya.
Tugas-tugas atau Kebutuhan-kebutuhan Manusia
Robert
Havighurst telah mengidentifikasikan 6 masa pada perkembangan manusia; 1)
periode awal dan masa mula anak-anak; 2) masa kanak-kanak pertengahan; 3) masa
remaja; 4) masa dewasa awal; 5) masa paroh baya; 6) masa matang. Tugas–tugas
perkembangan didefinisikan sebagai tugas-tugas individu yang mesti belajar
untuk tujuan kesehatan dan peningkatan kepuasan dalam masyarakat.
Suatu
sekolah harusnya menitikberatkan pada tugas-tugas perkembangan dari
periode-periode kedua dan dua periode berikutnya dari kehidupan. Tugas-tugas
tersebut adalah;
- Masa kanak-kanak awal
- Membentuk konsep dan belajar bahasa untuk mengambarkan realita sosial dan fisik.
- Persiapan untuk membaca.
- Belajar untuk membedakan yang betul dari yang salah dan mulai mengembangkan hati nurani.
- Masa kanak-kanak pertengahan
- Belajar keahlian-keahlian fisik yang diperlukan untuk permainan yang biasa.
- Membangun sikap-sikap yang baik dan menyehatkan terhadap diri sendiri.
- Belajar bersama-sama dengan teman sebaya.
- Belajar memainkan peranan yang tepat laki-laki dan wanita.
- Mengembangkan keahlian-keahlian yang mendasar membaca, menulis, dan matematika.
- Mengembangkan konsep kehidupan sehari-hari.
- Mengembangkan moralitas dan seperangkat nilai-nilai.
- Perolehan kepribadian yang mandiri.
- Mengembangkan sikap-sikap yang demokratik terhadap kelompok-kelompok dan institusi-institusi sosial.
- Masa Remaja
- Hubungan-hubungan kematangan yang baru dan yang lebih matang dengan teman seusia dari kedua jenis kelamin laki dan perempuan.
- Pencapaian peranan sosial maskulin atau feminin.
- Penerimaan kondisi fisik dan penggunaannya secara efektif.
- Perolehan emosi yang mandiri dari orang tua dan orang dewasa lainnya.
- Persiapan masa pernikahan dan kehidupan berkeluarga.
- Persiapan untuk suatu karir ekonomi.
- Pemerolehan seperangkat nilai-nilai dan suatu sistem etika untuk membimbing tingkah laku.
- Perolehan tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial.
Harry
Gilles et al. menggarisbawahi 4 kebutuhan dasar perseorangan, sosial, warga
Negara, dan ekonomi, yang masing-masing punya 3 sampai 4 bagian. Florence
Stratemeyer dan teman sejawatnya mengkatogorikan 10 area kehidupan pada 3
situasi kehidupan. B. Othanel Smith dan teman sekerjanya megklasifikasikan 29
kebutuhan masa remaja menjadi 6 klasifikasi utama sosial perseorangan, dan
Henry Hrap menggaris bawahi 30 kegiatan kehidupan yang diperlukan untuk
kesuksesan perkembangan manusia.
Perbedaan klasifikasi ini secara jelas memperlihatkan bahwa banyak topik-topik
umum menitikberatkan pada kehidupan sosial yang alami dan memuat
lingkungan, moral, kewarganegaraan, psikologi, pisik, dan pembelajaran dimensi
produktifitas dan dimensi perekonomian.
Catatan bahwa rencana kebutuhan secara mendasar diambil dari kebutuhan murid
atau pendekatan kebutuhan remaja dari tahun 1940-an dan tahun 1950-an. Rencana
kebutuhan menjadi berkembang semenjak pertengahan 1970-an, tatkala pemerintahan
federal menyatakan dengan tegas bahwa rencana tersebut diwajibkan pembiayaannya
dari federal.
Perkembangan Moral
Beberapa
masyarakat bergantung pada kehadiran orang dengan budayanya, yang aktif
memainkan peranannya, yang terikat secara bersama-sama oleh seperangkat aturan
yang sebagian ditentukan oleh tradisi, rasa moral dan hati nurani. Moralitas
dalam arti khusus meliputi sebuah komponen yang kuat untuk dipertimbangkan
sebagai moral yang betul atau salah yang merefleksikan keaslian suatu
masyarakat, kebiasaannya, adat-istiadat, dan peraturan-peraturan.
Bagaimana seseorang
mengembangkan tingkah laku berdasarkan cara dia berinteraksi dengan masyarakat
sesuai dengan lingkungan sosial, peranan dan tanggung jawab yang dia pelajari
dan atau yang dia anggap penting.
Phenix menggarisbawahi 5 tradisi moral yang mendasar yang meliputi dasar-dasar
kemasyarakatan dan yang bisa diajarkan sebagai bagian dari proses belajar untuk
membimbing moral kelakuan: 1) Hak azazi manusia, yang menyarankan
kondisi-kondisi kehidupan yang harus disebarluaskan, seperti; keputusan juri,
dakwah dan pidato agama, dll; 2) Sex dan hubungan keluarga; 3) Hubungan sosial
dalam dan antar klas, etika, ras, dan suku bangsa, ras, dan kelompok-kelompok
agama; 4) Masalah-masalah ekonomi berkaitan dengan hak milik dan pembagiannya;
5) Masalah-masalah politik berkaitan dengan distribusi keadilan dan kekuatan.
Para
pendidik secara umum, guru dan para pekerja kurikulum punya pilihan yang bisa
ditawarkan. Kurikulum bisa merefleksikan masyarakat atau secara tidak langsung
membantu masyarakat melanjutkan kebudayaannya. Kedua, guru bisa jadi sebagai
roda penggerak dalam mesin birokrasi sekolah, memegang mata kuliah yang aman
dan steril, atau guru bisa jadi membantu muridnya berpikir dan bertindak dengan
menawarkan ilmu pengetahuan yang spesialis, mengangkat isu kontroversial,
inovasi dan dalam kegiatan-kegiatan problem solving.
Pendekatan yang pertama memandang sekolah dan pendidik sebagai cermin dari
suatu masyarakat; pendekatan yang kedua memandang sekolah dan orang-orangnya
sebagai instrumen perubahan. Pendekatan yang pertama didasarkan pada konsep
pendidikan tradisional, dan pendekatan yang kedua suatu konsep pendidikan yang
maju dan rekonstruktif atau membangun kembali. Malangnya pendekatan yang
pertama cenderung sesuai dengan realitas sekolah; pendekatan yang kedua agak
jauh dari ideal.
Jika kita
tidak bisa melakukan penyesuaian dengan perubahan yang konstruktif dengan
cara-cara yang benar, maka kita mengorbankannya. Jika kita tidak mampu
membentuk dunia sekitar kita, maka alam yang mengatur kita, kemudian kekuatan
sosial dan kekuatan politik juga. Menurut William Van Til, adalah suatu mara
bahaya bagi individu dan masyarakat dalam suatu instansi pendidikan yang
menerima secara tidak kritis dan merefleksikan tanpa berpikir. Bahaya tersebut
adalah kekuatan-kekuatan yang saling menguatkan membuat kita mundur. Kondisi
ini bertentangnan dengan idealisme Amerika dimana perseorangan itu bebas,
bertanggung jawab secara moral, dan merasa penting.
PERUBAHAN DAN KURIKULUM
Masyarakat sebagai Sumber Perubahan
Perubahan
masyarakat kontemporer yang begitu cepat sehingga menimbulkan kesulitan dalam
penyesuaian diri terhadap masa sekarang dan persiapan masa depan. Kita dipaksa
untuk melihat dan memahami sekolah dan hidup dengan perubahan sosial, tetapi
sekolah-sekolah pada institusi –institusi yang konservatif (kolot) biasanya
tertinggal di belakang perubahan itu sendiri. Rata-rata perubahan dari suatu
masyarakat memberi fenomena yang dikenal dengan ketertinggalan budaya. Biasanya
perubahan-perubahan pada aspek ilmu pengetahuan, perdagangan dan industri dari
kebudayaan yang pertama, dan kemudian diikuti oleh ketertinggalan institusi
masyarakat.
Jumlah ketertinggalan budaya dalam masyarakat bervariasi dengan jumlah
perubahan sosial. Masyarakat barat, khususnya USA, konsisten dengan perubahan
fundamental yang muncul dalam beberapa aspek kemasyarakatan.
Perubahan
kecepatan dan arah.
Ada dua
cara untuk memahami perubahan kecepatan dan arah. Perubahan kecepatan
kadangkala dirasa berimplikasi lebih penting dari perubahan arah. Berdasarkan
perubahan kecepatan masa sekarang, Alvin Toffler mencatat bahwa kita sedang
memasuki periode “future shock”. Kita akan punya begitu banyak peralatan dan
pelayanan untuk dipilih, dan kemampuan kita untuk memilih terbatas pada
kebanyakan manusia.
Sekolah sebagai Sumber Perubahan
Jika kita ambil
secara umum, makro, kita bisa melihat perubahan yang bisa diamati sepanjang
waktu. Berdasarkan sejarahnya, menurut Phillip Jackson, orang hanya berpikir
kursi papan dan lantai papan di awal persekolahan orang Amerika dibanding kursi
plastik dan lantai keramik pada sekolah-sekolah pedesaan dewasa ini; untuk
dicatat sebagai perubahan. Jika kita lihat sekolah selama ini, sebagai
perubahan yang mikro, tatkala kita menghadiri sekolah dasar, kita memperhatikan
perubahan yang minim. Walaupun penelitian dalam pendidikan mungkin berkesan
secara kwantitatif, sangat sedikit sekali perubahan yang tampak dihasilkan
sekolah pada masa-masa kita menjadi murid dulu. Kita pada dasarnya menggunakan
metoda instruksi yang sama dalam kelas yang kita gunakan 50 tahun yang lalu.
Menurut salah seorang pengamat. Kita mestinya memahami bahwa sekolah adalah
institusi dengan birokrasi dan nilai-nilai traditional yang tinggi yang
beroperasi dengan norma-norma tingkah laku yang standar, aturan-aturan menulis
dan peraturan-peraturan, dan tugas-tugas yang jelas antara petugas
administrasi, guru dan murid.
Ilmu Pengetahuan sebagai Sumber Perubahan
- Ledakan
ilmu pengetahuan
Berkaitan dengan ledakan ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan membentuk/
menentukan masa depan, para ahli kurikulum punya 2 masalah utama yang
membutuhkan perhatian yang berkelanjutan: 1) ilmu pengetahuan apa yang
diseleksi dan 2) bagaimana menorganisasikan/ menyususnnya.
- Ilmu
pengetahuan apa yang paling bernilai
Sesungguhnya pertanyaan ini kembali ke zaman yunani kuno, ketika Plato dan
Aristotle mempertanyakan nilai ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan urusan
masyarakat dan pemerintahan, dan pada romawi kuno ketika Quintilian 7 perangkat
kesenian liberal yang asli- tatabahasa, retorika, lojik, aritmetik, geometri,
astronomi, dan musik- seperti halnya kurikulum yang ideal untuk warga yang
terdidik dari kehidupan public; Pengacara, guru, pegawai negeri, dan politisi.
- Area
Ilmu Pengetahuan dan keahlian
Karena ilmu pengetahuan berubah begitu cepat, kita mestinya bertanya pada diri
kita sendiri ilmu pengetahuan apa yang paling berfaedah, dan kita mesti secara
berkelanjutan mempertimbangkan kembali apa yang kita maksudkan dengan manfaat.
Sejumlah paradigma telah dikembangkan. Schwab, sebagai contoh, memakai
pendekatan “eclectic” untuk menyusun kurikulum dalam kontek perubahan.
Mengacu pada ilmu pengetahuan sebagai “content vehicles” yang
memuat tidak hanya mata kuliah konvensional seperti Bahasa Inggris, studi-studi
sosial, matematika, ilmu pengetahuan, dan lain-lain, tetapi juga
disiplin-disiplin lainnya seperti; psikologi, sosiologi, antropologi, philosopi
dll; seperti halnya situasi kelas, pengalaman di luar kelas, dan anak-anak itu
sendiri. Weinstein dan Fantini mengatakan murid lebih penting dibanding mata
pelajarannya, tetapi mata pelajaran tetap penting sebagai perwujudan jati diri
dari murid tersebut.
- Ilmu
pengetahuan dan belajar masa depan
1. Ilmu
pengetahuan harus berisikan alat-alat dasar.
2. Ilmu
pengetahuan harus mengfasilitasi belajar bagaimana belajar
3. Ilmu
pengetahuan harus bisa diaplikasikan pada dunia nyata.
4. Ilmu
pengetahuan harus bisa meningkatkan konsep diri si pelajar, kesadaran akan
keahlian, dan rasa integrasi kepribadian.
5. Ilmu
pengetahuan harus berisikan beberapa bentuk dan metoda
6. Ilmu
pengetahuan harus bisa mempersiapkan individu untuk dunia teknologi
7. Ilmu
pengetahuan harus mempersipakan individu-individu akan dunia birokrasi
8. Ilmu pengetahuan
harus mengizinkan orang untuk memperbaiki informasi usang
9.
Pemerolehan Ilmu pengetahuan seharusnya seumur hidup
10. Ilmu
pengetahuan harus diajarkan dalam kaitannya dengan kontek nilai-nilai.
MENENTUKAN PRIORITAS-PRIORITAS SOSIAL/PENDIDIKAN
Kita
melihat sekolah dengan elemen-elemen perubahan. Sebagai sebuah masyarakat, kita
merespon perubahan dan tekanan-tekanan sosial dengan merevisi tujuan-tujuan
atau prioritas-prioritas pendidikan. Sekolah merespon dengan melakukan
perubahan-perubahan program. Sekolah juga dipengaruhi oleh kelompok-kelompok
external atau kelompok-kelompok publik yang mencari ketertarikan lebih lanjut
dan promosi penyebabnya dan yang menekankan sekolah-sekolah untuk mengajarkan
matakuliah-matakuliah tertentu.
Pendidikan untuk Semua Murid
Secara umum konsep kurikulum tradisional sebagai kesatuan matakuliah selalu
menjadi pusat kajian para pendidik; penekanan utama kurikulum berfokus pada
anak-anak, berpusat pada pengalaman, dan berpusat pada kegiatan. Ketiga pendekatan
ini digunakan oleh Pestalozzi dan Froebel di abad ke 9 dan oleh Dewey pada
sekolah laboratorium di universitas Chicago dari tahun 1896 sampai 1904, dengan
konsep sbb.:
- Berfokus pada murid yang bertalenta akademis
- Berfokus pada murid yang kurang beruntung
- Prioritas yang dikembangkan; Kelompok-kelompok baru yang kurang beruntung
- Kekuatan tugas nasional yang melaporkan tentang pendidikan
Rencana untuk Perubahan Pendidikan
Selama masyarakat dinamis dan terdiri dari kumpulan kebudayaan dan kelompok-kelompok
sosial, debat terhadap tujuan pendidikan akan bergerak kontroversi dan berubah.
Berkemungkinan hal ini baik, ini yang membuat suatu masyarakat dapat hidup
terus dan bisa melawan hal-hal yang merusak. Dalam menguji tujuan atau
prioritas-prioritas pendidikan dari melihat abad yang lalu sampai hari ini,
kita melihat pengulangan, tetapi kita juga mencatat evolusi yang dihubungkan
pada perubahan sosial
KESIMPULAN
Kekuatan-kekuatan sosial selalu punya pengaruh yang besar pada sekolah-sekolah
dan dalam pengambilan keputusan-keputusan kurikulum. Sebahagian dari
kekuatan-kekuatan ini berasal dari masyarakat luas dan sebahagian lain dari
masyarakat lokal.
Dalam
hal tertentu, para pendidik dihadapkan pada satu pilihan: Untuk menerima dan
cenderung bercermin pada suatu waktu atau meningkatkannya dari waktu ke waktu.
Satu pendapat yang selalu monoton sepanjang tahun terhadap pendidikan, yang
lainnya berpikiran untuk menyusun atau mengkonstruk ulang kembali;
bagaimanapun, kita lebih suka melihatnya sebagai pilihan, yaitu cara
memandang sekolah dengan cara tradisional versus sekolah masa depan.
Pendekatan yang terakhir yaitu yang memandang sekolah masa depan menyarankan
agar para pendidik bisa menganalisa dan mengevaluasi kecendrungan pada
masarakat.
Dalam
pelaksanaannya para pendidik bisa memutuskan tujuan dan kurikulum yang pas, dan
mereka bisa menyiapkan peserta didik untuk dunia esok dengan mempersiapkan
mereka dengan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang mereka butuhkan untuk membuat
keputusan-keputusan yang bijak. Para pembuat kurikulum sesungguhnya memainkan
peranan yang besar dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut
No comments:
Post a Comment